POLITIK & HUKUM

Polisi Virtual Sebaiknya Fokus Atasi Kejahatan di Dunia Maya

JAKARTA, papuabaratnews.co – Koalisi masyarakat sipil lebih setuju jika polisi virtual fokus memberantas kejahatan dunia maya yang sudah banyak merugikan warga. Jika polisi virtual memantau dan menegur unggahan yang berpotensi melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, hal itu justru bakal menguras energi serta membungkam kebebasan berpendapat.

Koalisi masyarakat sipil menyuarakan hal itu setelah polisi virtual dari Kepolisian Resor Kota Surakarta memeriksa warga Slawi, Jawa Tengah yang berinisial AM pada Senin (15/3/2021) lalu. Pemilik akun Instagram @arkham_87 itu diperiksa karena unggahan dinilai bermuatan ujaran kebencian terkait permintaan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka agar semifinal dan final Piala Menpora digelar di Solo.

Bambang Rukminto, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies berpandangan, polisi virtual akan lebih bermanfaat jika mengoptimalkan peran polisi siber yang memang fokus menangani kasus kejahatan di dunia maya.

“Menangani kasus delik aduan tanpa ada yang mengadu seperti kasus AM, malah berpotensi pada penyalahgunaan kekuasaan. Lebih baik polisi virtual menyasar pada kejahatan yang sudah nyata merugikan masyarakat seperti pencurian identitas, penipuan, investasi bodong, dan skema ponzy,” ucap Bambang, Sabtu (20/3/2021).

Bambang justru menilai polisi virtual hanya menguras energi dengan memantau dan menegur jutaan unggahan yang berpotensi melanggar UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Platform manajemen media sosial Hootsuite melaporkan, per Januari 2021, tak kurang dari 202 juta orang atau 73 persen penduduk Indonesia menggunakan internet. Jumlah pengguna internet ini naik 15 persen atau bertambah 27 juta pengguna dibandingkan dengan Januari 2020.

“Dengan pengguna internet sebanyak itu (202 juta) membutuhkan energi yang besar. Padahal polisi juga harus konsisten dalam penegakan hukum lainnya seperti kejahatan siber,” katanya.

Sustira Dirga, peneliti Institute for Criminal Justice Reform dalam siaran persnya menilai pemeriksaan terhadap AM merupakan tindakan yang berlebihan dan langkah mundur pasca pidato Presiden Jokowi tentang kebebasan berpendapat dan demokrasi.

Menurutnya tindakan kepolisian tak mencerminkan restorasi keadilan untuk memulihkan kondisi antara pelaku, korban, dan warga, karena Gibran tidak melaporkan unggahan AM. Tindakan kepolisian justru berbahaya karena mengawasi perilaku warga dalam berekspresi di ruang maya jelas mengancam dan memperburuk demokrasi.

“Sebaiknya polisi virtual ini difokuskan untuk menangani kejahatan-kejahatan siber yang marak terjadi seperti penipuan daring yang saat ini menjadi sorotan warga,” ujar Sustira.

Direktorat Tindak Pidana Siber dalam laman patrolisiber.id, mencatat ada 2.259 laporan kejahatan siber yang masuk sepanjang tahun 2020. Laporan itu antara lain 649 penipuan daring, 1.048 penyebaran konten provokatif, 208 laporan terkait pornografi, 138 akses ilegal, 32 perjudian, 19 pemerasan, 39 pencurian data atau identitas, 18 peretasan sistem elektronik, 24 intersepsi ilegal, 9 pengubahan tampilan situs, 4 gangguan sistem, dan 71 manipulasi data.

Sementara itu, sepanjang tahun 2019 banyak terjadi tindak pidana penipuan. Tercatat ada 1.617 laporan penipuan dari total 4.586 laporan masuk. Laporan kejahatan siber lainya ialah 1.769 penyebaran konten provokatif, 364 pornografi, 248 akses ilegal, 35 perjudian, 132 pemerasan, 143 pencurian data atau identitas, 148 peretasan sistem elektronik, 3 intersepsi ilegal, 4 pengubahan tampilan situs, 9 gangguan sistem, 114 manipulasi data.

Berbahaya

Amnesty Internasional Indonesia mencatat sepanjang tahun 2021 sudah ada setidaknya 15 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan dengan 18 korban. Sementara pada tahun 2020, terdapat 119 kasus dengan 141 korban, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.

Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dihubungi terpisah, menyebutkan kepolisian tengah menjadi sorotan karena dugaan dengan mudah melakukan kriminalisasi warga yang berpendapat di dunia maya. Hadirnya polisi virtual semakin berpotensi mendorong lahirnya tindakan sewenang-sewenang atas dinamika berpendapat di dunia maya.

“Polisi sebaiknya tidak menambah persoalan dengan hadirnya polisi virtual maupun wacana pemberian lencana kepada warga yang melapor dugaan pelanggaran UU ITE,” ucap Usman.

Menurutnya, wacana pemberian lencana atau ‘Badge Awards’ akan membuat warga semakin takut mengungkapkan pendapat, terutama jika pendapatnya kritis. Warga yang kritis akan berada dalam bayang-bayang ancaman pidana pasal-pasal karet UU ITE.

“Warga seharusnya tidak perlu takut pada ancaman hukuman pidana atau dipaksa untuk minta maaf hanya karena mengungkapkan pendapatnya secara damai,” ujarnya.

Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Komisaris Besar Ahmad Ramadhan dalam siaran pers daring Rabu (17/3/2021) menyampaikan, bahwa polisi tidak menangkap AM, tetapi hanya mengingatkan bahwa unggahannya berpotensi melanggar UU ITE.

“AM sebagai pemilik akun instagram datang ke Polresta Solo dan meminta maaf. AM datang mengklarifikasi, membuat permohonan maaf, dan kasusnya selesai,” ucap Ramadhan.

Sejauh ini, katanya, polisi virtual sudah menegur 79 akun. Polisi hanya memberikan peringatan pertama dan kedua kepada pemilik akun untuk memperbaiki atau menghapus unggahan.

Terkait pemberian lencana, Ramadhan mengatakan bahwa Direktorat Tindak Pidana Siber masih mematangkan rencana itu. Polisi siber masih mengkaji mekanisme dari pemberian lencana berdasarkan kualitas informasi atau kuantitas informasi. “Belum final, tapi dalam perencanaan,” ujarnya. (KOM)

**Berita ini Telah Terbit di Harian Papua Barat News Edisi Senin 22 Maret 2021

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.