Gaya Hidup

Fatherless dan Dampaknya pada Anak

EKAYANA adalah anak sulung dari lima bersaudara yang tinggal bersama ayah dan ibunya. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, ia tidak merasakan kedekatan dengan sang bapak. Di mata Ekayana dan adik-adiknya, ayah merupakan sosok yang tertutup. “Bahkan kerap membentak dan kasar,” kata dia dilansir Tempo, Minggu (1/7/2023).

Ekayana kecil juga harus menyaksikan pertengkaran orang tuanya, sebelum keduanya bercerai pada 2010. Eka mengaku tidak pernah merasakan kedekatan dengan ayahnya. Hingga dia dewasa, sang bapak tetap tidak banyak memperhatikannya. “Saya kuliah dengan beasiswa. Ayah saya tidak akan kasih duit jika tidak diminta. Ngasih pun sedikit,” kata perempuan asal Solo ini.

Tumbuh tanpa kehangatan ayah menjadikan Ekayana pribadi yang tertutup dan sulit dekat dengan orang lain. Dia selalu menyimpan dalam-dalam beban mentalnya sampai-sampai didiagnosis mengalami borderline personality disorder (BPD) pada 2020. “Itu hasil pemeriksaan diri hasil tes kejiwaan saya di psikolog,” ujarnya.

Hubungan Ekayana dan ayahnya membaik. Namun, hingga kini, pada usia 31 tahun, dia terus merasakan trauma yang membuatnya memutuskan terus melajang. “Menurut saya, pernikahan itu hanya menghambat kebahagiaan,” kata dia.

Ekayana menunjuk pola asuh yang dia terima sebagai penyebab kemunculan berbagai kekhawatiran di otaknya. “Biasanya, teman-teman dengan pengasuhan keluarga yang baik bisa lebih mudah dalam memecahkan permasalahan hidup ketika dewasa,” kata dia.

Kehidupan tanpa ayah juga dirasakan Jeni Ristiana. Sejak usia 3 tahun, bapaknya meninggal. Namun ketiadaan ayah tak lantas membuat perempuan berusia 25 tahun itu tumbuh tanpa kasih sayang. Kakak lelaki yang sangat perhatian membuatnya tetap mendapat figur ayah. “Walaupun sampai saat ini masih suka menangis setiap lihat anak yang bisa ngobrol akrab dengan ayahnya,” kata Jeni.

Ibunya, yang memilih terus menjanda, juga memberikan yang terbaik untuk Jeni. “Ibu berjuang sendiri untuk sekolahkan saya sampai kuliah,” kata dia. Secara ekonomi, ia tidak merasa kekurangan.

Dukungan dari orang sekitar, Jeni melanjutkan, juga menjadi faktor penting bagi pertumbuhan anak yang hidup tanpa ayah. Sedikit ganjalan hanya dia rasakan adalah teman-teman di masa kanak-kanak yang kerap mengejeknya karena tak punya bapak.

Ekayana dan Jeni tergolong tumbuh secara fatherless. Ayah mereka tidak hadir, baik secara fisik maupun psikis. Fatherless menjadi satu isu yang banyak dibahas pada Hari Keluarga Nasional, 29 Juni. Apalagi setelah Indonesia disebut sebagai negara fatherless terbesar ketiga. Di TikTok, misalnya, pencarian dengan kata kunci “Indonesia negara fatherless” memunculkan 33,8 juta view pada Jumat, 30 Juni 2023.

Ilustrasi anak dan ibu. Shutterstock

Hasto Wardoyo, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), mengatakan fatherless dapat disebabkan oleh banyak hal. Namun penyebab terbesarnya adalah tingginya angka perceraian.

Data Badan Pusat Statistik memaparkan, pada 2022, terjadi sekitar 516 ribu perceraian di Indonesia. Angka itu naik dari 447 ribu pada 2021. “Ini kondisi yang cukup darurat,” kata dia.

Pasca-perceraian, Hasto melanjutkan, istri dan anak umumnya kehilangan sosok yang dianggap sebagai pelindung. “Jaminan keselamatan di rumah tangga juga hilang,” ujarnya.

Kondisi tersebut rentan membuat anak mengalami psikosomatis. “Secara biologis, dampaknya nyata. Belum lagi saat mulai besar, anak butuh peran ayah untuk pendidikan, agama, lingkungan, ekonomi, dan cinta kasih,” ujar eks dosen Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini.

Pejabat dengan latar belakang dokter spesialis anak ini mengatakan anak harus digembirakan. Sebaliknya, orang tua pantang memperlihatkan situasi kecemasan dalam rumah tangga yang dapat membuat anak khawatir.

Hasto mengatakan dampak fatherless yang belakangan sering muncul adalah gangguan kesehatan mental. Data riset kesehatan dasar 2018 menyatakan 9,8 persen anak Indonesia mengalami mental disorder, naik dari 6,1 persen pada 2013.

Irma Ardiana, Direktur Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN, mengatakan anak-anak yang hidup tanpa ayah dan terkena gangguan kesehatan cenderung kurang bisa berbaur dengan teman sebaya. Ada juga yang mengalami dampak pada kesehatan fisiknya. Pada masa remaja, dampak yang sering terjadi adalah keinginan menikah di usia yang sangat muda, doyan merokok dan minum alkohol, atau mencoba obat-obatan terlarang.

Vera Itabiliana Hadiwidjojo, psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, memaparkan penyebab lain fatherless. Di Indonesia, seperti juga di negara berkembang lain, banyak keluarga yang menganggap peran suami/ayah sebatas pencari nafkah. “Hal itu menyebabkan minimnya interaksi dengan anak,” ujar Vera.

Pembagian peran tanpa kompromi seperti itu membuat pengasuhan anak diserahkan sepenuhnya kepada ibu. Akibatnya, selama masa tumbuh kembang, anak merasa kurang dicintai oleh ayah. “Motivasi anak untuk berkembang juga kurang,” kata dia.

Padahal, dia melanjutkan, pengasuhan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua. “Memerlukan kerja sama yang baik antara ayah dan ibu,” ujar Vera.

Hasto Wardoyo, 2017. TEMPO/Tony Hartawan

BKKBN mencanangkan sejumlah program yang mendukung ketahanan keluarga. “Diharapkan mampu mengurangi permasalahan fatherless di Indonesia,” kata Hasto.

Misalnya, kelas Bina Keluarga yang ada sejak 2021. “Kami wajibkan semua calon pengantin ikut pembekalan tiga bulan dulu,” ujarnya. Menurut dia, ini adalah upaya BKKBN untuk mempersiapkan pengetahuan dan mental pasangan agar tidak ada anak tumbuh tanpa figur ayah. Mereka juga menginisiasi Generasi Berencana (Genbre), yang mempersiapkan anak-anak muda calon duta untuk mensosialisasi keluarga berencana kepada teman-temannya.

Pemahaman soal keluarga kian penting. Sebab, menurut Hasto, tingkat keaktifan seksual di luar nikah generasi muda Indonesia mengkhawatirkan. “Banyak anak usia 15-16 tahun sudah berhubungan seks. Berbeda dengan 20 tahun lalu,” kata dia.

Hasto menghitung, sekitar 80 persen keluarga meminta dispensasi menikah—di bawah usia 19 tahun—di Pengadilan Agama ihwal kehamilan. “Tidak semua orang usia muda mental dan fisiknya siap. Kasihan anaknya nanti,” ujar dia. (TEM/ANT)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.