Sejumlah Daerah Mulai Memproses Pemberhentian Kepala Daerah
JAKARTA – Sejumlah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah mulai memproses pemberhentian kepala-wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya, Mei mendatang. Beberapa di antaranya bahkan telah mengusulkan pemberhentian tersebut ke Kementerian Dalam Negeri atau Kemendagri.
Adapun untuk penentuan penjabat kepala daerah sebagai pengganti kepala-wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya tersebut, Kemendagri bakal mengacu pada aturan perundang-undangan yang ada. Terkait hal ini, figur yang dipilih menjadi penjabat diingatkan agar jangan titipan orang atau kelompok tertentu, terutama untuk kepentingan pemenangan peserta pemilu legislatif, presiden ataupun pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak nasional pada 2024.
Berdasarkan data Kemendagri, total ada 101 kepala-wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya tahun ini. Ini dimulai pada 15 Mei mendatang dengan jumlah lima gubernur-wakil gubernur. Mereka dari Kepulauan Bangka Belitung, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat (Sulbar), dan Papua Barat. Selanjutnya, pada 22 Mei, menyusul enam wali kota-wakil wali kota serta 37 bupati-wakil bupati. Adapun 53 kepala-wakil kepala daerah lainnya berakhir masa jabatannya, Juli-Desember 2022. Setelah berakhirnya masa jabatan kepala-wakil kepala daerah tersebut, semua daerah akan dipimpin penjabat kepala daerah hingga terpilih kepala-wakil kepala daerah baru pada Pilkada 2024.
Mengacu pada Pasal 79 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemberhentian kepala-wakil kepala daerah yang berakhir masa jabatannya harus terlebih dulu melalui proses di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemberhentian diumumkan oleh pimpinan DPRD dalam rapat paripurna, kemudian diusulkan oleh pimpinan DPRD kepada Presiden melalui menteri untuk gubernur-wakil gubernur serta kepada menteri melalui gubernur untuk bupati-wakil bupati atau wali kota-wakil wali kota guna mendapatkan penetapan pemberhentian.
DPRD yang telah menyelesaikan proses ini di antaranya DPRD Banten dan DPRD Sulbar.
Saat dihubungi, Jumat (8/4/2022), Ketua DPRD Banten Andra Soni mengatakan, pimpinan DPRD Banten telah menyampaikan surat usulan pemberhentian Gubernur Banten Wahidin Halim dan Wakil Gubernur Banten Andika Hazrumy pada Kemendagri.
Hal senada disampaikan Sekretaris Komisi II DPRD Sulbar Hatta Kainang. ”Surat rekomendasi terkait pemberhentian Gubernur-Wakil Gubernur Sulbar Ali Baal Masdar-Enny Anggraeni Anwar sudah dibuat dan mestinya hari ini sudah dikirim ke Kemendagri. Selanjutnya tinggal diteruskan ke Presiden yang akan menunjuk pejabat yang akan memimpin Sulbar 2,5 tahun mendatang,” kata Hatta.
Adapun DPR Papua Barat berencana menggelar rapat paripurna pemberhentian Gubernur-Wakil Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan-Mohamad Lakotani pada Selasa (12/4/2022).
”Pelaksanaan rapat paripurna sesuai prosedur, yakni 30 hari sebelum berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur. Kemudian kami akan mengirimkan hasil rapat ke pemerintah pusat untuk diproses,” ujar Ketua DPR Papua Barat Orgenes Wonggor.
Untuk Gubernur-Wakil Gubernur Gorontalo Rusli Habibie-Idris Rahim, menurut Subkoordinator Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Pemprov Gorontalo Ismail Giu, laporan keterangan pertanggungjawaban selama menjabat gubernur-wakil gubernur telah disampaikan di hadapan DPRD Gorontalo beberapa waktu lalu. Momen itu sekaligus dimanfaatkan untuk berpamitan.
Mengenai penjabat gubernur yang akan diputuskan Presiden, sejumlah DPRD berharap figur aparatur sipil negara yang dipilih tidak membawa kepentingan pribadi atau kelompok. Selain itu, tidak berafiliasi dengan kelompok atau kepentingan terkait pilkada atau pemilu legislatif dan pemilu presiden pada 2024.
”Jangan lagi ada penjabat titipan yang nanti hanya akan melakukan aktivitas untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Kami harap yang mengisi jabatan nantinya betul-betul berbuat untuk Sulbar dan membantu Sulbar mempersiapkan diri sebagai penyangga IKN (ibu kota negara),” ujar Hatta.
Adapun Orgenes Wonggor berharap adanya diskusi antara DPR Papua Barat dan pemerintah pusat dalam menentukan figur Penjabat Gubernur Papua Barat. Dengan demikian, figur yang dipilih nantinya bisa tepat dengan kebutuhan masyarakat dan sekaligus memahami karakteristik masyarakat.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim meyakini, pemerintah telah menyiapkan mekanisme untuk penunjukan penjabat kepala daerah di ratusan daerah yang kepala-wakil kepala daerahnya berakhir masa jabatannya.
”Pemerintah sudah pasti mempunyai rancangan itu, baik untuk gubernur maupun bupati/walikota. Karena penjabat ini bukan hal baru. Kemarin-kemarin sudah dipraktikkan oleh pemerintah dalam penunjukan penjabat kepala daerah sehingga menurut saya tidak lagi membutuhkan persiapan yang berbeda dengan sebelumnya,” katanya.
Syarat-syarat normatif sudah pasti harus dipenuhi oleh calon penjabat kepala daerah yang disiapkan oleh pemerintah. Penjabat gubernur harus berasal dari eselon 1 atau pejabat tinggi madya. Adapun penjabat bupati/wali kota berasal dari eselon 2 atau pejabat tinggi pratama.
Di luar syarat-syarat normatif itu, sebisa mungkin pemerintah mempertimbangkan kinerja institusi atau instansi asal penjabat kepala daerah. Dengan demikian, ketika institusi itu ditinggalkan oleh pejabatnya untuk menjadi penjabat, performa atau kinerja institusi tidak terimbas.
”Untuk daerah-daerah yang potensi gangguan keamanannya tinggi, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan yang punya kemampuan berkait dengan pengendalian keamanan,” tambahnya. Namun, tidak berarti calon penjabat kepala daerah harus berasal dari unsur Polri atau TNI.
Selain itu, calon penjabat haruslah figur yang selama ini teruji integritas dan kredibilitasnya. Dengan demikian, calon penjabat itu dapat mudah diterima oleh masyarakat di mana ia ditempatkan untuk bertugas.
Dalam rapat kerja dengan Komisi II DPR, Selasa lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan, aturan yang sudah ada akan digunakan dalam memproses pengisian penjabat kepala daerah. Aturan dimaksud adalah UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Syarat formilnya ialah penjabat gubernur haruslah pejabat tinggi madya, sedangkan penjabat bupati/wali kota adalah pejabat tinggi pratama. Pengertian mengenai pejabat tinggi madya dan pejabat tinggi pratama ini juga diatur dalam UU ASN. ”Ada 12 klasifikasi yang bisa masuk situ (pejabat tinggi madya dan pratama), termasuk TNI dan Polri di luar struktur, sepanjang dia sama eselonnya. Jadi, tidak ada larangan untuk itu,” ucapnya.
Dengan aturan yang sudah ada telah mengatur soal pengisian penjabat kepala daerah, menurut Tito, tak perlu lagi peraturan teknis seperti peraturan pemerintah. Sebab, selama ini Kemendagri juga memproses pengisian penjabat kepala daerah berdasarkan UU Pilkada dan UU ASN.
”Mari kita ikuti sama-sama aturannya. Praktik yang sudah saya jalani, tidak perlu membuat PP lagi. Malah ada kecurigaan nanti. PP dulu-dulu itu tidak ada, kenapa sekarang PP kok mau dibikin,” katanya.
Dapat diberhentikan
Jika ada kekhawatiran penjabat kepala daerah tidak netral atau berkinerja buruk, Tito meminta hal itu disampaikan secara terbuka dalam forum bersama dengan DPR. Dengan demikian, mekanisme pengawasan berjalan. Penjabat kepala daerah yang dipandang tidak berkinerja baik atau tidak netral secara politik juga dapat diberhentikan sewaktu-waktu.
”Kalau ada problem, kita awasi mereka. Karena mereka ini bukan hasil pilkada sehingga kapan pun mereka bisa diganti. Kalau hasil pilkada tidak bisa. Jadi, kalau mereka tidak perform atau tidak netral, usulkan di sini, mereka bisa diganti anytime,” ujarnya.
Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mardyanto Wahyu Tryatmoko mengatakan, kewenangan pemberhentian kepala daerah dan pengangkatan penjabat kepala daerah ada di Kemendagri.
Meskipun sudah ada undang-undangnya, Kemendagri tetap perlu mengeluarkan aturan teknis yang mengatur khusus pengangkatan penjabat kepala daerah, seperti dalam bentuk PP atau peraturan presiden. Sebab, aturan dalam undang-undang dibuat untuk situasi normal. Dengan situasi saat ini, dibutuhkan aturan yang lebih rinci untuk mendorong proses pemilihan yang demokratis sehingga masyarakat tidak melihat pemilihan penjabat kepala daerah ini hanya untuk kepentingan politik.
Ia juga berharap penjabat kepala daerah tidak diambil dari TNI/Polri. Sebab, masih banyak pejabat ASN dan sekretaris daerah yang bisa ditunjuk menjadi penjabat kepala daerah. Jangan sampai pemilihan penjabat kepala daerah ini menimbulkan kegaduhan jelang Pemilu dan Pilkada 2024. (KOM)