Berita Utama

Urgensi Revisi UU Peradilan Militer

JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat segera merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Revisi ini dinilai penting agar anggota TNI yang terlibat tindak pidana umum dapat diproses menggunakan mekanisme peradilan umum.

“Kami berencana mengajukan audiensi ke Presiden, Komisi III DPR, dan Kementerian Menkopolhukam. Minggu depan, setelah konsolidasi, kami akan mengirim surat (permohonan audiensi),” kata Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi manusia (PBHI), Julius Ibrani dilansir Tempo, Selasa (8/8/2023).

Koalisi masyarakat sipil saat ini tengah mengumpulkan materi-materi yang akan disampaikan dalam audensi. Julius mencontohkan aturan dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pada ayat 2 pasal itu dinyatakan bahwa anggota TNI harus tunduk dan patuh pada peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.

Namun, kata Julius, ketentuan dalam Pasal 65 ayat 2 UU Nomor 34/2004 itu sulit diterapkan karena terhadang Pasal 74. Pasal itu menyebutkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 65 dapat diberlakukan setelah ada UU Peradilan Militer yang baru. Padahal hingga saat ini aturan tentang peradilan militer hanya mengacu pada UU Nomor 31/1997. Dengan kata lain, anggota TNI yang terlibat perkara hukum—baik pidana umum maupun pidana militer—selalu diproses dengan mekanisme peradilan militer.

Revisi UU Nomor 31/1997 merupakan salah satu cita-cita reformasi untuk mewujudkan supremasi sipil di Indonesia. Usulan itu muncul sejak reformasi bergulir. Namun desakan semakin kuat setelah terjadi ketegangan antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan TNI dalam penanganan dugaan korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan Nasional (Basarnas). Sebab, perkara ini melibatkan dua anggota TNI aktif, yakni Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto.

Pimpinan KPK pada 26 Juli lalu telah menetapkan Henri dan Afri menjadi tersangka. Namun penetapan tersangka ini diprotes oleh Puspom TNI. Alasannya, kewenangan penetapan tersangka untuk anggota militer aktif berada di tangan penyidik militer. Jadi, langkah KPK dinilai cacat prosedural.

Menurut Julius, setelah penanganan kasus diambil alih oleh Puspom TNI, Henri dan Afri memang juga ditetapkan sebagai tersangka. Namun publik telanjur ragu akan mekanisme peradilan militer. Apalagi, berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya, proses yang berjalan di peradilan militer tidak transparan. Bahkan, dalam beberapa kasus, tersangka justru mendapat ganjaran ringan atau bahkan divonis bebas.

Julius khawatir, jika UU Nomor 31/1997 dipertahankan, reformasi di tubuh TNI hanya akan jalan di tempat. Sebab, anggota TNI seolah-olah memiliki impunitas sehingga mengabaikan supremasi sipil. Gejala tersebut paling tidak terjadi di Polrestabes Medan, Sumatera Utara. Pada 5 Agustus lalu, kantor polisi itu digeruduk puluhan personel TNI dari Kodam I/Bukit Barisan. Kedatangan mereka semata-mata demi mengeluarkan seorang tersangka pemalsuan dokumen yang ditahan oleh penyidik.

Menurut Julius, tindakan sekelompok anggota TNI itu bukan hanya mengintervensi proses hukum, tapi juga sudah menghalang-halangi proses penyidikan. “Bentuk intervensi yang dilakukan oleh TNI inilah yang menjadi alasan UU Peradilan Militer urgen untuk direvisi,” katanya.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), M. Isnur, mengatakan penerapan peradilan militer menunjukkan eksklusivitas TNI di negara ini. Sementara itu, di negara-negara yang menjunjung hak sipil, penerapan peradilan militer hanya berlaku untuk tentara yang memang melanggar aturan militer. Namun, ketika mereka melakukan pidana umum, yang berlaku adalah peradilan umum.

Berdasarkan catatan YLBHI, selama periode September  2021-September 2022 terdapat 65 perkara tindak pidana umum yang dilakukan anggota TNI. Setelah diproses dengan mekanisme peradilan militer, hukuman yang diberikan kepada mereka terbilang ringan. “Mayoritas hanya dihukum penjara dalam hitungan bulan,” katanya.

YLBHI, yang juga menjadi bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, mendesak Presiden menerbitkan surat untuk merevisi UU Nomor 31/1997 atau langsung menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono menegaskan, tidak ada impunitas bagi anggota TNI yang terindikasi melakukan tindak pidana. “Karena saya lihat dari pembicaraan selama ini seolah-olah TNI kalau masuk peradilan militer, ada impunitas,” katanya. “Tunjukkan mana impunitas yang diterima prajurit TNI kalau (mereka berbuat) salah.”

Yudo menegaskan, setiap prajurit yang terindikasi melakukan tindak pidana akan diproses sesuai dengan aturan. Ia mencontohkan hukuman seumur hidup yang diberikan kepada Brigadir Jenderal TNI Teddy Hernayadi pada 2016. Majelis hakim peradilan militer juga memecat Teddy dari TNI dan memerintahkannya mengembalikan kerugian negara sebesar US$ 12.409 atau sekitar Rp 130 miliar. “Kami tunduk pada hukum. Kalau mau diubah dan sebagainya, kami tunduk pada keputusan politik negara,” katanya dilansir Antara.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. mengatakan pemerintah akan mempertimbangkan usulan revisi UU Nomor 31/1997. “Kami catat dulu untuk dipertimbangkan Nantilah kita bisa bicarakan, kapan prioritas dimasukkan. Saya sependapat itu perlu segera dibahas,” kata Mahfud, pekan lalu. (TEM/ANT)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.