Gaya Hidup

Teluk Kabui yang Menakjubkan

Matahari mulai terik. Tapi, embusan angin laut menghalau panasnya. Ditambah pemandangan di depan mata,  biru laut dan hijau pulau sekeliling, membuat saya melupakan panas matahari.

Speedboat yang saya tumpangi bergerak perlahan, meninggalkan pelabuhan Waisai, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Tujuan speedboat adalah Teluk Kabui, salah satu andalan pariwisata di kabupaten bahari itu.

Teluk Kabui terkenal dengan gugusan pulau-pulau karangnya. Letaknya di antara Pulau Waigeo dan Pulau Gam. Waigeo adalah pulau terbesar di Raja Ampat yang juga menjadi lokasi ibu kota kabupaten, Waisai. Ada empat pulau besar di Raja Ampat, yakni Waigeo, Misool, Salawati, dan Batanta.  Pulau lainnya, lebih  dari 1.400 pulau, kebanyakan tak berpenghuni.

Orang sering menyebut Teluk Kabui sebagai  miniatur Wayag. Itu adalah ikon pariwisata Raja Ampat, tempat gugusan pulau karang yang jumlahnya ratusan. Sebenarnya saya ingin menyambangi Wayag, tapi waktu saya yang pendek di Raja Ampat tak memungkinkan itu. Dari Waisai ke Wayag bisa sampai tiga jam. Jika ditotal perjalanan  pulang pergi dan di sana, bisa habis waktu seharian. Belum lagi biayanya, untuk sampai ke Wayag bisa keluar uang Rp 10 juta sampai 12 juta untuk sewa kapal.

“Teluk Kabui tidak kalah dengan Wayag, pulau-pulau karangnya sangat indah,” kata Kepala Dinas Pariwisata Raja Ampat Yusdi Lamatenggo menghibur saya.

Perjalanan dari Waisai ke Teluk Kabui diperkirakan 30 menit. Dari Waisai bisa menyewa speedboat dengan harga Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta. Tak terlalu mahal jika berombongan, karena kapal itu bisa dimuati sekitar 10 orang. Sedangkan Pelabuhan Waisai bisa dicapai sekitar 1,5 jam dari Pelabuhan Sorong. Jika naik kapal tiketnya Rp 120 ribu.

Saya beruntung, cuaca sedang cerah, mentari terik, dan langit  tampak biru. Begitu speedboat meninggalkan Waisai, mata saya tak henti menikmati hijaunya gugusan Pulau Waigeo. Pohon-pohon tinggi menjulang menutupi pulau, hampir tak terlihat adanya kehidupan manusia kecuali pohon dan pohon.

Air laut tenang, seperti kaca raksasa yang memantulkan sinar matahari. Sesekali terlihat burung camar beterbangan dan menghujam ke laut menangkap ikan.

Sekitar 25 menit meninggalkan pelabuhan, speedboat yang dikemudikan Saka Zakaries Wader mulai melambat. Kami memasuki gugusan pulau-pulau karang. Speedboat berjalan pelan di antara pulau-pulau  itu.

Wisatawan berfoto di Geosite Piaynemo, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Selasa (26/10/2021). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda

Pulau-pulau karang besar dan kecil seolah  begitu saja menyembul dari laut. Ukurannya bermacam-macam. Dari yang seukuran meja hingga gedung tingkat dua. Ombak laut telah mengikis bagian bawah pulau karang itu, membentuk gua-gua. Ada banyak lubang yang menembus pulau. Beberapa ukurannya cukup besar. Dari kejauhan pulau-pulau itu terlihat seperti mengambang di atas air.

Di sebuah pulau karang Saka menghentikan speed boat-nya. Kesempatan itu kami gunakan untuk sepuas-puasnya memandangi keindahan pulau-pulau karang dan sekelilingnya. Tebing pulau itu berwarna-warni, makin ke atas makin rimbun dipenuhi pepohonan. Di bagian bawah pulau-pulau saya bisa menyaksikan gua-gua yang dibentuk oleh abrasi air laut.

Sejumlah teman menggunakan kesempatan itu untuk berfoto-foto. Air di lokasi itu sangat tenang, warnanya biru kegelapan. Di sejumlah titik kita bahkan bisa melihat terumbu karang dengan mata telanjang.

Teluk Kabui menjadi salah satu tujuan wisatawan untuk melakukan diving, snorkeling, dan   caving. Di seluruh Raja Ampat ada lebih dari 45 titik lokasi yang menarik untuk diving.

Bagi yang tak sempat turun ke laut seperti saya, memandangi jejeran pulau-pulau itu saja sudah sangat menakjubkan.

Yusdi mengatakan, daya tarik utama Raja Ampat adalah diving. Raja Ampat  merupakan lokasi terbaik di dunia untuk diving. Dia menyebut di perairan Raja Ampat terdapat 553 jenis koral. Jumlah itu mencapai 70 persen koral yang ada di dunia. Wilayah itu juga memiliki 1.432 jenis ikan, 699 moluska, 16 jenis ikan mamalia, serta satu jenis dugong.

“Raja Ampat itu surga bagi penikmat diving. Tapi, yang tidak ingin diving juga bisa menikmati alamnya,” kata Yusdi.

Speedboat kembali berjalan perlahan menyusuri pulau karang kecil. Di beberapa tempat Saka harus memperlambat kapal karena bertemu dengan speedboat yang sedang berhenti. Hanya pengemudinya yang tinggal sendiri. Ia memberi tanda kepada kami untuk berjalan pelan-pelan. Para penumpang speedboat itu sedang berada di bawah laut, menyelam.

“Kita pelan-pelan agar tidak menimbulkan gelombang,” jelas Saka.

Kami juga melihat sejumlah nelayan setempat yang sedang memancing ikan. Mereka hanya menggunakan peralatan sederhana, perahu kecil, pancing, dan joran.

Speedboat berhenti lagi di sebuah pulau karang.  Pulau itu agak landai. Pepohonan tumbuh besar. Di situ terdapat dermaga kayu sederhana. Diatasnya berdiri pondok kayu dengan dinding dan atap daun kelapa. Rombongan saya yang terdiri atas 10 orang naik ke atas dermaga itu.

Yusdi mengatakan, dermaga itu adalah milik penduduk setempat. Mereka menyediakan paket diving dan snorkeling selama dua hari. Harganya Rp 5 jutaan per orang. Tapi jika rombongan lebih dari 10 orang, paketnya menjadi turun sekitar Rp 2,9 juta per orang. Sayangnya pemilik dermaga tidak sedang berada di tempat saat itu.

Dermaga itu terletak di pulau kecil yang diapit oleh pulau-pulau lainnya. Air  laut di lokasi ini agak dangkal. Warnanya kehijauan penuh dengan rumput laut. Kita seperti sedang tidak berada di laut, tapi di tengah danau yang dikelilingi pulau-pulau hijau.

Di dermaga terdapat air mancur yang dialirkan dari paralon. Air itu berasal dari rembesan air terjun kecil yang ada di bibir pantai. Terasa segar mencuci muka dengan air tawar itu.

Tak berlama-lama di tempat itu, Saka kembali meneruskan perjalanan. Menyusuri laut yang tenang seperti keluar dari labirin dengan dinding pulau-pulau karang. Kami juga menyaksikan pulau karang yang bentuknya seperti keris. Lokasi ini menjadi salah satu tempat favorit bagi wisatawan untuk mengambil gambar.

Suasana telaga Love Kecil di geosite Dafalen Misol Selatan Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, Jumat (5/2/2021). ANTARA FOTO/Olha Mulalinda

Di sepanjang perjalanan berikutnya kami masih terus menikmati pemandangan pulau-pulau karang yang seakan tak ada habisnya. Sungguh perpaduan panorama alam yang tiada bandingnya. Pulau-pulau hijau, langit membiru, laut biru, perpaduan yang serasi dan elok. Di laut ikan-ikan kecil berseliweran.

Tak henti-henti saya mengucap takjub atas keindahan alam ciptaan Tuhan. Yusdi bohong telah mengatakan Teluk Kabui sangat indah. Yang benar itu, Teluk Kabui menakjubkan.

Cap Tangan dan Kubur Batu

Tak hanya keindahan alam, Teluk Kabui juga menyimpan banyak misteri. Di antaranya adalah lukisan tangan dan cap tangan kuno di dinding tebing. Diperkirakan lukisan itu berasal dari zaman prasejarah. Sayang saya tak sempat melihat lukisan itu, karena lokasinya yang sulit dijangkau.

Selain cap tangan, akhir Desember lalu peneliti dari Balai Arkeologi Jayapura menemukan situs gua kubur di Teluk Kabui. Kuburan  prasejarah ini terletak di daerah yang sulit dijangkau, yakni di tebing-tebing karst daerah tersebut.

Mayat yang dimakamkan di dalam gua itu dilengkapi dengan sejumlah peralatan atau bekal kubur. “Mayat itu dimasukkan ke peti kayu berbentuk perahu dan selanjutnya diletakkan di gua yang berada di tebing cukup tinggi,” kata staf Balai Arkeologi Jayapura Hari Suroto seperti dikutip Antara.

Dalam penguburan itu, bukan hanya mayat tetapi disertakan bekal kubur. Bekal kubur berupa semua benda yang dimiliki orang yang mati tersebut.

Ia menyebutkan contoh tentang bekal kubur itu, antara lain, alat masak, alat tokok sagu, noken berburu, dan pakaian.

“Jadi, selain ditaruh dalam peti jenazah yang berbentuk perahu, jenazah atau mayat tersebut dilengkapi dengan peralatan atau bekal lainya seperti pakaian, noken, alat tokok sagu, dan lainnya,” katanya.

Ia menjelaskan tentang kondisi gua kubur itu yang, antara lain, sebagian tulang dan bekal kubur telah hilang. Diperkirakan sebagian tulang, artefak, dan bekal kubur hilang diambil wisatawan asing yang berkunjung ke Teluk Kabui dan peneliti asing.

“Dari informasi warga, para wisatawan dan peneliti itu membayar mahal penduduk setempat untuk memandu mereka menuju ke situs penguburan tersebut. Dan mereka tidak berkoordinasi dengan Balai Arkeologi Jayapura maupun dinas terkait,” katanya. Ia mengemukakan situs tersebut butuh perhatian untuk penyelamatan. (*)

 

*Disadur dari Harian Republika edisi 12 Mei 2013 dengan reportase oleh Subroto.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.