Berita Utama

Ultimatum agar Tuntas di Peradilan Umum

JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berencana melaporkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ke Dewan Pengawas KPK. Koalisi mengultimatum agar tim penyidik KPK tetap menuntaskan proses hukum perwira TNI aktif yang diduga terlibat korupsi.

Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyatakan akan meminta Dewan Pengawas KPK menginvestigasi mekanisme pengusutan serta penyidikan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Kasus tersebut diduga melibatkan Kepala Basarnas 2021-2023, Marsekal Madya Henri Alfiandi, serta Koordinator Administrasi Kepala Basarnas, Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto.

Bila mekanisme penyidikan kasus Basarnas sudah sesuai dengan prosedur, kata Julius, Dewan Pengawas harus mendorong KPK melanjutkan kasus tersebut secara transparan. “Bila Dewan Pengawas KPK tetap tidak mau menindaklanjutinya, kami akan melaporkan ke Ombudsman RI supaya jelas,” ujar Julius saat dihubungi pada Minggu (30/7/2023).

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri atas lembaga nirlaba, seperti PBHI, Imparsial, ELSAM, Centra Initiative, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty International Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), SETARA Institute, dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Koalisi menilai KPK berwenang mengusut kasus Basarnas tanpa menyerahkan proses hukum ke Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Karena korupsi sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus, menurut dia, komisi antirasuah bisa menggunakan Undang-Undang KPK sebagai landasan untuk memproses perwira TNI aktif yang diduga terlibat korupsi.

Bila KPK menyerahkan kasus tersebut kepada Puspom TNI, Julius menilai, hal tersebut akan menyalahi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang TNI menyebutkan prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer jika melanggar hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum jika melanggar hukum pidana umum.

Selain itu, Julius melanjutkan, surat perintah penyidikan dalam menangani suatu kasus tidak bisa dipisah. “Kalau dipisah, dasar hukum harus dinyatakan dihapus. Jadi, teknisnya bebas. Bukan hanya personel TNI yang diduga terlibat, tapi juga kalangan swasta dibebaskan karena basis penyidikan dianggap sudah salah prosedur,” ujar dia.

Tidak Harus Diadili di Peradilan Militer

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mengatakan perwira TNI aktif yang bekerja di institusi sipil dan terlibat kasus korupsi tidak harus diadili melalui peradilan militer. Menurut dia, Pasal 47 Undang-Undang TNI sudah menegaskan bahwa perwira aktif yang duduk di 10 kementerian dan lembaga, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi serta hukum pengawasan di kementerian/lembaga yang bersangkutan.

Basarnas adalah lembaga sipil, maka perwira TNI aktif sekalipun harus tunduk pada hukum sipil. “Jadi, tidak berlaku lagi administrasi TNI. Penanganan kasus, baik korupsi maupun pidana lain yang berhubungan dengan lembaga tempat dia bertugas, dilakukan melalui peradilan umum,” ujar Isnur dalam konferensi pers di Jakarta, kemarin.

KPK, Isnur melanjutkan, bisa mengesampingkan mekanisme peradilan militer dengan asas lex specialis derogat lex generalis atau undang-undang khusus yang mengesampingkan undang-undang umum. Dalam Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang TNI disebutkan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum dengan undang-undang. “Dengan begitu, penetapan status tersangka oleh KPK sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” ujarnya.

Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, mengatakan tidak ada yang salah ihwal proses hukum penyidik KPK dalam menetapkan tersangka. Menurut pegiat antikorupsi ini, penyidik KPK sudah memeriksa kasus Basarnas hingga melakukan gelar perkara, bahkan dengan Puspom TNI. “Artinya, semua tahapan selesai. Fakta hukum juga sudah jelas bahwa ada upaya meminta fee kepada swasta,” ujar Agus.

Menurut dia, KPK berwenang memimpin penyelidikan bersama Puspom TNI sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang KPK. Hal ini diperkuat dengan Pasal 89 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai koneksitas. “Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama dalam lingkup peradilan umum dan peradilan militer bisa diperiksa serta diadili dalam lingkup peradilan umum,” kata Agus.

Ia menyayangkan pernyataan pemimpin KPK yang menyalahkan tim penyidik. Padahal, berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang KPK, penyelidik dan penyidik bekerja berdasarkan perintah pimpinan. Mereka tidak mungkin menetapkan tersangka dan melakukan operasi tangkap tangan tanpa persetujuan pimpinan. “Dewan Pengawas harus memeriksa pimpinan KPK atas pernyataannya. Sikap pimpinan bisa dianggap merusak informasi dalam penegakan hukum yang dilakukan KPK,” ujar Agus.

Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, mengatakan penyerahan kewenangan KPK kepada Puspom TNI dalam kasus Basarnas melanggar asas hukum khusus yang mengesampingkan hukum umum. Dia menilai perdebatan soal peradilan umum dan peradilan militer tidak ada lagi karena kasus dugaan korupsi di Basarnas adalah tindak pidana yang bersifat khusus. “Dengan kata lain, kedudukan hukum, baik sipil, polisi, maupun militer yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, adalah sama, yakni tunduk pada hukum antikorupsi,” ujar Usman.

Menanggapi hal tersebut, anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris, tidak banyak berkomentar. Saat dihubungi untuk dimintai konfirmasi, dia menyatakan Dewan Pengawas siap menyikapi laporan yang masuk.

Melanggengkan Impunitas

Dihubungi dalam kesempatan terpisah, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, menyebutkan peradilan militer selama ini justru dianggap melanggengkan impunitas. Dia menilai peradilan militer tidak pernah transparan dan akuntabel dalam mengusut serta menangani kasus. Dia mencontohkan pengusutan kasus hingga proses di pengadilan. “Semua aktor itu berasal dari militer. Terdakwa dari militer, penuntut atau oditur dari militer, hakim dari militer. Ini tentu tidak akuntabel,” kata Al Araf.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menilai kasus Basarnas menunjukkan bahwa perwira aktif yang duduk di jabatan sipil tidak mau tunduk pada aturan sipil. Perwira TNI aktif yang diduga terlibat dugaan korupsi hanya mau tunduk pada peradilan militer. Ironisnya, menurut Gufron, peradilan militer selama ini dianggap hanya menjadi sarana impunitas. “Pun bila diadili di peradilan militer, tidak pernah ada yang divonis hukuman berat,” ujarnya.

Imparsial mencatat, sepanjang 1997-2007, terdapat 46 kasus tindak pidana umum yang melibatkan tentara. Namun persidangan di peradilan militer belum memenuhi rasa keadilan. Sebab, rata-rata anggota TNI yang menjadi terdakwa divonis bebas dan dihukum ringan. Dia mencontohkan, kasus penembakan dua warga sipil di Waghete, Kabupaten Paniai, Papua. Tersangka kasus yang terjadi pada 2006 itu adalah Letnan Dua Arif Budi Situmeng. Dalam sidang, hakim memvonis terdakwa dengan pidana 2 bulan penjara.

Gufron mengatakan KPK juga dihambat bila menggunakan peradilan militer. Dia mencontohkan kasus korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland 101 (AW-101) di lingkungan TNI Angkatan Udara. Kasus ini melibatkan kalangan sipil dan personel militer, di antaranya perwira TNI. Dalam proses pemeriksaan kasus tersebut, KPK kesulitan menghadirkan saksi dari militer. “Alasannya, mekanisme pemanggilan personel TNI harus tunduk pada sistem peradilan militer. Sedangkan peradilan militer bersifat tertutup,” ujar Gufron.

Kesulitan lainnya, Gufron melanjutkan, penerapan Pasal 65 Undang-Undang TNI hingga kini belum efektif. Sebab, Undang-Undang Peradilan Militer belum kunjung direvisi. Padahal Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 mengamanatkan adanya reformasi peradilan militer. Revisi bertujuan memastikan anggota TNI tunduk pada yurisdiksi peradilan bila melakukan tindak pidana umum. “Selama belum direvisi, militer memiliki hukum sendiri untuk mengadili prajurit yang melakukan tindak pidana hukum,” ujar Gufron. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: