Inforial

Pelaku Usaha Diminta Beramal di Tengah Pandemi Covid-19

MANOKWARI,  papuabaratnews.co – Di tengah pandemi virus Corona baru penyebab Covid-19 yang melanda seluruh wilayah di Indonesia,  termasuk Papua Barat, para pelaku usaha dan distributor diminta beramal bagi sesama.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Papua Barat, George Yarangga meminta, pelaku usaha mulai dari distributor, retail hingga pedagang menumbuhkan semangat beramal.

George mengatakan, sikap beramal yang bisa dilakukan bagi sesama di tengah pandemi Covid-19 yakni tidak menjual produk sembako dengan harga yang tinggi. Tingginya harga sembako akan sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah di Papua Barat.

“Saya mengajak para pelaku usaha untuk beramal. Dalam situasi seperti ini mari kita beramal,” ujarnya kepada Papua Barat News, saat ditemui di ruang kerjanya usai memimpin rapat bersama distributor sembako di Manokwari, Selasa (28/4/2020).

George menuturkan kondisi sosial di tengah masyarakat di  Indonsia makin mengkhawatirkan dengan adanya pandemi Covid-19 termasuk Papua Barat. Kondisi masyarakat makin terjepit dengan tuntutan hidup yng makin berat.  Karena itu bila seluruh harga bahan pokok termasuk sembako juga naik maka masyarakat akan menderita. Terbukti ujarnya saat ini di banyak tempat banyak pekerja dan karyawan yang telah di rumahkan karena perusahaan merugi. Dalam situasi krisis dan sulit seperti ini peran pelaku usaha sangat diharapkan oleh pemerintah.

“Pelaku usaha adalah mitra starategis pemerintah di tengah bencana covid-19, ” tuturnya.

George menyebutkan amal baik yang dilakukan oleh pelaku usaha dan distributor kepada masyarakat akan mendapatkan pahala atau berkat yang melimpah. Dirinya berharap pelaku usaha tidak menambah beban masyarakat di tengah kepungan pandemi covid-19.

“Saya percaya banyak pelaku usaha yang telah berhasil. Karena itu saya mengajak mari membantu sesama yang ada di sekitar kita,” ungkapnya.

Perlindungan konsumen lemah

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ira Aprilianti mengatakan, perlindungan konsumen saat meluasnya pandemi Covid-19 sangat lemah. Lemahnya perlindungan konsumen dapat dilihat dari, salah satunya, melonjaknya harga barang penting yang akhirnya menyebabkan terjadinya panic buying. Pada masa pandemi saat ini, komoditas pangan, masker, hand sanitizer dan obat-obatan termasuk ke dalam barang penting.

Pasca dikonfirmasinya dua pasien pertama yang positif tertular Covid-19 oleh Presiden Joko Widodo, krisis ini telah menimbulkan banyak kekhawatiran di masyarakat. Salah satu dampak dari kekhawatiran ini adalah fenomena panic buying. Masyarakat sebagai konsumen melakukan panic buying sebagai respon dari adanya kemungkinan lockdown atau karantina wilayah dan ketidakpastian ketersediaan barang di pasar.

“Menyikapi krisis ini, pemerintah idealnya perlu fokus pada kebijakan yang mengutamakan ketersediaan barang di pasar dan mengutamakan kelancaran arus barang dan juga kelancaran proses distribusinya. Hal ini penting, terutama untuk mereka yang paling terdampak oleh krisis ini,” jelasnya.

Ira menyatakan, pandemi Covid-19 paling merugikan masyarakat kalangan bawah. Hal ini juga dapat dilihat dari data harga pangan, contohnya beras.

Sejak 31 Desember 2019, tidak ada perubahan harga di pasar modern pada Beras Kualitas Bawah II maupun Super I, yang masing-masing masih Rp15.650 dan Rp20.750 (per tanggal 06/04/2020). Namun, ada kenaikan harga cukup signifikan di pasar tradisional. Sejak 31 Desember ke hari ini, Beras Kualitas Bawah II naik 6,51%, sedangkan Beras Kualitas Super I naik 5,50%. Hal ini menunjukkan konsumen pasar tradisional, terutama yang mengonsumsi barang inferior, Beras Kualitas Bawah II, lebih rentan terhadap perubahan harga.

“Konsumen Indonesia memang belum melek dan belum memahami hak-haknya sebagai konsumen. Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) pada 2018 adalah 40,41. Angka ini mencerminkan konsumen hanya tahu akan hak dan kewajibannya, namun belum mampu untuk menggunakan dan memperjuangkan hak-haknya,” terangnya.

Ira menilai, rendahnya IKK disebabkan oleh beberapa hal, seperti rendahnya pemahaman tentang regulasi yang menjelaskan hak dan kewajiban konsumen, rendahnya pemahaman tentang institusi perlindungan konsumen, perilaku pembelian yang kurang cermat dan keengganan konsumen untuk menyampaikan komplain.

Kejadian kenaikan harga yang tidak wajar atas penimbunan barang diatur Pasal 107 di Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. Hak-hak konsumen diamanatkan dalam Pasal 4 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, pandemi Covid-19 seakan mengingatkan kita akan lemahnya perlindungan hak konsumen.

Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen juga menyebutkan kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. Dalam hal ini, beberapa oknum pelaku usaha tidak melakukan kewajibannya, seperti menaikkan harga secara tidak wajar, yang seharusnya diberikan sanksi.

“Mirisnya, UU Perlindungan Konsumen tidak memberikan penjelasan sanksi atas perbuatan melanggar Pasal 7 ini. Aturan di Pasal 107 UU Perdagangan juga kurang kuat, di mana hanya berlaku pada penimbun yang menghambat perdagangan,” katanya. (PB22/PB1)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.