Tak Perlu Buru-buru Sahkan RUU KIA

JAKARTA – Komisi IX Bidang Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kependudukan Dewan Perwakilan Rakyat telah menyelesaikan harmonisasi Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (RUU KIA). Rancangan itu sudah diserahkan ke Badan Legislatif untuk dibawa ke rapat paripurna dan disahkan menjadi RUU inisiatif DPR. “Ada kemungkinan ini akan cepat karena pimpinan DPR menaruh perhatian khusus,” kata anggota Komisi IX, Mufidayanti, kemarin.

Mufidayanti mengatakan pengesahan RUU KIA sebenarnya tidak perlu buru-buru. Sebab, rancangan masih akan diselaraskan dengan undang-undang lain, seperti UU Perlindungan Anak, UU Perkawinan, dan UU Keluarga. “Juga harus mendengarkan banyak masukan masyarakat dan ahli,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera ini.

Ketua DPR Puan Maharani sebelumnya mengatakan RUU KIA merupakan langkah progresif bagi perempuan karena dirancang untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia unggul. Adapun poin-poin penting yang tercantum dalam RUU ini adalah tentang hak ibu bekerja untuk cuti melahirkan selama enam bulan dan cuti keguguran selama 1,5 bulan.

Sementara itu, ibu menyusui yang bekerja juga mendapat kesempatan dan tempat untuk melakukan laktasi serta mendapat cuti untuk mengurus kepentingan anak. Suami juga dimungkinkan untuk mendapat cuti 40 hari agar bisa mendampingi istri yang melahirkan. Dengan ketentuan itu, ibu bisa memberikan air susu secara optimal kepada bayinya. “Ini penting sekali karena, pada 2024, stunting harus berkurang,” kata Puan.

Tia Febrima, karyawan perusahaan retail di Jakarta, memberikan tanggapan dingin atas rencana pengesahan RUU KIA tersebut. Perempuan berusia 30 tahun yang tengah hamil tua ini justru khawatir pekerjaannya akan digeser orang lain jika ia terlalu lama mendapat cuti. “Karena mau enggak mau, tetap harus ada yang menggantikan posisi saya selama cuti,” katanya.

Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, mengapresiasi wacana cuti melahirkan selama enam bulan yang ditawarkan dalam RUU KIA. Langkah ini menjadi upaya untuk menguatkan hak maternitas perempuan. Namun perlu ada pengawasan agar aturan ini benar-benar bisa ditegakkan. “Untuk cuti hamil tiga bulan saja masih ada perusahaan yang melanggar,” kata dia.

Theresia ragu pemberian cuti pendampingan kepada suami selama 40 hari bisa berjalan dengan baik. “Apa mereka betul-betul melakukan pendampingan?” ucap dia. Apalagi jika sang suami tidak terbiasa melakukan pekerjaan domestik. “Mereka lebih memilih tetap bekerja daripada memanfaatkan cuti.”

Absennya penjabaran kewajiban laki-laki membuat Komnas Perempuan khawatir RUU KIA justru memicu domestikasi dan pembatasan hak perempuan. Sebab, perusahaan yang belum memiliki perspektif keadilan gender pasti menilai kebijakan ini akan merugikan perusahaan. Ujungnya, perusahaan hanya memberikan porsi kecil kepada perempuan saat proses perekrutan. “Ada juga kemungkinan diskriminasi pekerja perempuan, seperti tidak boleh hamil dalam jangka sekian tahun,” ujar Theresia.

Ketimpangan gender di Indonesia masih menjadi persoalan. Karena itu, negara harus memastikan masyarakat telah memahami bahwa fungsi maternitas merupakan tanggung jawab bersama. “Ini penting dengan memastikan pengawasan,” kata Theresia.

Atas pertimbangan itu, Komnas Perempuan berharap RUU KIA tidak buru-buru disahkan. DPR dan pemerintah perlu menjaring aspirasi dari kelompok-kelompok perempuan agar aturan ini bisa tepat sasaran. “Harus dipikirkan betul-betul agar RUU KIA tidak melanggengkan ketidakadilan gender, mendomestikasi perempuan, dan stereotyping yang justru merugikan kaum perempuan,” kata Theresia. (TEM/ANT)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: