Inforial

Kapal Ikan Eks Asing Diminta Tidak Kembali Beroperasi

MANOKWARI, papuabaratnews.co – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) meminta agar Kementerian KKP tidak memberikan izin penangkapan ikan kepada kapal ikan eks asing di wilayah perairan Indonesia.

Kementerian KKP diminta tetap mempertahankan kebijakan lama yang tidak memberikan izin penangkapan ikan.

“Kapal-kapal ini sebelumnya bermasalah, maka menjadi penting sekali untuk berhati-hati dalam memberikan Izin kembali,” ujar Bustar Maitar,  EEO EcoNusa salah satu anggota KORAL, dalam audiensi daring antara KORAL dan KKP pada Senin,  5/7/2021.

Bustar menyebutkan penghentian pemberian  izin penangkapan ikan bagi kapal asing justru memberikan ruang yang besar bagi nelayan kecil di daerah. Hal ini berpengaruh pada hasil tangkapan nelayan lokal dapat dinikmati oleh nelayan lokal yang ada di pelosok nusantara.

“Dengan pembatasan akses bagi kapal ikan eks asing maka akan menciptakan welfare untuk nelayan kita dan lingkungan kita tetap terjaga,” paparnya.

Sebelumnya, Plt Dirjen Perikanan Tangkap KKP, M. Zaini mengungkapkan terdapat 447 kapal buatan luar negeri yang ada di Indonesia.  Kapal tersebut dapat beroperasi kembali dengan ketentuan, wajib berbendera Indonesia, wajib menggunakan nahkoda dan anak buah kapal dari Indonesia, menggunakan alat tangkap yang berlaku di Indonesia dan mendaratkan hasil tangkapan ikan ke pelabuhan dalam negeri. Tidak hanya itu, kapal juga dilarang melakukan transshipment atau pemindahan muatan.

“Sekalipun semua ketentuan di atas dipenuhi tetapi data menunjukkan dari 1.132 kapal eks asing, 616 kapal ternyata menggunakan alat tangkap jaring atau trawl yang tidak ramah lingkungan dan dilarang di Indonesia,” beber Bustar.

KORAL yang dimenaungi koalisi WALHI, KIARA, IOJI, DFW, TERANGI dan ICEL lembaga pemerhati lingkungan menggarisbawahi potensi konflik antara nelayan Indonesia dengan kapal ikan eks asing yang pernah terjadi, misalnya di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia (WPP-RI) 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. Wilayah ini termasuk daerah perairan dangkal sehingga banyak nelayan lokal yang beroperasi.  Namun kemudian dimasuki kapal besar akhirnya terjadilah persaingan dan potensi konflik yang bisa berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

“KORAL ingin melihat nelayan kecil diberikan ruang dan didukung penuh oleh pemerintah untuk bisa berkembang dan bersaing,” sambung Bustar.

Senada dengan itu, Director of International Engagement and Policy Reform IOJI, Stephanie Juwana meminta agar KKP memperbaiki tata kelola perikanan yang terukur. Dalam perbaikan ini dua hal penting harus diperhatikan yakni kepatuhan pendaratan ikan untuk mengetahui praktek kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar (unreported fishing).

Selain itu, Stephanie juga menegaskan agar peningkatan pelaporan kapal Indonesia bisa dilakukan dengan kepatuhan pelaporan hasil tangkap ikan Indonesia (LKP dan LKU) yang akurat.  Pelaporan ini penting untuk memastikan jika produktifitas masih dalam tingkat keberlanjutan, memastikan kepatuhan pelaku usaha, dan mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pajak sektor perikanan lainnya.

“Misalnya perbandingan total penerimaan pajak sektor perikanan dengan rasio pajak nasional adalah 8,25% sampai 8,6% pada 2021, maka hal ini dapat menimbulkan tax gap yang disebabkan oleh ketidakpatuhan pelaku usaha melaporkan dengan benar hasil usahanya,” tutur Stephanie.

Terpisah,  Menteri KKP RI, Sakti Wahyu Trenggono mengapresiasi paparan data terkini terkait WPP-RI 718 yang semula 10 juta ton,  kini turun secara dramatis menjadi 1 juta ton. Karena itu pihaknya menjanjikan tidak ada perizinan bagi kapal ikan eks asing.

“Tidak usah dizinkan saja karena saat ini sudah overfishing. Kenapa kita bahas ini lagi karena jelas sudah tidak relevan,” tandasnya.

Trenggono menegaskan untuk menunjukan keberpihakan kepada nelayan, maka KKP akan menerbitkan kebijakan pembangunan bagi nelayan dengan meningkatkan PNBP melalui skema pasca produksi. Hasilnya akan digunakan untuk memperbaiki subsektor perikanan tangkap.

“Mereka yang melaut harus membayar dalam bentuk PNBP, ” pungkasnya. (RLS/PB22)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.