Berita Utama

Strategi Lain Hadapi Peradilan Militer

JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan dan pegiat reformasi militer meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak takut memproses hukum perwira TNI aktif yang terlibat korupsi. Koalisi menyatakan, KPK harus mengusut tuntas secara transparan korupsi yang terjadi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan alias Basarnas yang diduga melibatkan Kepala Basarnas dan anak buahnya tersebut.

“Jangan sampai Undang-Undang Peradilan Militer menjadi penghalang untuk membongkar skandal pencurian uang negara secara terbuka dan tuntas,” ujar Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf dalam pernyataan bersama Koalisi pada Jumat (28/7/2023).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri atas lembaga nirlaba seperti Imparsial, ELSAM, Centra Initiative, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty International Indonesia, serta Indonesia Corruption Watch (ICW). Koalisi menilai KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi harus memimpin proses hukum terhadap siapa saja yang terlibat korupsi di Basarnas.

KPK menetapkan lima tersangka kasus korupsi proyek pendeteksi alat korban reruntuhan di Badan SAR Nasional tahun anggaran 2023. Mereka adalah Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi; anggota TNI Angkatan Udara sekaligus Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas, Letnan Kolonel Adm Afri Budi Cahyanto; Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati (MGCS), Mulsunadi Gunawan; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati (IGK) Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama (KAU) Roni Aidil. Henri bersama dan melalui Afri Budi diduga menerima suap dari beberapa vendor pemenang proyek di Basarnas tahun 2021-2023 hingga Rp 88,3 miliar.

KPK kemudian menyerahkan proses hukum Henri dan Afri Budi selaku prajurit TNI kepada Puspom Mabes TNI. Hal itu sebagaimana ketentuan Pasal 42 Undang-Undang KPK jo Pasal 89 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun Marilya dan Roni Aidil ditahan di rumah tahanan KPK.

Pusat Polisi Militer TNI berkeberatan dengan pengumuman dan penetapan tersangka terhadap Henri Alfiandi dan Afri Budi Cahyanto, dua personel aktif Tentara Nasional Indonesia (TNI), oleh KPK. Komandan Puspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko mengatakan, TNI punya aturan tersendiri dalam menangani kasus yang melibatkan personel TNI aktif.

Terlebih, dalam operasi tangkap tangan ini, Agung melanjutkan, Puspom TNI tidak mendapatkan informasi dari KPK. Informasi adanya kasus yang menjerat dua personel aktif TNI itu didapatkan dari pemberitaan media nasional. “Mekanisme penetapan sebagai tersangka ini adalah kewenangan TNI sebagaimana undang-undang yang berlaku,” kata Agung dalam jumpa pers di Markas Besar TNI Cilangkap, Jumat lalu.

Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro menjelaskan, personel militer yang diduga melanggar hukum ditindak dengan menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. “Di dalam UU itu diatur mengenai masalah penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, dan pelaksanaan eksekusi,” kata Kresno.

Kendati begitu, Agung menegaskan, keberatan akan pengumuman tersangka personel TNI aktif oleh KPK bukan upaya TNI melindungi anggotanya yang bersalah. Sebagaimana diperintahkan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono, lembaganya bakal menindak setiap personelnya yang terbukti melanggar hukum. “Intinya saling menghormati. TNI punya aturan dan KPK juga punya aturan,” ujarnya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur menilai, KPK seharusnya tetap menggunakan Undang-Undang KPK sebagai pijakan dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kasus korupsi. Menurut dia, KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis atau undang-undang yang khusus mengesampingkan undang-undang yang umum.

Menurut Isnur, sistem peradilan militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 dinilai sebagai sistem hukum yang eksklusif bagi prajurit yang terlibat kejahatan, dan sering kali menjadi impunitas. Padahal, kata Isnur, dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan bahwa prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”

Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan bahwa penetapan status tersangka oleh KPK dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap. “Akan menjadi aneh jika KPK justru tidak mentersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya, padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap,” ucap Isnur.

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, punya pendapat berbeda. Dia melihat sejumlah kekeliruan dilakukan KPK saat menetapkan anggota TNI aktif sebagai tersangka. Khairul mengatakan, operasi tangkap tangan serta upaya KPK menghadirkan pemberi dan penerima suap dalam operasi tangkap tangan saat penetapan tersangka sebenarnya bisa dimaklumi. Hanya, saat gelar perkara dan penetapan tersangka itu dinilai sebagai kesalahan karena pimpinan KPK tidak segera berkoordinasi dan melimpahkan anggota TNI aktif kepada Pusat Polisi Militer TNI. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.