Setumpuk Tugas di Tengah Ancaman Krisis Pangan
JAKARTA – Presiden Joko Widodo bolak-balik meminta petani dan pengusaha menanam aneka komoditas pangan di dalam negeri, misalnya jagung, porang, dan sorgum. Arahan tersebut disampaikan seiring dengan terus melonjaknya harga pangan dunia. Di sisi lain, Indonesia masih mengandalkan impor pada beberapa komoditas pangan.
Menurut Jokowi, kenaikan harga pada satu komoditas saja yang masih diimpor Indonesia menyebabkan rentetan kenaikan harga bahan pangan lainnya. Misalnya, kenaikan harga jagung berimbas pada kenaikan biaya pakan ternak dan ujung-ujungnya mengerek harga telur serta daging ayam. Begitu pula dengan kenaikan harga kedelai yang kerap berimbas pada harga tempe dan tahu yang banyak dikonsumsi masyarakat.
“Inilah yang perlu saya ingatkan, yang berkaitan dengan pangan itu hati-hati ke depan. Tapi juga menjadi peluang bagi para pengusaha, utamanya anggota Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), untuk masuk ke bidang-bidang ini,” ujar Jokowi dalam perayaan 50 tahun Hipmi di Jakarta Convention Center, Jumat (10/6/2022)
Perkara pangan juga semakin rawan, kata Jokowi, lantaran banyak negara mulai membatasi ekspor komoditas pangan. Jokowi mengatakan kini ada 22 negara yang membatasi ekspornya. “Hati-hati mengenai ini. Kalau kita tidak bisa mandiri urusan pangan, ini juga bisa menyebabkan bahaya bagi negara kita,” ujar dia.
Arahan senada disampaikan Jokowi kala menghadiri syukuran hasil bumi Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Rabu, 8 Juni lalu.
Kala itu, ia mengatakan banyak negara yang mulai kekurangan bahkan kehabisan bahan pangan. Karena itu, ia meminta masyarakat memanfaatkan lahan-lahan telantar dengan menanam berbagai komoditas pangan.
“Saya mengajak kita semua menanam tanaman-tanaman yang menghasilkan bahan pangan pokok. Tanami padi silakan. Jagung silakan, harga jagung ini pas naik. Mau ditanami porang silakan. Porang itu juga pasti akan naik harganya karena dibutuhkan dunia,” ujar Jokowi.
Subsidi Redam Dampak Krisis
Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, mengatakan saat ini fundamental ekonomi Indonesia memang masih cukup kuat di tengah tekanan krisis global. Namun rembetan krisis ini mulai terasa di dalam negeri dengan kenaikan harga pangan yang cukup tinggi. Rambatan itu sebenarnya juga terasa di sektor energi. Namun, kata dia, hal tersebut relatif teredam dengan subsidi yang terus digelontorkan pemerintah.
Susiwijono mengatakan krisis yang terjadi di tingkat global apabila tidak segera ditangani pasti akan semakin terasa dampaknya ke dalam negeri. Sebab, tutur dia, Indonesia masih banyak memerlukan impor untuk memenuhi kebutuhan domestik. “Pasti ada gangguan mengenai harga, pasokan, dan bahan baku kita terkait dengan pangan. Pupuk kita ada stok sampai Agustus-September, tapi setelah itu dampaknya tinggi sekali,” ujar dia.
Ancaman krisis pangan salah satunya muncul dalam laporan Global Crisis Response Group (GCRG) baru-baru ini. Menyitir Policy Brief Nomor 2 GCRG, sebanyak 1,2 miliar penduduk dunia rentan terhadap krisis pangan, keuangan, dan energi, dengan situasi yang berbeda-beda pada tiap kawasan dan sub-kawasan.
Negara-negara di Afrika sub-Sahara, misalnya, masuk ke dalam wilayah yang sangat rentan. Satu dari setiap dua orang Afrika terkena dampak atas ketiga krisis tersebut. Selanjutnya, wilayah Amerika Latin dan Karibia menjadi kelompok terbesar kedua yang menghadapi krisis biaya hidup. Pengaruh sangat besar terjadi pada hampir 20 negara.
Laporan yang sama menyebutkan kemiskinan ekstrem mengancam kehidupan dan mata pencarian 2,8 juta orang di Timur Tengah dan Afrika Utara. Selanjutnya, wilayah Asia Selatan juga menjadi perhatian karena saat ini mengalami tingkat gelombang panas yang tinggi. Diperkirakan 500 juta orang di sana mengalami krisis pangan dan keuangan yang parah.
Estimasi dari Program Pangan Dunia (WFP) Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan data bahwa jumlah penduduk yang masuk dalam kategori sangat rawan pangan meningkat dua kali lipat, dari 135 juta orang sebelum masa pandemi menjadi 276 juta orang, hanya dalam waktu dua tahun. Efek invasi Rusia ke Ukraina diperkirakan meningkatkan jumlah tersebut hingga 323 juta orang pada 2022.
Dalam laporan juga termaktub bahwa indeks harga pangan terbaru dari FAO mencapai rekor tertinggi pada Februari 2022 sebelum perang dan mengalami kenaikan tertinggi dalam sejarah, dengan rekor tertinggi pada Maret 2022.
Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, mengatakan krisis pangan sudah lama menjadi salah satu ancaman terbesar ketahanan nasional Indonesia. Jejak ancaman krisis pangan, kata dia, dimulai pasca-krisis ekonomi 1997. Saat itu, di bawah tekanan IMF, Indonesia banyak melakukan liberalisasi sektor pangan sehingga produk pangan lokal banyak yang kalah bersaing dengan produk impor yang jauh lebih murah. “Akibatnya kemudian ketergantungan kita terhadap impor pangan menguat.”
Yusuf mengatakan hingga kini pun ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor masih tinggi. Ia mencatat, pada 2021, Indonesia mengimpor 400 ribu ton beras, 2,8 juta ton garam, 5,4 juta ton gula, 2,5 juta ton kedelai, 11,1 juta ton gandum, dan 273 ribu ton daging sapi. “Di gandum, ketergantungan kita pada impor mengkhawatirkan karena kita tidak memproduksi gandum sama sekali, 100 persen impor. Indonesia kini tercatat sebagai importir gandum terbesar di dunia, dengan impor senilai US$ 3,5 miliar tahun lalu,” kata dia.
Menghadapi krisis pangan, Yusuf mengimbuhkan, Indonesia tidak memiliki pilihan lain kecuali meningkatkan produksi dalam negeri diikuti manajemen stok pangan yang lebih efisien. Ancaman terbesar untuk melaksanakan upaya tersebut, menurut dia, adalah rendahnya tingkat kesejahteraan petani, peternak, dan nelayan. “Kebijakan pemerintah justru sering tidak berpihak, seperti membuka impor pangan di tengah panen raya, dan terkini perubahan iklim semakin membuat petani terpuruk,” tuturnya.
Ia menyebutkan bahwa cara menuju kemandirian pangan membutuhkan keberpihakan kebijakan yang kuat, dari kebijakan tata niaga yang kondusif bagi sektor pertanian, dukungan investasi pada infrastruktur pertanian, peternakan dan perikanan, hingga reforma agraria dan aset. Kebijakan lain yang dibutuhkan adalah diversifikasi pangan dan menumbuhkan budaya pangan lokal yang kini semakin tergerus oleh tren pangan asing.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, menyebutkan ancaman krisis pangan harus mendapat perhatian serius dan tindakan nyata dari pemerintah. Menurut dia, saat ini pemerintah seharusnya sudah bisa membaca dan menyiapkan antisipasi terhadap situasi tersebut. Namun langkah-langkah yang dilakukan dianggap belum cukup dan perlu penguatan.
Misalnya, program pembangunan sentra produksi pangan atau food estate. Ia mengatakan kebijakan itu penting dan bagus, tapi tidak bermakna jika komoditas yang banyak dikonsumsi masyarakat tetap diimpor. “Artinya, yang ditanam di food estate itu bukan yang banyak kita impor.”
Ke depannya, Said berharap program tersebut bisa difokuskan pada peningkatan produksi bahan pangan yang banyak diimpor dan bisa diproduksi di dalam negeri. Di sisi lain, program tersebut juga perlu dikuatkan pada alternatif produk pangan lokal yang terbebas dari pasar global. (TEM)