LP3BH Manokwari Akui Praktik Mafia Tanah Kerap Terjadi
MANOKWARI, papuabaratnews.co – Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari mengakui praktik mafia tanah kerap terjadi di Provinsi Papua Barat.
“Sebagai pengacara, saya sering menemukan praktik itu dalam penanganan kasus klien-klien saya,” ujar Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari Yan Christian Warinussy, saat dikonfirmasi awak media, Selasa 8 Juni 2021.
Dia menjelaskan, perdebatan kepemilikan hak atas tanah terjadi karena klaim yang sama pada sebuah bidang tanah. Misalnya, ada orang yang terlebih dahulu menggarap dan tinggal di tanah tersebut namun sertifikat atas tanah itu sudah dikantongi oleh pihak lain baik perorangan maupun korporasi. Hal inilah menimbulkan sengketa lahan bergulir hingga ke meja hijau.
‘Contohnya ada perusahaan besar tiba-tiba mengklaim miliki sebidang tanah, padahal ada masyarakat yang mengakui lahan itu milik mereka,” ujar Warinussy.
Kondisi ini, kata dia, perlu dilakukan penelusuran secara cermat untuk mengetahui kebenaran atas konflik lahan yang terjadi. Selain itu, penerbitan sertifikat oleh lembaga terkait harus dipastikan bahwa telah berjalan sesuai prosedur dan koridor hukum yang berlaku.
“Ada yang tinggal di tempat itu dan hanya kantongi pelepasan adat. Pelepasan itu belum kuat. Sementara ada yang datang, klaim tanah mereka karena sudah ada sertifikat. Ini perlu ditelusuri kebenarannya,” ucap dia.
“Harus ada investigasi supaya bisa diketahui apakah masuk dalam kategori mafia tanah atau bukan,” kata Warinussy menambahkan.
Menurut dia, ketika ada pengajuan untuk penerbitan sertifikat tanah maka pihak Agraria selaku lembaga yang berwenang terlebih dahulu turun ke lapangan untuk mengecek secara langsung.
Selain pengecekan, Agraria juga perlu mengkonfirmasi orang sekitar agar dapat memperkuat informasi terkait status kepemilikan tanah yang nantinya diterbitkan melalui sertifikat.
“Tanya orang-orang di sekitar lahan itu. Pastikan bahwa sesuai atau tidak,” tegas Warinussy.
“Misalnya saya mau beli tanah, petugas dari Agraria harus datang cek ke tetangga yang berbatasan dengan tanah yang mau saya beli itu,” ucap dia lagi.
Proses pengecekan langsung ini, kata dia, terkadang dilangkahi. Akibatnya, penerbitan sertifikat selalu menimbulkan gesekan di tengah masyarakat khususnya masyarakat adat di Tanah Papua. “Praktik ini sering juga terjadi,” tutur dia.
Warinussy menerangkan, sengketa tanah yang digugat hingga ke pengadilan sudah tentu menyiapkan dokumen formal agar dapat dipertanggungjawabkan. Akan tetapi, bagi pihak yang merasa dirugikan atas penerbitan sertifikat terlebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Jayapura. Setelah sertifikat digugurkan pada tingkat PTUN, maka hak individu yang sudah dirugikan dapat dipulihkan lewat gugatan perdata di Pengadilan Negeri Manokwari.
“Gugurkan dulu ke PTUN di Jayapura. Ini butuh biaya,” ucap dia.
Ke depannya, ia menyarankan agar pemerintah provinsi bersama-sama dengan pemerintah kabupaten/kota segera melakukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendirikan PTUN di Provinsi Papua Barat. Apabila saran itu direalisasikan oleh pemerintah daerah maka penyelesaian persoalan bisa dilakukan secara cepat tanpa biaya yang besar.
“Kalau ada di Manokwari kan jaraknya diperpendek Selama ini masyarakat kecil yang punya masalah seperti ini mengalami hambatan, karena harus ke Jayapura dulu,” tutur Warinussy.
Disinggung soal legalisasi tanah hibah milik pemerintah, dia menjelaskan bahwa, menurut Undang-Undang Agraria Nomor 5 Tahun 1960 ada lahan yang dinamakan tanah milik negara dan ada juga tanah adat.
Tanah milik negara pun dibagi dalam beberapa klasifikasi misalnya tanah negara yang dipergunakan untuk badan usaha dengan izin hak guna usaha dan hak guna bangunan.
Sementara tanah adat yang hendak dikuasi oleh pemerintah demi kepentingan umum, seyogyanya melewati proses pelepasan dan kepada pemilik hak ulayat diberikan sejumlah uang sebagai ganti rugi. Apabila sudah ada pelepasan, pemerintah mengusulkan ke Agraria untuk menerbitkan izin sesuai kebutuhan. Misalnya, hak pakai ataupun hak guna usaha.
“Dan jika pemerintah mau berikan ke BUMD atau BUMN tentunya lewat tahapan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai pengalihan tanah,” jelas dia.
“Kalau tidak ada proses itu bisa diperdebatkan oleh banyak orang,” pungkas Warinussy. (PB15)
**Berita ini Telah Diterbitkan di Harian Papua Barat News Edisi Rabu 9 Juni 2021