EKONOMI

Anggaran Daerah Perlu Diarahkan Menjadi Lebih Produktif

JAKARTA – Kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharapkan bisa mengefektifkan penggunaan dana transfer pusat ke daerah untuk belanja yang produktif. Selama ini, anggaran daerah dihabiskan untuk biaya operasional yang tidak memberi manfaat besar untuk masyarakat luas.

Peneliti pada Center for Indonesian Policy Studies Krisna Gupta menerangkan, kehadiran UU No 1/2022 dibutuhkan mengingat aturan mengenai keuangan daerah belum pernah direvisi sejak kebijakan otonomi daerah berlaku pada awal 2000-an.

Mengutip penelitian Blane Lewis dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies terbitan Australian National University pada 5 April 2023 lalu, salah satu hal yang dikehendaki dari aturan ini adalah adanya perubahan pengelolaan keuangan daerah khususnya yang berasal dari Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Selama ini, anggaran daerah yang mayoritas bersumber dari TKDD banyak dihabiskan untuk biaya operasional, seperti belanja barang dan jasa pegawai saja. Padahal seharusnya, anggaran daerah ditujukan untuk peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, agar pembangunan ekonomi daerah bisa semakin pesat.

Pendekatan diubah agar penyaluran TKDD menggunakan pendekatan kinerja dan hasil yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas.

”Mengingat betapa besarnya dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah, saya rasa cukup wajar ketika pemerintah pusat berkeinginan untuk mengatur bagaimana dana tersebut harusnya digunakan,” jelasnya di Jakarta, Sabtu (29/4/2023).

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, jumlah TKDD setiap tahunnya bertambah. Pada tahun 2015 jumlah TKDD sebesar Rp 424 triliun, dan di tahun 2022 lalu sebesar Rp 769,61 triliun. Jumlah TKDD sempat mengalami tekanan pada tahun 2020 karena adanya kebijakan pengalihan anggaran (refocusing) akibat pandemi Covid-19.

Meski tujuan untuk melakukan perubahan tersebut dapat dimengerti, pendekatan dengan tendesi ’sentralisasi’ ini sulit berjalan efektif karena banyaknya pemerintah daerah yang harus dimonitor. Di sisi lain, pengawasan harusnya dapat dilakukan dengan mekanisme legislatif yang dapat dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Meski demikian, strategi itu masih memiliki permasalahan akibat masih ditemukannya korupsi dan oligarki politik di daerah.

Secara terpisah, Kepala Divisi Riset Ekonomi PT Sarana Multi Infrastruktur I Kadek Dian Sutrisna Artha menerangkan, desentralisasi fiskal diharapkan memberi kesempatan daerah untuk dapat meningkatkan kemampuannya mencari pendapatan asli daerah (PAD), yang nanti dapat digunakan untuk pembangunan daerah, salah satunya infrastruktur.

Sejak desentralisasi dilakukan pada awal 2000, tingkat PAD terhadap total anggaran daerah di level kabupaten/kota memang meningkat dari 5,7 persen di tahun 2001, menjadi 12 persen di tahun 2021. Walaupun naik, proprosi TKDD sebagai sumber pembentuk anggaran daerah masih cukup besar, yaitu 80 persen.

Dengan itu, ditengah kenaikan PAD, ketergantungan terhadap pusat masih tinggi.

“Sebanyak 68 persen anggaran daerah dihabiskan untuk belanja operasional seperti gaji pegawai, hanya 16 persen untuk belanja modal, 15 persen belanja transfer, dan sisanya belanja tidak terduga. Seharusnya banyak untuk belanja modal, seperti infrastruktur, karena berkorelasi positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia di daerah, dan pengentasan kemiskinan ekstrem,” jelasnya.

Pelayanan publik

Target yang hendak dicapai oleh pemerintah pusat melalui TKDD ini harusnya tidak hanya sekedar mengenai PAD ataupun IPM yang tinggi, namun adanya standar kualitas pelayanan publik yang setara setiap wilayah, Jawa dan luar Jawa. Guru Besar Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda menjelaskan, hal penting yang perlu menjadi perhatian dari TKDD haruslah terkait pembenahan di sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Mencoba untuk mendorong daerah-daerah di luar Jawa untuk memiliki tingkat PAD seperti di pulau Jawa adalah hal yang kurang tepat. Sama halnya dengan mencoba mendorong tingkat pendapatan per kapita daerah yang kurang maju, dengan daerah yang telah maju.

“Capaian yang penting adalah minimal bidang pendidikan dan kesehatan itu setara se-Indonesia, karena ini yang dapat dirasakan masyarakat. Indikator PAD atau pendapatan pasti akan berbeda-beda, tidak mungkin akan sama,” jelasnya.

Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti menjelaskan, harapan utama dari hadirnya UU No 1/2022 adalah agar program yang dinisiasi pusat, seperti soal pengentasan kemiskinan dan infrastruktur, bisa diterjemahkan dengan baik oleh pemerintah daerah.

Ia menyebut, anggaran yang diberikan pusat sebaiknya digunakan untuk hal yang efektif, bukan habis hanya untuk biaya rapat program saja.

“Bukan tidak boleh anggaran untuk rapat itu, tapi jadi tidak efektif, karena kalau hampir 70 persen untuk operasional, yang dinikmati masyarakat hanya 30 persen. Belum lagi itu bisa berubah karena hal-hal lain,” ucapnya. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: