Keamanan Data Jadi Tantangan Transaksi Keuangan Digital
JAKARTA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan keamanan data masih menjadi tantangan transaksi keuangan digital di Indonesia. OJK mengaku menerima banyak aduan terkait keamanan dan privasi data nasabah.
Anggota Dewan Komisioner OJK Friderica Widyasari mengatakan, ancaman kejahatan siber, seperti peretasan, pencurian identitas, atau penipuan online menjadi risiko yang dihadapi oleh pengguna dan penyedia layanan keuangan digital.
“Kami memiliki portal untuk menerima aduan dari masyarakat. Dari laporan tersebut, banyak sekali aduan terkait keamanan data dan privasi data dari konsumen yang disalahgunakan,” kata Friderica dalam kegiatan Webinar Nasional Seri-2 bertajuk “Perlindungan Konsumen Terhadap Kejahatan Keuangan Digital” di Jakarta, Senin (12/6/2023).
Berdasarkan laporan kejahatan siber secara global, kerugian dari kejahatan siber meningkat signifikan dari 6,9 miliar dolar AS pada 2021 menjadi 10,2 miliar dolar AS pada 2022. Tim Biro Investigasi Federal atau Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat turut menyampaikan kejahatan siber kini sudah menjadi fokus perhatian dari regulator global.
Dari domestik, Friderica menyebutkan laporan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat lebih dari 700 juta serangan siber terjadi di Indonesia pada 2022. Serangan siber yang mendominasi, yaitu ransomware atau malware dengan modus meminta tebusan dan lain-lain. “Serangan siber ini perlu dimitigasi guna meminimalkan risiko kejahatan siber dan kerugian yang lebih besar,” ujarnya.
Selain keamanan data, tantangan lain transaksi keuangan digital di Indonesia adalah literasi keuangan dan literasi digital masyarakat yang belum merata. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK tahun 2022 melaporkan tingkat literasi keuangan masyarakat hanya 49,6 persen, lebih rendah dari tingkat inklusi keuangan yang mencapai 85 persen. Begitu pula dengan rendahnya literasi digital yang baru mencapai 41,48 persen.
Walau di tengah berbagai tantangan yang ada, Friderica yang juga Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK optimistis, peningkatan transaksi ekonomi dan keuangan digital akan terus berlanjut. “Perkiraan ini seiring dengan perluasan serta optimalisasi ekosistem pengguna layanan keuangan digital,” ujar Friderica.
Ia menyebutkan, transaksi keuangan digital di Indonesia menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan karena telah memberikan berbagai kemudahan dan manfaat bagi konsumen, masyarakat, serta ekonomi di Tanah Air. Merujuk pada data Bank Indonesia (BI), nilai transaksi uang elektronik pada Maret 2023 tumbuh tinggi, lebih dari 11 persen secara tahunan (yoy) mencapai Rp 34 triliun. Nilai transaksi digital banking juga meningkat hampir 10 persen (yoy) menjadi sekitar Rp 4.900 triliun.
Friderica membeberkan, terdapat beberapa faktor perkembangan transaksi ekonomi dan keuangan digital di Indonesia yang cukup positif tersebut. Pertama, adaptasi transaksi digital yang meningkat pesat seiring dengan penetrasi penggunaan internet di Indonesia. Berdasarkan survei dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia periode 2022 sampai dengan 2023 mencapai 215 juta atau setara dengan 78 persen dari total populasi Indonesia.
Faktor kedua, yakni kehadiran berbagai fitur pembayaran baru, terutama dengan adanya Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang diinisiasi BI. Kehadiran QRIS dinilai sangat mempercepat transaksi keuangan digital.
“Langkah ini sangat meningkatkan animo transaksi digital dan berbagai provider lain yang juga sangat meningkatkan animo masyarakat dalam bertransaksi digital,” ujarnya.
Transformasi digital turut berhasil meningkatkan penetrasi dan jangkauan kepada seluruh lapisan masyarakat di Tanah Air sehingga pada akhirnya mendorong peningkatan keuangan inklusif dan memberdayakan masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki akses pada keuangan formal.
Sekretaris Umum Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jakarta Yan Partawidjaja mengatakan, perkembangan teknologi keuangan yang sangat pesat membuat regulator makin cermat dalam melakukan pengaturan maupun pengawasan serta melaksanakan sosialisasi dan literasi yang masif.
“Hal ini demi menjaga kepercayaan dan melindungi masyarakat dari kemungkinan penyalahgunaan atau tipuan dan tindak kejahatan lainnya yang dilakukan oleh berbagai pihak tak bertanggung jawab,” kata Yan.
Ia mengatakan, tindak kejahatan keuangan yang belakangan marak terjadi adalah phising hingga ransomware di sektor jasa keuangan, yang mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat dan pelaku jasa keuangan. Kondisi tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pihak untuk bersinergi mengantisipasi dan mencari solusi yang cepat, tepat, dan efektif dalam mengatasi perkembangan tindak kejahatan keuangan digital.
Kendati demikian, Yan tak menampik bahwa perkembangan teknologi dan informasi yang sedemikian pesat saat ini mendorong inovasi dan efisiensi. Hal tersebut lantas memberikan kemudahan bagi masyarakat atau konsumen dalam mengakses berbagai produk keuangan. Perkembangan teknologi dan informasi saat ini telah mendisrupsi berbagai aspek kehidupan manusia. (REP)