Syarat Terbatas Pengisian Penjabat Kepala Daerah
JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah segera menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi perihal pengisian penjabat kepala daerah.
DPR meminta pemerintah menyiapkan petunjuk teknis dan membuat pemetaan kebutuhan masing-masing daerah dalam masa transisi menunggu pemilihan kepala daerah atau pilkada yang akan digelar pada 2024.
Anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Guspardi Gaus, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022 secara spesifik meminta pemerintah segera membuat petunjuk teknis yang mengatur proses pengisian penjabat kepala daerah. “Seperti yang ditekankan MK, tujuannya agar pemilihan penjabat kepala daerah berlangsung profesional, transparan, akuntabel, independen, dan bebas dari intervensi partai politik,” kata Guspardi dilansir Tempo, Sabtu (30/4/2022).
Pilkada serentak akan berlangsung pada 2024. Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang masa jabatannya berakhir pada 2022 dan 2023, penjabat kepala daerah akan diangkat hingga terpilihnya kepala daerah baru. Sebanyak 101 kepala daerah setingkat provinsi, kabupaten, dan kota bakal berakhir masa jabatannya sebelum pilkada serentak 2024.
Guspardi menegaskan bahwa desakan Mahkamah Konstitusi merupakan keputusan yang mengikat sehingga harus dijalankan pemerintah. Kementerian Dalam Negeri bertugas memetakan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat. Hal itu merujuk pada Pasal 201 ayat 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Mahkamah Konstitusi pada Kamis lalu mengeluarkan putusan atas permohonan gugatan uji materi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Hakim konstitusi menolak seluruh permohonan gugatan. Meski permohonan gugatan itu ditolak, Mahkamah memberikan syarat ihwal siapa saja yang layak dan dilarang menjadi penjabat kepala daerah. Karena itu, pemerintah diminta membuat petunjuk teknis syarat pengisian penjabat kepala daerah sebelum pilkada dilaksanakan.
Hakim konstitusi juga menegaskan larangan bagi prajurit TNI dan anggota kepolisian untuk menduduki jabatan sipil, termasuk penjabat kepala daerah. Mereka bisa menduduki jabatan sipil jika mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Adapun penugasan anggota TNI-Polri pada kantor sipil hanya bisa dilaksanakan di instansi pusat, di antaranya Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan; Lembaga Pertahanan Negara; Badan Intelijen Negara; hingga Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi juga melarang kepala daerah yang telah mengakhiri masa tugasnya mengisi jabatan penjabat kepala daerah. Sebab, kepala daerah terpilih sudah mengetahui sedari awal ihwal kebijakan perubahan berupa pelaksanaan pilkada serentak pada 2024. Meski demikian, hakim konstitusi menjamin bahwa penjabat kepala daerah akan menjalankan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sehingga tidak mengganggu hak konstitusional warga untuk mendapat pelayanan publik.
Untuk memenuhi berbagai persyaratan tersebut, menurut Guspardi, pemerintah perlu menyiapkan mekanisme persyaratan yang terukur untuk menjaring 101 penjabat kepala daerah yang layak. Guspardi meminta penjabat kepala daerah nantinya tidak dimonopoli oleh aparatur sipil negara (ASN) yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri. “Artinya, penjabat kepala daerah boleh dari ASN dari kementerian lain setingkat eselon I untuk gubernur serta eselon II untuk bupati dan wali kota sesuai dengan ketentuan berlaku.”
Dia juga meminta proses penjaringan penjabat kepala daerah bebas dari intervensi siapa pun, terutama partai politik. Hal ini untuk mencegah konflik kepentingan di kemudian hari, terutama menghindari jual-beli jabatan penjabat kepala daerah. Untuk menjamin itu, Komisi II DPR bidang pemerintahan ini berjanji bakal mengawasi dengan cara meminta pertangungjawaban Kementerian Dalam Negeri dalam rapat dengar pendapat di gedung Parlemen.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benni Irwan, belum bisa dimintai konfirmasi ihwal berbagai syarat dan petunjuk teknis penjaringan kandidat penjabat kepala daerah. Sebelumnya, Benni mengaku lembaganya sedang menelaah hasil putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Adapun Presiden Joko Widodo pada Februari lalu sempat menyebutkan tengah menyiapkan nama-nama yang layak menjadi penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan di 101 wilayah.
Menanggapi hal itu, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, meminta Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) membentuk kelompok kerja khusus untuk mengawasi pengisian penjabat kepala daerah. “KPK, PPATK, dan aparat penegak hukum lainnya juga perlu mengantisipasi potensi praktik transaksional dan koruptif dalam pengisian penjabat kepala daerah ini,” tutur dia.
Titi juga menganjurkan agar Presiden Joko Widodo dan Kementerian Dalam Negeri meminta pendapat dan masukan dari DPRD setempat ihwal kriteria penjabat kepala daerah di masing-masing wilayah. Khusus terkait dengan Papua, pemerintah diminta memperhatikan afirmasi orang asli Papua (OAP) dalam pemilihan penjabat di Provinsi Papua Barat ataupun di sejumlah kabupaten di tanah Papua.
Perludem sempat memaparkan data ASN dengan jabatan tinggi madya serta jabatan tinggi pratama pusat dan daerah yang layak ikut seleksi sebagai penjabat kepala daerah. Jumlahnya mencapai 588 orang setingkat madya di level kementerian dan 3.123 orang setingkat pratama di level kementerian. Jumlah tersebut cukup untuk menjaring sosok yang ideal sebagai penjabat kepala daerah.
Adapun Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, mengkritik keputusan Mahkamah Konstitusi ihwal penjabat kepala daerah itu. Menurut dia, semestinya Mahkamah lebih banyak berbicara mengenai mekanisme pemilihan yang demokratis dalam mengisi kekosongan jabatan kepala daerah tersebut.
Nurlia juga mengkritik proses pengisian penjabat kepala daerah yang dinilai tidak sesuai dengan amanat demokrasi. Mekanisme pemilihan penjabat kepala daerah seolah-olah dibangun secara administratif dengan calon berasal dari ASN. Karena itu, menurut dia, hal yang dibutuhkan bukan membuat petunjuk teknis pengisian penjabat kepala daerah, tapi membangun mekanisme pemilihan yang demokratis sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar. Hal ini untuk mencegah munculnya calon titipan atau kebijakan transaksional dalam proses pemilihan penjabat kepala daerah. (TMP/PB1)