Wamendagri: Kesejahteraan Menutup Ruang Kekerasan
JAKARTA – Kekerasan di Papua yang terus berulang disinyalir merupakan dampak dari kesenjangan ekonomi. Pemerintah melalui pembangunan tiga daerah otonom baru di Papua akan menutup ruang kekerasan melalui pendekatan kesejahteraan kepada masyarakat orang asli Papua.
Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Wetipo mengatakan, serangan kelompok kriminal bersenjata di Nduga yang menyebabkan sepuluh orang meninggal dan dua lainnya kritis tidak bisa dibenarkan sekalipun tindakan itu dilakukan oleh orang asli Papua (OAP). Pasalnya, tidak ada manusia di dunia ini yang berhak mencabut nyawa seseorang. Tindakan tersebut dinilai juga tidak sesuai dengan norma hukum dan adat masyarakat Papua.
”Tindakan yang dilakukan KKB merupakan tindakan biadab dan tidak ada perikemanusiaan, apalagi salah satu OAP yang terbunuh adalah pendeta yang membangun karakter dan akhlak manusia,” ujarnya saat dihubungi dari Jakarta, Senin (18/7/2022).
John Wempi menuturkan, Kemendagri akan fokus dengan proses pemekaran tiga daerah otonom baru (DOB) di Papua. Pihaknya tengah menyusun peta jalan yang lebih mengarah kepada kesejahteraan masyarakat sehingga tidak ada lagi kesenjangan sosial yang dapat memberi ruang bagi gerakan-gerakan kekerasan oleh KKB di Nduga dan Papua secara umum. Mereka akan melakukan pemetaan agar keberadaan tiga DOB bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan berdampak pada masyarakat OAP.
”DOB harus membawa manfaat kesejahteraan yang lebih besar bagi masyarakat OAP,” ucapnya.
Meski kekerasan kerap terjadi, langkah awal pembangunan di DOB harus berjalan dengan baik karena menjadi fondasi awal pembangunan kesejahteraan di Papua. Fokus peningkatan kesejahteraan bisa lebih maksimal dilakukan karena ruang wilayah yang semakin mengecil dan perhatian kepada masyarakat bisa lebih ditingkatkan lagi.
Bukan solusi utama
Peneliti senior pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Vidhyandika Djati Perkasa, menambahkan, DOB tidak bisa menjadi solusi utama penyelesaian konflik di Papua. Sebaliknya, DOB dinilai justru bisa menjadi sumber potensi konflik baru. Apalagi, DOB diinisiasi oleh pemerintah dengan fondasi yang lemah karena kompleksitas akar masalah yang tidak diselesaikan, khususnya pelanggaran hak asasi manusia.
Untuk itu, pemetaan konflik mestinya dilakukan secara bottom up dengan melibatkan seluruh eleman masyarakat OAP, termasuk Majelis Rakyat Papua, Dewan Adat, DPR Papua, lembaga swadaya masyarakat, serta pihak-pihak yang anti terhadap kebijakan pemerintah. Keterlibatan masyarakat akan meningkatkan legitimasi pemerintah sehingga OAP bisa mendukung kebijakan yang dibuat, terutama peningkatan kesejahteraan di OAP. Apalagi, OAP tidak bisa ”dibeli” hanya dengan pendekatan ekonomi dan tetap membutuhkan kepercayaan terhadap pemerintah.
”Sekarang pemerintah harus menunjukkan keberpihakan ke OAP. Keadilan dan kesejahteraan harus menjadi prioritas. Jangan hanya ‘manis di mulut’ sehingga setiap kebijakan harus dipastikan membangun kepercayaan dengan masyarakat Papua,” kata Vidhyandika.
DOB, lanjut Cidyandika, memunculkan kecurigaan dari masyarakat terhadap motif pemerintah. Terlebih lagi ada perasaan trauma terhadap kedatangan aparat keamanan di setiap daerah baru. (KOM)