Indeks Kebebasan Pers Papua Barat 2023 Menurun
MANOKWARI – Indeks Kebebasan Pers (IKP) Provinsi Papua Barat 2023 menurun 1,00 poin dari tahun lalu menjadi 68,22, tetapi nilai ini masih berada pada kategori agak bebas. Penurunan ini membawa IKP Papua Barat berada di urutan 33 secara nasional.
Sejumlah persoalan menyangkut kemerdekaan pers, misalnya bebas dari intervensi kepentingan dan kriminalisasi masih dialami wartawan. Hal ini menjadi alarm bagi semua pihak agar makin terbuka terhadap informasi yang menyangkut kepentingan publik.
Anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro, mengatakan, perlu perbaikan lebih agar Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Papua Barat bisa mencapai kategori yang lebih baik. Penurunan IKP ini menjadi peringatan bagi semua pihak.
Dia meminta, pemerintah, swasta, dan masyarakat untuk semakin terbuka pada hal-hal yang menyangkut kepentingan publik sebagai dukungan terhadap pemenuhan kemerdekaan pers.
”Ini tidak hanya tugas teman media, tetapi juga seluruh pemangku kepentingan untuk memberikan dukungan agar masyarakat kita menjadi terbuka, pemerintah terbuka, para aparatur juga terbuka. Situasi kemunduran ini harus disikapi dengan bijaksana dan langkah yang baik,” kata Sapto saat Sosialisasi Hasil Survei IKP 2023 di Aston Niu Hotel Manokwari, Papua Barat, Jumat (17/11/2013).
Penilaian IKP terdiri atas tiga variabel, yaitu lingkungan fisik dan politik, ekonomi, serta hukum. Ketiga variabel itu meliputi 20 indikator dan 75 subindikator. Pengambilan data primer dilakukan dengan wawancara berdasarkan kuesioner kepada responden (informan ahli) yang diminta memberikan nilai (scoring) 1-100 terhadap kondisi kemerdekaan pers pada setiap indikator. Nilai 1-100 terbagi dalam interval kategori: 1-30 (tidak bebas),31-35 (kurang bebas), 56-69 (agak bebas), 70-89 (cukup bebas),dan 90-100 (bebas).
Dalam indikator lingkungan fisik politik nilainya menurun 0,66 menjadi 69,32 poin; lingkungan ekonomi menurun 0,02 menjadi 67,97 poin; dan lingkungan hukum nilainya menurun 2,55 menjadi 66,32 poin.

Kekerasan
Sapto juga menyoroti kekerasan terhadap wartawan dan kriminalisasi insan pers yang selalu muncul dan menghambat peningkatan indeks kemerdekaan pers. Bentuk kekerasannya beragam, mulai dari kekerasan fisik dan nonfisik, termasuk kekerasan melalui sarana digital seperti peretasan, duplikasi situs web, penyebaran disonformasi untuk mendegradasi kredibilitas target serangan.
Sepanjang 2022 terjadi dua kasus kekerasan terhadap wartawan di Papua Barat.
Pertama, kekerasan pada Mei 2022, wartawan dilarang mengambil gambar pada aksi demo tenaga kesehatan (nakes) di Kota Sorong. Pelaku pelarangan adalah Satpol PP.
Kedua, kekerasan yang terjadi pada Oktober 2022, pada saat sidang militer di Pengadilan Negeri Manokwari. Wartawan Tribun Papua Barat dan Tabura Pos menjadi korban pada saat persidangan. Hakim memerintahkan wartawan untuk tidak melakukan peliputan dan wartawan yang hadir di ruang persidangan untuk keluar. Bahkan ada oknum yang menghapus paksa foto-foto yang telah diabadikan wartawan, termasuk menghapus foto lain yang bukan peristiwa di persidangan.
Dua peristiwa tersebut, kata Sapto, menjadi salah satu tolak ukur, bahwa masih ada intervensi pada pers yang cenderung mengarah ke tindak kekerasan. Masih terdapat intervensi aparat negara untuk mempengaharui atau menghalangi pemberitaan.
“Aparat pemerintah dinilai belum sepenuhnya melindungi wartawan dari ancaman kekerasan, di antaranya intimidasi,” kata Sapto.
”Ini harus menjadi tanggung jawab bersama, lalu tindak lanjut penanganan kasus kekerasan yang dialami oleh kawan-kawan wartawan juga perlu mendapat penyingkapan yang bersama-sama oleh penegak hukum. Kalau itu bisa dimaknai secara baik, saya kira mudah-mudahan, IKP tahun 2024 nanti ada perbaikan,” jelasnya. (sem)