Ketika Negara Mulai Mengatur AI
KEPALA eksekutif Google Alphabet Inc, Microsoft, OpenAI dan Anthropic dijadwalkan bertemu dengan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS) Kamala Harris dan pejabat tinggi administrasi, Kamis (4/5/2023). Pertemuan ini dilakukan guna membahas masalah utama yang menjadi kekhawatiran banyak pihak terkait pengembangan kecerdasan buatan (AI) oleh para raksasa teknologi ini.
Dari undangan yang dilihat Reuters kepada para CEO, menegaskan harapan dari Presiden Joe Biden bahwa perusahaan harus memastikan produk aman sebelum membuatnya tersedia untuk umum. Setelah teknologi AI berkembang pesat belakangan ini, memang muncul beragam kekhawatiran tentang AI.
Ini mencakup pelanggaran privasi, bias, dan dapat memperbanyak penipuan dan informasi salah. Pada April 2023, Biden mengatakan masih harus dilihat apakah AI berbahaya. Namun, dia menggarisbawahi bahwa perusahaan teknologi memiliki tanggung jawab untuk memastikan produk mereka aman. “Media sosial telah mengilustrasikan bahaya yang dapat dilakukan oleh teknologi yang kuat tanpa perlindungan yang tepat,” katanya.
Dikutip dari New York Times, Jumat (5/5/2023), setelah pertemu dengan para pemimpin raksasa teknologi ini, Gedung Putih mendorong untuk membatasi risiko pengembangan teknologi kecerdasan buatan. Selama kira-kira dua jam di Ruang Roosevelt Gedung Putih, Wakil Presiden Kamala Harris dan pejabat lainnya memberi tahu para pemimpin Google, Microsoft, OpenAI, pembuat chatbot ChatGPT yang populer, dan Anthropic, sebuah perusahaan rintisan AI, untuk secara serius mempertimbangkan kekhawatiran tentang teknologi.
Presiden Biden juga sempat mampir ke pertemuan tersebut. “Apa yang Anda lakukan memiliki potensi yang sangat besar dan bahaya yang sangat besar,” kata Biden kepada para eksekutif.
Pertemuan ini adalah pertemuan kepala eksekutif pengembang teknologi AI pertama di Gedung Putih sejak peluncuran perangkat lunak seperti ChatGPT, yang telah memikat publik hingga mendorong perlombaan untuk mendominasi teknologi. “Sektor swasta memiliki tanggung jawab etis, moral, dan hukum untuk memastikan keselamatan dan keamanan produk mereka,” kata Harris dalam sebuah pernyataan.
“Dan setiap perusahaan harus mematuhi undang-undang yang ada untuk melindungi rakyat Amerika,” kata Harris menegaskan. Selain itu, pemerintah juga telah meminta komentar publik tentang langkah-langkah akuntabilitas yang diusulkan untuk sistem AI seiring meningkatnya kekhawatiran tentang dampaknya terhadap keamanan dan pendidikan nasional.
Sebelum pertemuan digelar, tepatnya Senin, (1/5/2023), deputi dari Dewan Kebijakan Domestik Gedung Putih dan Kantor Kebijakan Sains dan Teknologi Gedung Putih menulis dalam posting blog tentang bagaimana teknologi dapat menimbulkan risiko serius bagi pekerja.
Kelompok Menteri G7 Setujui Penggunaan AI Bertanggung Jawab
Kelompok menteri dari tujuh negara maju (G7) menyetujui penggunaan kecerdasan buatan (AI) yang ‘bertanggung jawab’ dalam dunia teknologi. Mereka memahami bahwa teknologi AI telah berkembang pesat, seperti halnya bot AI ChatGPT yang bisa sangat bermanfaat meski dapat menimbulkan masalah privasi dan risiko disalahgunakan.
Pertukaran data pun dinilai menjadi bagian penting dari perdagangan global. Karena itu, para menteri digital dan teknologi dari Jepang, AS, serta negara-negara Eropa juga menegaskan perlunya membentuk pengaturan internasional untuk meningkatkan kepercayaan data lintas batas negara.
Hal tersebut telah disepakati selama pertemuan dua hari mereka di Jepang timur, seperti dikutip dari laman Japan Today, Senin (1/5/2023). Pertemuan tersebut berlangsung karena laju perkembangan AI yang bergerak cepat dan menyoroti kebutuhan akan standar internasional untuk mengatur teknologi, seperti ChatGPT.
Chatbot buatan OpenAI telah menarik perhatian global sejak peluncuran purwarupanya pada November 2022. ChatGPT kini telah digunakan oleh 100 juta pengguna di seluruh dunia dalam waktu kurang dari tiga bulan. Chabtbot ini mengolah data dalam jumlah besar, memungkinkannya memproses dan menyimulasikan percakapan mirip manusia dengan pengguna.
Para menteri G7 menyadari bahwa teknologi AI generatif akan semakin menonjol di berbagai negara dan sektor. “Kami menyadari kebutuhan untuk mempertimbangkan peluang dan tantangan teknologi ini dalam waktu dekat dan untuk terus mempromosikan keselamatan dan kepercayaan,” kata para menteri G7 dalam deklarasi bersama setelah menyelesaikan pertemuam di Takasaki, Prefektur Gunma.
Para menteri G7 ini mendukung rencana aksi untuk ‘menciptakan lingkungan yang terbuka dan memungkinkan inovasi AI bertanggung jawab’. Mereka menyerukan partisipasi pemangku kepentingan yang lebih luas dalam mengembangkan standar internasional atas kerangka kerja tata kelola AI serta mempromosikan dialog tentang topik seperti penilaian risiko.
G-7 juga menyuarakan komitmen untuk membangun infrastruktur jaringan yang aman demi mendukung negara-negara berkembang serta mempromosikan kolaborasi untuk meningkatkan konektivitas kabel bawah laut. Pernyataan bersama tersebut mengutip lima prinsip bagi pembuat kebijakan untuk mengatur penggunaan AI dan teknologi baru lainnya, supremasi hukum, proses hukum, demokrasi, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan memanfaatkan peluang untuk inovasi.
Pertemuan tersebut dipimpin bersama oleh Menteri Digital Taro Kono, Matsumoto, dengan Menteri Ekonomi, Perdagangan dan Industri Yasutoshi Nishimura. Itu menjadi salah satu dari serangkaian pertemuan tingkat menteri yang berlangsung menjelang KTT G-7 bulan depan.
Menteri dari India dan Indonesia masing-masing merupakan tuan rumah pertemuan Kelompok 20 ekonomi utama dan Perhimpunan Bangsa Bangsa Asia Tenggara serta Ukraina juga menghadiri pertemuan di Takasaki, Jepang. (REP)