Konsumen Beralih ke Pertalite, Pengusaha Pertashop Merugi
JAKARTA – Ratusan pengusaha outlet Pertamina Shop (Pertashop) disebut menderita kerugian sejak PT Pertamina menaikkan harga BBM Pertamax hingga terpaut jauh dengan BBM Pertalite. Konsumen yang biasa membeli bahan bakar nonsubsidi di Pertashop kini beralih ke Pertalite yang hanya khusus dijual di SPBU Pertamina. Keberadaan bensin eceran ilegal “Pertamini” juga disebut menjadi penyebab bangkrutnya pengusaha Pertashop.
Sekretaris Pengusaha Pertashop Jateng-DIY, Gunadi Broto Sudarmo, menceritakan, Pertashop mulai berdiri sejak 2019 dan diharapkan menjadi lembaga penyalur skala kecil yang khusus melayani kebutuhan konsumen nonsubsidi, yakni BBM Pertamax dan Dexlite. Keberadaan Pertashop juga membantu masyarakat yang selama ini belum terjangkau oleh penyalur resmi Pertamina.
Seiring berkembangnya Pertashop, omzet penjualan terus meningkat. Gunadi mengaku, puncak penjualan terjadi Januari 2022 saat Pertamax masih dihargai Rp 9.000 per liter karena Pertashop bisa menjual hingga 34 ribu liter per bulan. Dengan margin Rp 850 per liter untuk Pertashop Gold, setidaknya dikantongi pendapatan kotor Rp 28,9 juta.
Namun, pada April 2022, Pertamina menaikkan Pertamax menjadi Rp 12.500 per liter, sedangkan Pertalite tetap Rp 6.750 per liter. Harga yang terpaut itu membuat konsumen beralih dan Pertashop mulai kehilangan pembeli. Penjualan pun turun menjadi hanya 16 ribu per liter.
“Dengan adanya disparitas harga, omzet turun drastis hingga 90 persen. Ada 201 Pertashop merugi dari 408 Pertashop. Aset disita karena kita tidak sanggup membayar angsuran bulanan ke bank bersangkutan,” kata Gundai dalam audiensi bersama Komisi VII DPR, Senin (10/7/2023).
Ia menuturkan, tekanan terhadap usaha Pertashop terus berlanjut saat harga Pertamax terus mengalami kenaikan hingga Rp 14.500 per liter dan Pertalite dihargai Rp 10 ribu per liter. Meskipun harga Pertamax telah turun menjadi Rp 12.400 per liter, Gunadi mengaku penjualan Pertamax di Pertashop tetap tak mengalami perbaikan.
Pertashop yang merugi saat ini, kata Gunadi, mengalami masalah dengan bank. Pasalnya, mereka yang membuka usaha Pertashop tak sepenuhnya dengan modal pribadi, tapi menggunakan Kredit Usaha Rakyat dari bank BUMN maupun BUMD.
Sebagai contoh, modal yang harus dikeluarkan untuk Pertashop Gold mencapai Rp 570 juta. Sementara, setiap bulannya, pemilik tetap harus membayar gaji karyawan, BPJS, serta menanggung losses BBM. “Usaha Pertashop tidak dapat untung, justru rugi,” katanya.
Sebagai solusi, ia meminta pemerintah untuk segera menerbitkan Revisi Perpres 191 Tahun 2014 yang akan mengatur Pertalite. Seperti diketahui, nantinya pembeli Pertalite bakal dibatasi khusus bagi mereka yang berhak. Namun, hingga saat ini belum diketahui skema yang akan ditetapkan pemerintah. Ia juga meminta agar pemerintah dapat menindak tegas pengecer ilegal BBM Pertalite, seperti Pertamini yang kian menjamur di mana-mana.
Dia mengatakan, keberadaan pengecer BBM ilegal, Pertamini, yang kian menjamur di berbagai daerah telah merugikan Pertashop yang resmi dari Pertamina. Pasalnya, Pertamini dapat dengan bebas memasarkan BBM nonsubsidi maupun subsidi bahkan berdampingan dengan Pertashop.
Gunadi menjelaskan, outlet Pertashop hanya bisa menjual produk BBM nonsubsidi, yakni Pertamax dan Dexlite. Sementara itu, Pertamini yang merupakan pengecer ilegal dapat menjual Pertalite dengan harga lebih tinggi dan tetap mendapatkan konsumen.
“Ada pertanyaan, Pertamini dengan Pertashop lebih untung mana? Pengecer yang nyata-nyata ilegal dapat margin lebih besar karena marginnya sampai Rp 2.000 – Rp 2.500 per liter dan dia tidak ada kewajiban seperti lembaga penyalur legal,” kata Gunadi.
Gunadi menjelaskan, margin penjualan Pertamax yang ditetapkan untuk Pertashop hanya Rp 850 per liter untuk Pertashop Gold, Rp 600 untuk Pertashop Platinum, serta Rp 435 untuk Pertashop Diamond. Adapun harga jual kepada konsumen tetap sama mengikuti harga resmi Pertamina.
“Sungguh ironis memang, pengecer (Pertamini) dengan percaya diri dan tegaknya berdiri di depan Pertashop. Sakit memang bapak, ibu, kebetulan itu (terjadi) di Pertashop saya,” ujarnya.
Saat ini, diketahui disparitas harga Pertamax dan Pertalite mulai mengecil, di mana Pertamina telah menurunkan harga Pertamax menjadi Rp 12.400 per liter, sedangkan Pertalite masih dipertahankan Rp 10 ribu per liter. Hanya saja, ia mengaku penjualan di Pertashop belum kembali normal.
Ia menuturkan, satu-satunya cara untuk menghentikan kemunculan pengecer-pengecer ilegal BBM Pertalite, dengan menerbitkan Revisi Peraturan Presiden (Perpres) 191 Tahun 2014. Sebab, melalui beleid itu, pemerintah akan mengatur penjualan Pertalite yang nantinya akan dikhususkan bagi mereka yang berhak. Tak seperti sekarang yang masih bebas diperjualbelikan.
Pihaknya berharap penjualan Pertalite akan diatur seperti halnya BBM solar yang kini telah tertib. “Dengan disparitas harga saat ini, permohonan kami mohon segera sahkan revisi Perpres 191 Tahun 2014 karena sampai sekarang belum ada ketentuan mengenai Pertalite secara detail,” kata Gunadi.
Wakil Ketua Komisi VII DPR, Dony Maryadi Oekon menyampaika pihaknya telah meminta BPH Migas untuk terus menertibkan penjual eceran, termasuk Pertamini. Sebab, keberadannya jelas ilegal namun seolah diamini oleh pemerintah karena terus mendiamkan keberadannya kian menjamur.
“Jadi, ini urusannya bukan hanya dengan Pertamina. Kalau Pertamini dan pengecer, ada Pertashop dia tidak akan jalan karena dia yang ambil untung besar, sedangkan yang menjalankan program pemerintah diberikan untung kecil, kalang kabut akhirnya,” kata dia. (ANT)