Plus Minus Penerapan Tarif QRIS
JAKARTA – Kalangan ekonom menanggapi beragam terkait penyesuaian tarif Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). Penerapan tarif 0,3 persen bagi pelaku usaha mikro dinilai bisa menghambat laju digitalisasi pembayaran. Sementara, ada juga anggapan bahwa penerapan tarif merupakan hal wajar dan bisa mempercepat perluasan QRIS ke berbagai daerah.
Center of Economics and Law Studies (Celios) menilai, pemberlakuan tarif QRIS bagi usaha mikro bisa memicu masyarakat menggunakan metode transaksi lainnya, seperti uang tunai. “Yang terjadi justru pelaku usaha meminta kepada konsumen membayar menggunakan metode transaksi lainnya seperti uang tunai. Kalau sampai kembali lagi ke uang tunai, upaya mendorong nontunai menjadi mundur,” kata Direktur Celios Bhima Yudhistira dilansir Republika, Senin (10/7/2023).
Menurut dia, pemberlakuan tarif akan disiasati pelaku UMKM untuk menaikkan harga jual barang. Saat ini, ada sebanyak 26 juta UMKM menggunakan QRIS atau sekitar 40 persen dari total 65 juta unit UMKM yang tercatat pemerintah.
“Artinya, baik pelaku UMKM maupun konsumen sudah cukup nyaman transaksi via QRIS. Hadirnya MDR 0,3 persen ke pelaku usaha maka harga jual barang dinaikkan sebagai kompensasi tarif baru,” ujarnya.
Padahal, menurut Bhima, merchant discount rate sebesar nol persen tetap menguntungkan pihak jasa pembayaran dan perbankan. Hal ini karena bisa mendatangkan layanan fee based income lainnya.
“Harusnya BI berpikir bahwa begitu pelaku usaha dan masyarakat menggunakan QRIS maka banyak layanan yang menambah pundi keuntungan yang bisa ditawarkan ke konsumen. Jadi, bukan cari keuntungan lewat QRIS, salah besar itu,” ujarnya.
Sementara itu, Center of Reform on Economics (Core) menilai kenaikan tarif QRIS tidak berpengaruh terhadap beban pelaku usaha. Adanya kenaikan ini justru dapat menambah pilihan pembayaran bagi masyarakat yang ingin bertransaksi. Sebab, layanan QRIS bisa semakin diperluas.
Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy mengatakan, saat ini pembayaran secara digital semakin memudahkan pelaku usaha, bahkan layanan QRIS telah tersebar ke beberapa wilayah Indonesia.
“Saat ini pembayaran dengan menggunakan layanan digital sudah sangat berkembang di dalam negeri, tidak semua pelaku usaha terdampak atau berpengaruh dari rencana kenaikan ini mereka justru akan melihat ini sebagai peluang untuk menyediakan alternatif layanan pembayaran,” katanya, Senin (10/7/2023).
Rendy mengatakan, jika kenaikan tarif ini akan berpotensi mengurangi margin keuntungan secara signifikan, merchant akan melakukan penyesuaian ke harga pokok produksi yang akan diterima oleh konsumen. Sebaliknya, jika ternyata margin keuntungan masih bisa dipertahankan ataupun kalau margin keuntungan hanya berkurang sedikit, merchant tak akan menaikkan harga jual.
“Hitungan kenaikannya sekali lagi akan sangat berbeda antara jenis usaha dan bagaimana kemudian kenaikan ini misalnya akan memengaruhi laporan keuangan ataupun margin keuntungan suatu usaha,” ujarnya.
Menurut dia, penyesuaian tarif juga memudahkan pelaku usaha dalam menyediakan uang kembalian setiap transaksi. Di samping itu, Rendy menilai di balik keunggulan sistem pembayaran digital, penggunaan uang tunai masih akan dilakukan masyarakat.
“Kita tahu bahwa penggunaan layanan pembayaran digital itu belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat luas, sehingga antara pembayaran tunai dan secara digital adalah sesuatu hal yang saling melengkapi dan zaman seperti sekarang pelaku usaha mikro tentu akan lebih diuntungkan,” katanya.
Dari sisi perbankan, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, menilai pemberlakuan tarif QRIS bagi pelaku usaha mikro dianggap lebih menguntungkan perbankan dan penyedia jasa pembayaran.
“Kami melihat, dari sisi perbankan dan penyedia jasa pembayaran. Hal ini dapat mendatangkan keuntungan, mengingat akan ada pembagian yang didapatkan kepada lembaga-lembaga tersebut,” ujar Josua.
Meski demikian, ia meyakini QRIS akan tetap menjadi pilihan masyarakat dalam bertransaksi, karena biayanya masih relatif lebih murah. Menurut dia, adanya kemudahan dan kenyamanan bertransaksi akan menjadi alasan utama bagi masyarakat maupun pelaku usaha dalam menggunakan fasilitas QRIS.
“Kami menilai, meskipun akan ada peningkatan biaya tersebut, QRIS akan tetap menjadi pilihan dalam bertransaksi. Biaya yang masih relatif lebih murah,” katanya.
Penyesuaian tarif pembayaran dengan QRIS menimbulkan keluhan dari merchant, terutama usaha mikro. Bank Indonesia telah menetapkan, mulai 1 Juli 2023, tarif merchant discount rate (MDR) menjadi sebesar 0,3 persen dari sebelumnya gratis.
Setiap pedagang yang menyediakan jasa atau layanan menggunakan QRIS perlu membayar tarif ini. Merchant discount rate adalah tarif yang wajib dibayarkan pedagang kepada bank sebagai biaya transaksi dalam penggunaan layanan QRIS. Adapun besaran merchant discount rate dan distribusi ditetapkan oleh BI. (REP)