Tingkatkan Penelitian dan Penjelajahan di Papua
MANOKWARI, papuabaratnews.co — Penelitian dan penjelajahan untuk mengungkap keanekaragaman hayati di tanah Papua perlu terus ditingkatkan untuk mencegah spesies flora maupun fauna mengalami kepunahan. Perlu adanya dukungan dari semua pihak baik pemangku kebijakan, korporasi, organisasi lingkungan dan filantropi, maupun masyarakat sekitar.
Hal tersebut mengemuka dalam acara Kompas Talks bertajuk ”Restorasi Ekosistem untuk Keberlanjutan Keanekaragaman Hayati”, Selasa (6/7/2021). Turut hadir sebagai pembicara Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Tony Wenas, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Barat Charlie D Heatubun, Dewan Pembina Yayasan Kehati Erna Witoelar, dan figur publik sekaligus pegiat lingkungan Nugie.
Charlie Heatubun menyampaikan, kondisi keanekaragaman hayati di Papua Barat secara umum sangat mengkhawatirkan karena minimnya pengetahuan dan penelitian untuk mengungkap kekayaan di wilayah tersebut. Padahal, keanekaragaman hayati di pulau Papua maupun di wilayah lain tengah menghadapi tekanan akibat pembangunan, peningkatan jumlah penduduk, dan krisis iklim.
”Jumlah spesies tumbuhan berpembuluh di Papua dalam publikasi terakhir ada 13.634 spesies. Namun, sebagian besar data ini justru berasal dari hasil penelitian negara tetangga Papua Niugini sehingga masih banyak wilayah Papua yang belum dijelajahi untuk kepentingan ilmu pengetahuan,” ujarnya.
Menurut Charlie, masih minimnya penelitian di Papua disebabkan keterbatasan jumlah peneliti dan aksesibilitas seperti infrastruktur hingga adanya konflik antar-suku. Di sisi lain, melakukan penelitian di Papua juga membutuhkan biaya yang sangat besar karena kondisi fisik alam yang beragam seperti pegunungan, kawasan hutan, danau, laut, muara, dan pulau-pulau.
”Mengungkap flora di tanah Papua selama seratus tahun ke depan mungkin juga belum akan selesai apalagi jika peneliti flora masih minim. Berbeda dengan bidang teknologi, peneliti keanekaragaman hayati perlu menjelajah dan ini yang membutuhkan energi besar,” katanya.
Charlie menegaskan, peran penelitian sangat penting dalam menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati. Saat ini, Balitbangda Papua Barat juga telah mengidentifikasi prioritas konservasi untuk 1.500 tumbuhan endemik sehingga dapat menjadi fokus penetapan kawasan lindung dari skenario krisis iklim.
Erna Witoelar memandang bahwa upaya Indonesia belum cukup optimal untuk mendukung kelestarian keanekaragaman hayati seperti yang diharapkan dunia. Upaya yang dilakukan saat ini tidak hanya sebatas konservasi, tetapi juga restorasi mengingat kerusakan yang terjadi sudah berlangsung sejak lama dan berdampak luas.
Meski demikian, Erna juga menilai saat ini sudah banyak daerah-daerah dan organisasi filantropi yang telah melakukan restorasi ekosistem dengan skala besar. Sejumlah pihak tersebut sudah menyadari pentingnya menjaga lingkungan dan melestarikan keanekaragaman hayati meski pada awalnya kegiatan restorasi dilakukan dengan tekanan.
”PBB menggaungkan saat ini menjadi dekade untuk restorasi ekosistem karena ini merupakan solusi mengatasi degradasi keanekaragaman hayati. Jadi, masing-masing pihak baik perusahaan, pemerintah, atau masyarakat harus berbuat sesuatu untuk merestorasi ekosistem,” ujarnya.
Upaya korporasi
Tony Wenas mengatakan, Freeport telah berkomitmen menjaga lingkungan dan melestarikan keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan ekonomi khususnya untuk masyarakat sekitar. Komitmen tersebut juga telah menjadi bagian dari tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG).
Sejumlah upaya yang telah dilakukan Freeport itu, antara lain, membangun pusat penelitian keanekaragaman hayati dan melakukan reklamasi serta rehabilitasi. Sejak 1999-2020, area yang telah direklamasi telah mencapai 2.800 hektar. Sedangkan semester pertama 2021 juga telah dilakukan penanaman 1 juta pohon dengan cakupan luas 400 hektar dan ditargetkan mencapai 2,7 juta pohon pada lahan 2.000 hektar.
Sementara untuk kegiatan penelitian yang telah dilakukan diantaranya tentang vegetasi, mamalia, burung, ampibi, perikanan air tawar, serangga air dan serangga terestrial. Hasil penelitian ini telah menemukan banyak spesies baru mulai dari biota akuatik hingga tanaman dan fauna terestrial seperti 16 spesies kepiting, 17 spesies mamalia yang belum diidentifikasi, dan 20-30 potensi spesies kodok.
”Hal lain yang tidak kalah penting adalah mengenai pendidikan keanekaragaman hayati dan lingkungan. Kami telah menerbitkan buku-buku dan mengedukasi siswa mulai dari SD hingga SMA untuk berkunjung ke wilayah konservasi kami agar mereka mengerti keanekaragaman hayati di Papua dan belajar melestarikannya,” ucapnya.
Sementara guna membangkitkan ketertarikan masyarakat, Nugie menyatakan, perlu ada informasi berimbang yang diterima publik terkait isu lingkungan dan keanekaragaman hayati. Sebab, ia menilai bahwa selama ini isu kerusakan lingkungan lebih banyak disampaikan dibandingkan konservasi atau penemuan spesies flora dan fauna baru.
”Ini membutuhkan aksi nyata khususnya penyelamatan flora karena masyarakat awam hanya melihat isu yang menarik. Padahal, flora sangat dibutuhkan dan menjadi indikator suatu lingkungan hidup yang baik bila habitatnya terjaga,” tuturnya. (RLS/KOM/RED)