Waswas Pemilihan Penjabat Kepala Daerah
JAKARTA – Pemerintah segera memutuskan pergantian 17 gubernur yang masa jabatannya akan habis pada September-Desember mendatang. Sejumlah kalangan berharap proses penunjukan penjabat kepala daerah tersebut digelar secara transparan karena tingginya risiko penyalahgunaan kewenangan menjelang Pemilihan Umum 2024.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyanti, mengatakan bahwa potensi politisasi birokrasi bakal semakin tinggi pada akhir tahun ini hingga awal tahun depan, menjelang Pemilu 2024 yang dijadwalkan berlangsung serentak pada 14 Februari 2024. Penjabat kepala daerah, kata dia, potensial menjadi pintu masuk politisasi tersebut.
Karena itu, menurut Khoirunnisa, rencana pergantian kepala daerah mulai September nanti sangat krusial, sehingga pemerintah perlu menjalankan mekanisme penunjukan penjabat yang transparan. “Karena penjabat yang akan ditunjuk jumlahnya banyak. Masa jabatannya juga panjang,” kata Khoirunnisa pada Minggu (6/8/2023). “Mekanisme yang transparan itu seperti yang disebutkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.”
Kementerian Dalam Negeri mencatat sebanyak 170 kepala daerah akan habis masa jabatannya tahun ini. Sebanyak 17 jabatan di antaranya adalah gubernur. Sisanya, sebanyak 153, adalah bupati/wali kota. Pemerintah telah memulai proses pergantian jabatan bupati/wali kota ini pada Mei lalu. Adapun pergantian gubernur akan dimulai bulan depan, kendati Kemendagri telah meminta dewan perwakilan rakyat daerah di beberapa provinsi untuk mengusulkan calon penjabat.
Adapun putusan MK yang dimaksudkan Khoirunnisa adalah perkara Nomor 67/PUU-XIX/2021. Perkara itu menguji Pasal 201 ayat (7) dan (8) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang. Kendati menolak permohonan pemohon, dalam putusan itu, MK menyatakan pemerintah perlu menerbitkan peraturan pelaksana Pasal 201. Dengan begitu, MK berharap tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas dalam pengisian penjabat kepala daerah yang tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi, serta berlangsung secara terbuka, transparan, dan akuntabel.
Khoirunnisa mengatakan, sinergi antarinstansi pemerintahan yang bertugas sebagai pengawas juga diperlukan untuk mengantisipasi tingginya potensi politisasi birokrasi menjelang Pemilu 2024 melalui penjabat kepala daerah. Instansi yang dimaksudkan meliputi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Ombudsman RI, hingga Komisi Informasi Pusat. Peran Komisi Informasi Pusat, dia mencontohkan, diperlukan agar publik bisa mengetahui penyelesaian kasus netralitas ASN dalam pemilihan umum. “Sering kali publik tidak mengetahui proses penindakan terhadap ASN yang dianggap telah melakukan pelanggaran karena tidak netral dalam pemilu,” kata dia.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komaruddin, punya pandangan serupa. Dia menilai penunjukan penjabat kepala daerah bakal sarat kepentingan politik menjelang pemilu. Proses penunjukannya, kata dia, berpotensi ditunggangi kepentingan partai politik ataupun pemerintah untuk mempertahankan kekuasaannya. “Kita nanti melihat penjabat kepala daerah pasti membuat kebijakan strategis yang menguntungkan dirinya, kelompoknya, bahkan partai politik tertentu,” kata Ujang. “Karena hampir tidak ada perbedaan kewenangan antara penjabat dan kepala daerah definitif dalam membuat kebijakan.”
Ujang memperkirakan, pada tahun politik ini, penjabat yang dilantik kelak akan menggelontorkan banyak program bantuan sosial atau program lain yang sarat pencitraan. Program yang bersentuhan langsung dengan masyarakat semacam itu berpotensi dimobilisasi oleh kelompok atau orang-orang perwakilannya di daerah, yang dianggap berjasa dalam menempatkan mereka menjadi penjabat kepala daerah. Meski para penjabat tersebut merupakan aparatur sipil negara, kata Ujang, sulit berharap mereka bersikap netral dalam pemilihan umum.
“Justru mereka rawan di-endorse oleh kepentingan tertentu. Tidak mungkin mereka tidak berpihak (pada kelompok kepentingan tertentu) karena, kalau tidak mau berpihak, tidak akan dipilih,” kata Ujang. “Jadi, sangat rawan persoalan pemilihan banyak penjabat kepala daerah pada tahun politik kali ini.”
Menurut Ujang, penjabat kepala daerah yang terkungkung dalam kepentingan politik elektoral jelas akan merugikan masyarakat. Pasalnya, mereka tidak akan fokus bekerja melayani publik.
Di tengah persoalan tersebut, Ujang juga menilai masyarakat tak bisa mengharapkan dewan perwakilan rakyat daerah bakal menjalankan tugasnya sebagai pengawas eksekutif daerah. “Karena adanya kompromi politik, sehingga pengawasan tidak akan berjalan,” kata dia. “Yang bisa membantu hanya rakyat sendiri dalam melakukan pengawasan.”
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benny Irawan, memastikan pemerintah berupaya memilih penjabat kepala daerah yang tidak mempunyai konflik kepentingan dan rekam jejak bermasalah. Pemerintah, kata dia, telah meminta secara khusus kepada Badan Intelijen Negara untuk meneliti secara detail rekam jejak para calon penjabat kepala daerah. “Sekarang informasi dari publik juga sangat kuat untuk membantu informasi,” ujarnya.
Selain itu, menurut Benny, regulasi yang menjadi rujukan pemilihan penjabat kepala daerah telah mengatur proses evaluasi. Masa jabatan penjabat kepala daerah paling lama hanya satu tahun, meski bisa diperpanjang dengan orang yang sama atau berbeda. Adapun evaluasi dilakukan oleh Inspektur Jenderal Kemendagri setiap tiga bulan sekali terhadap penjabat kepala daerah. “Kalau memang dianggap kurang atau tidak netral bisa dievaluasi dan dibina. “Kami membuka diri agar publik, media, dan lembaga swadaya masyarakat ikut mengawasi,” kata Benny Irawan. (TEM)