Presiden: Hilirisasi akan Berbuah Manis
JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan pentingnya sektor ekonomi hijau dan upaya hilirisasi untuk membawa Indonesia menjadi negara maju. Apalagi, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA), termasuk bahan mineral hasil perkebunan, hasil kelautan, serta sumber energi baru dan terbarukan. Presiden meyakini, hilirisasi yang sedang digencarkan akan berbuah manis.
Namun, kata Jokowi, memiliki kekayaan SDA saja tidaklah cukup. Jokowi tak ingin Indonesia menjadi bangsa pemalas yang hanya menjual bahan mentah kekayaannya, tanpa adanya nilai tambah dan keberlanjutan. Hal ini disampaikan Jokowi dalam pidatonya di Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI Tahun 2023 di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, Rabu (16/8/2023).
“Saya ingin tegaskan Indonesia tidak boleh seperti itu. Indonesia harus menjadi negara yang juga mampu mengolah sumber dayanya, mampu memberikan nilai tambah, dan menyejahterakan rakyatnya. Dan ini bisa kita lakukan melalui hilirisasi yang sudah ratusan kali saya sampaikan, sudah puluhan kali saya sampaikan,” ujar Jokowi.
Jokowi mengatakan, hilirisasi yang ingin dilakukan pemerintah adalah hilirisasi dengan melakukan transfer teknologi dan memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan serta meminimalkan dampak lingkungan. Pemerintah, kata Jokowi, juga telah mewajibkan perusahaan tambang membangun pusat persemaian untuk menghutankan kembali lahan pascatambang.
Jokowi menambahkan, hilirisasi tak hanya mencakup komoditas mineral. Hilirisasi juga dilakukan untuk komoditas perkebunan, seperti sawit, rumput laut, kelapa, dan komoditas-komoditas potensial lainnya.
Presiden mengakui, melakukan hilirisasi memang akan terasa pahit bagi para pengekspor bahan mentah serta bagi pendapatan negara dalam jangka pendek.
“Tapi, jika ekosistem besar sudah terbentuk serta pabrik pengolahannya sudah beroperasi, hilirisasi akan berbuah manis bagi kesejahteraan masyarakat,” kata Jokowi.
Ia pun kemudian mencontohkan kebijakan larangan ekspor nikel ore pada 2020. Investasi hilirisasi nikel pun kemudian mengalami pertumbuhan pesat. Jokowi menyebut, saat ini telah ada 43 industri pengolahan nikel yang akan membuka peluang kerja yang sangat besar.
Jika upaya hilirisasi ini konsisten terus dilakukan baik untuk nikel, tembaga, bauksit, CPO, dan lainnya, pendapatan per kapita Indonesia dalam 10 tahun mendatang akan mencapai 10.900 dolar AS atau sudah tergolong ke dalam negara maju.
“Adapun dalam 15 tahun, pendapatan per kapita kita akan capai Rp 217 juta atau 15.800 dolar AS. Dan dalam 22 tahun, pendapatan per kapita kita akan mencapai Rp 331 juta atau 25.000 dolar AS,” ujar Jokowi.
Sebagai perbandingannya, pada 2022, pendapatan per kapita Indonesia berada di angka Rp 71 juta. “Artinya, dalam 10 tahun lompatannya bisa dua kali lipat lebih, di mana fondasi untuk menggapai itu semua sudah kita mulai, pembangunan infrastruktur dan konektivitas yang pada akhirnya menaikkan daya saing kita,” kata Presiden.

Berdasarkan International Institute for Management Development (IMD), daya saing Indonesia pada 2022 tercatat mengalami kenaikan dari peringkat 44 menjadi 34 yang merupakan kenaikan tertinggi di dunia.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa kebijakan hilirisasi SDA merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas industri nasional. Pembangunan nasional Indonesia masih bergantung kepada sumber daya alam.
Dia mengatakan, pada awal kemerdekaan sampai 1990-an, sumber daya alam berupa minyak mentah, gas alam dan batu bara serta hasil alam lainnya menjadi penopang utama sumber devisa, yang berdampak terhadap stabilitas moneter.
“Namun, kekayaan alam yang luar biasa besar tersebut tak berdaya di tengah situasi global yang berubah dan melahirkan badai ekonomi besar di kawasan,” ujar Bamsoet.
Menurut dia, masyarakat Indonesia harus menyadari agar tidak terus-menerus bergantung sepenuhnya kepada sumber daya alam mentah sebagai sumber utama devisa. Untuk itu, pemerintah telah bekerja keras dan meyakinkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) supaya aktif berpartisipasi aktif dalam proses hilirisasi.
Hal ini dilakukan dengan berinvestasi langsung di Indonesia untuk membangun, dan mengembangkan kapasitas industri domestik, sebagai penyerap sumber-sumber mineral. “Sumber daya alam mentah yang ada harus mampu dikelola sendiri di dalam negeri sehingga menghasilkan produk yang mempunyai nilai jual lebih tinggi dan menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” katanya.
Ia menegaskan hilirisasi industri adalah upaya mewujudkan perekonomian nasional yang efisien dan berkeadilan sebagaimana diamanatkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam mewujudkan upaya itu, Bamsoet melanjutkan, diperlukan perubahan pola pikir (mindset) pembangunan pada masing-masing pemangku kepentingan, baik di kalangan pemerintah, pelaku bisnis, maupun masyarakat.
Tujuannya adalah tercapainya kolaborasi berbagai pihak, menata ulang pembangunan ekonomi yang dapat menghasilkan pertumbuhan yang berkualitas serta berkelanjutan.
“Hal itu itu dapat diwujudkan dengan mempromosikan model ekonomi yang berbasis sirkularitas, atau mengupayakan efisiensi sumber daya, serta upaya pemanfaatan kembali residu yang dihasilkan dari industri, untuk diolah kembali dan memberikan nilai tambah yang lebih besar serta berulang,” kata dia.
Adapun paradigma sirkularitas tentunya hanya dapat berjalan ketika kualitas industri nasional sudah mampu secara saksama melakukan pemrosesan material sumber daya dari hulu ke hilir. Ini juga sebagaimana yang digagas Presiden Joko Widodo tentang hilirisasi mineral, yaitu emas, bauksit, nikel, tembaga, dan bijih besi.
Mineral tersebut didorong untuk proses hilirisasi, yang dibarengi dengan upaya pelarangan ekspor mineral mentah. “Kebijakan ini menunjukkan konsistensi pemerintah terhadap upaya meningkatkan kualitas industri nasional,” ujar Bamsoet. (ANT)