Sejarah Baru Ulama Perempuan Terukir di Kota Ukir
SEMARANG– Selama 23-26 November 2022, Kongres Ulama Perempuan Indonesia 2 dihelat di Pondok Pesantren, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Di kota ukir, sejarah baru gerakan ulama perempuan akan diukir. Kongres akan menghasilkan fatwa yang menjadi platform perjuangan komunitas organik itu.
Sejak Kamis (23/11) pagi, area Ponpes di kota kecamatan itu dipadati oleh peserta kongres. Rata-rata peserta yang datang adalah ibu-ibu berhijab. Ada yang datang dari Fatayat Nahdlatul Ulama Kabupaten Magelang, guru madrasah, hingga laki-laki pelajar dan mahasiswa yang memiliki passion di isu keadilan jender.
Walaupun gemar berfoto selfie dengan latar belakang poster KUPI-2, ibu-ibu dan perempuan yang hadir di KUPI-2 tak tabu berbicara soal isu keadilan jender. Mereka tak mau lagi direpresi dalam tafsir tunggal agama, bahwa perempuan adalah subyek kedua. Bahkan, kerap hanya dijadikan obyek. Dalam rangkaian diskusi paralel, mereka membicarakan diskursus tentang merebut kembali tafsir agama tentang keadilan jender. Perempuan harus menjadi subyek, bukan subyek kedua, maupun sekadar obyek kebijakan.
Naily, seorang guru Madrasah Aliyah atau setara Sekolah Menengah Atas Darunnajah, Pati, Jawa Tengah, tertarik mengikuti KUPI-2 di Jepara karena ketertarikannya dengan isu-isu jender. Sejak kuliah di Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta, dia sudah aktif di organisasi yang aktif pada isu-isu perempuan bernama Seroja. Menurutnya, isu perempuan penting dan masih relevan untuk terus diarusutamakan.
Sebagai pengajar, dia ingin menanamkan konsep keadilan jender pada anak didiknya. Walaupun gerakan kesetaraan jender sudah mulai menjadi arus utama, menurut dia, syiar atau publikasi tentang itu harus terus disuarakan. Dia tidak mau gerakan itu kembali ke titik nol karena konservatisme agama maupun kebijakan politik.
“Senang bisa bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah, ketemu jaringan aktivis perempuan. Berbicara soal isu-isu penting dan relevan,” tuturnya.
Sejak acara pra KUPI-2, Naily tak pernah absen mengikuti. Di acara sebelum kongres itu, isu-isu yang dibahas lebih detil, dan menghadirkan contoh-contoh nyata pergerakan dari daerah. Dalam acara kongres ini, dia lebih banyak menggali pengetahuan dan memperluas jejaring. Pengetahuan yang dia dapatkan itu akan kembali disebarluaskan melalui pembelajaran di sekolah. Dia punya impian kelak masa depan anak-anak didiknya lebih beradab dan berkeadilan jender.
Meneguhkan eksistensi
Majelis Musyawarah KUPI Nyai Badriyah Fayumi mengatakan, jika KUPI adalah ajang ulama perempuan mencari pengakuan, dan rekognisi, KUPI II meneguhkan kembali eksistensi mereka untuk keislaman, keindonesiaan, dan kesemestaan. KUPI mendefinisikan keulamaan tidak harus bersifat individu. Ulama bisa berisi sekelompok orang yang bersama-sama menyikapi dan menginterpretasikan ayat Al Qu’ran dengan perspektif keadilan hakiki bagi laki-laki dan perempuan. Fatwa KUPI-I yang lahir di Ponpes Kebon Jambu, Cirebon, Jawa Barat terbukti efektif untuk mengadvokasi perlindungan terhadap korban kekerasan seksual melalui legislasi Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di parlemen.
“KUPI diundang oleh berbagai pihak, memberikan masukan, dan didengarkan sehingga ikut berkontribusi dalam lahirnya UU TPKS. Eksistensi KUPI sudah diakui dan terbukti membawa kemaslahatan bagi perempuan,” ucapnya.
Perjuangan KUPI selanjutnya adalah meyakinkan pemangku kepentingan bahwa perempuan bisa masuk ke dalam struktural kepemimpinan dan berkontribusi dalam transformasi sosial. KUPI juga akan terus menyuarakan tentang dekonstruksi tafsir tunggal agama terhadap peran perempuan. KUPI melahirkan pijakan berpikir kritis melalui metodologi mubadalah, ma’ruf, dan keadilan hakiki.
Pendekatan ma’ruf adalah memastikan bahwa paradigma keadilan jender yang diusung KUPI menghadirkan kebaikan yang solutif dari dialektika konteks, tidak hanya sebatas teks. Nilai itu harus selaras dengan prinsip syari’ah, akal publik, dan kesepakatan-kesepakatan sosial tertentu.
Metodologi mubadalah adalah menempatkan semua pihak, terutama yang berelasi seperti laki-laki dan perempuan, sebagai subyek manusia utuh yang setara dalam menerima dan mewujudkan gagasan dan nilai dasar KUPI.
Adapun, pendekatan keadilan hakiki adalah mempertimbangkan keunikan kondisi khusus yang dialami perempuan, atau seseorang dengan kondisi tertentu, baik biologis maupun sosial. Kondisi khusus ini tidak boleh mengurangi akses, partisipasi, manfaat, kontrol, terkait implementasi gagasan sembilan nilai dasar yang diusung KUPI. Nilai-nilai dasar itu di antaranya adalah ketauhidan, kerahmatan, kemaslahatan, kesetaraan, kesalingan, keadilan, kebangsaan, kemanusiaan, dan kesemestaan.
“Kami buka siapapun untuk memperkuat metodologi ini, agar secara akademik bisa lebih dipertanggungjawabkan,” kata Badriyah.
Di lapangan, platform perjuangan KUPI adalah membuat arus baru yang diharapkan terus eksis dan membesar. KUPI memperjuangkan nilai-nilai universal yang sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Metodologi itu juga sudah diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan, baik di pondok pesantren, sekolah Islam, maupun universitas Islam yang menjadi anggota KUPI. (KOM)