Lintas Papua

Mendorong Hasrat kembali ke Maybrat

JAKARTA – Hampir dua tahun Nelly Fan dan keluarganya menetap di Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya. Mereka terpaksa meninggalkan kampung halaman akibat konflik Papua yang merembet ke Kampung Fan Kahrio, Distrik Aifat Timur Jauh, Kabupaten Maybrat.

Nelly sebenarnya rindu untuk pulang. Namun ia khawatir konflik belum reda. Apalagi, di Fan Kahrio, tentara masih sering berpatroli. “Kalau masih ada pos militer, artinya situasi belum kondusif,” kata perempuan berusia 31 tahun itu, kemarin. “Saya trauma dan takut.”

Sebelum konflik pecah, kata Nelly, kehidupan mereka sangat damai di Fan Kahrio. Mereka tidak pernah khawatir kelaparan karena hasil kebun berlimpah. Hewan buruan juga mudah didapat dari hutan dekat rumah. “Makan, minum, air bersih, tempat tinggal semua disediakan alam secara gratis,” katanya. “Tapi di sini (Sorong) kami bayar semua.”

Kedamaian di Kampung Fan Kahrio mulai terusik pada 2 September 2021. Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNBP-OPM) menyerang markas Koramil yang berada di Kampung Kisor, Distrik Aifat Selatan. Serangan mendadak itu menewaskan empat anggota TNI.

Insiden inilah yang memicu TNI memburu para penyerang. Tentara menyisir rumah-rumah penduduk di Kabupaten Maybrat. Tindakan itu membuat masyarakat ketakutan. Mereka buru-buru meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri. Ada yang bersembunyi di hutan, naik ke gunung, atau menumpang di rumah kerabat di kabupaten lain.

Nelly bersama tujuh anggota keluarganya memilih menyelamatkan diri ke Distrik Aimas, Kabupaten Sorong. Mereka menyewa sebuah rumah dengan dua kamar. “Rumah yang kami sewa sangat sempit,” katanya.

Menurut Nelly, awalnya mereka mengira konflik akan reda dalam dua-tiga hari. Karena itu, ketika meninggalkan rumah, mereka hanya membawa barang seadanya. Perabotan elektronik ditinggal semua. Begitu juga dengan dokumen, seperti ijazah dan sertifikat rumah.

Sebulan setelah peristiwa itu, Nelly memberanikan diri untuk pulang. Selain ingin melihat kondisi rumah, ia berencana mengambil sejumlah barang. Namun ia hanya bisa tercengang ketika mendapati kondisi rumah yang sudah amburadul. “Semua baju dan dokumen berhamburan di mana-mana,” katanya. “Kulkas dan televisi hilang, bahkan jendela dan pintu tidak ada lagi.”

Juli lalu, Nelly kembali menyempatkan diri pulang ke Fan Kahrio. Keberaniannya muncul setelah pemerintah daerah menyatakan situasi di Maybrat sudah aman. Namun, setiba di sana, ia justru mendapat kesan sebaliknya. “Masih banyak tentara yang berjaga di pos-pos,” katanya. “Kami tak ingin tinggal bersama aparat. Kami bukan tahanan.”

Karena alasan itulah, Nelly memilih bertahan di rumah kontrakan di Sorong. Ia berencana pulang bila pemerintah benar-benar bisa memberikan jaminan keselamatan kepada penduduk. “Ketika terjadi kontak tembak pada September 2021, pemerintah sama sekali tidak membantu kami,” katanya. “Kalau kejadian itu terulang, kami tak mau jadi korban.”

Pengungsi di hutan setelah insiden penyerangan Pos Koramil Kiso di Distrik Aifat Selatan, Maybrat, Papua Barat, 2 September 2021. Dok. LP3BH Manokwari

Kekhawatiran serupa disampaikan Lami Faan. Dia tidak mau kembali selama tidak ada jaminan keselamatan dari pemerintah dan aparat keamanan. Apalagi rumah Lami yang berada di Distrik Aifat Timur Tengah saat ini dijadikan pos tentara. “Saya punya rumah dibongkar dan sekarang jadi pos TNI,” ujar perempuan berusia 36 tahun ini.

Sama seperti Nelly, Lami dan lima anaknya memilih bertahan di Kabupaten Sorong. Meski kehidupan mereka sulit, mereka bisa terbebas dari rasa takut. Untuk itu, dia berharap pemerintah memperhatikan para pengungsi. Apalagi tidak sedikit pengungsi yang mengalami gangguan kesehatan fisik dan mental. “Ada sekitar 20 anak yang meninggal, sebagian besar karena kurang gizi,” katanya. “Ekonomi terbatas. Kadang sehari makan hanya satu kali.”

Staf Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Ordo Santo Augustinus (OSA), pastor Heri Lobya, mengatakan penduduk yang menjadi korban konflik menghadapi banyak kesulitan selama mengungsi. Untuk tempat tinggal saja, mereka harus berdesak-desakan dalam satu rumah. “Kenyataan ini pasti sulit dan mempengaruhi aspek kesehatan,” ujarnya.

Ketika ada pengungsi yang sakit, kata Heri, mereka tidak mendapat penanganan medis yang layak. Untuk membeli obat penyakitnya saja mereka tidak mampu. “Data sudah kami sampaikan ke pemerintah, tapi belum ada realisasi,” ujarnya.

Persoalan yang sama terjadi di bidang pendidikan. Nyaris tidak ada anak-anak pengungsi yang bisa melanjutkan sekolah. Kalaupun ada, mereka akan terbentur masalah biaya. “Di Kabupaten Sorong, anak-anak para pengungsi tidak bisa sekolah,” katanya. “Sistem zonasi membuat mereka tidak diterima karena data mereka masih di Maybrat.”

Untuk memulangkan pengungsi kembali ke Maybrat, kata Heri, juga tidak sederhana. Sebab, sebagian besar fasilitas umum, seperti kantor kampung dan sekolah, difungsikan menjadi pos penjagaan oleh tentara. Sebagian besar rumah penduduk juga rusak karena ditelantarkan lebih dari satu tahun. “Pemerintah perlu menyediakan hunian bagi para pengungsi supaya mereka bisa hidup lebih baik,” ujarnya.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 24-28 Juli lalu mendatangi tiga distrik di Kabupaten Maybrat untuk memantau penanganan dan pemulangan pengungsi. Dari pemantauan itu, tim menyaksikan bahwa kondisi sebagian besar rumah yang ditinggalkan penduduk sudah sangat parah. Banyak pintu yang hilang dan tembok jebol. “Baru sebagian kecil yang diperbaiki,” kata Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah.

Anis mengatakan belum mengantongi data pasti ihwal jumlah penduduk Maybrat yang mengungsi. Namun, berdasarkan catatan pemerintah kabupaten, angkanya sekitar 5.296 orang. Mereka berasal dari lima distrik di Kabupaten Maybrat. Dari jumlah itu, baru 1.909 pengungsi yang dipulangkan ke Aifat Selatan.

Menurut Anis, kualitas hidup para pengungsi sangat memprihatinkan. Banyak dari mereka yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan karena tak bisa menunjukkan ijazah untuk melamar. “Karena saat mengungsi, mereka tak bawa apa-apa,” ujarnya.

Pelaksana harian (Plh) Sekretaris Daerah Kabupaten Maybrat, Ferdinandus Taa, tidak mau berkomentar ihwal penanganan dan pemulangan pengungsi.

Kepala Pusat Penerangan TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono, mengklaim situasi di Kabupaten Maybrat saat ini relatif aman. Penduduk berangsur-angsur telah kembali ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan aktivitas di sekolah, gereja, dan pasar yang mulai berjalan. “Mulai dari Kampung Sori sampai Kampung Fan Kahrio sudah mulai kembali,” ujarnya.

Julius membenarkan bahwa TNI mendirikan pos penjagaan di sejumlah titik. Pemeriksaan terhadap orang-orang yang baru datang dilakukan demi menjaga keamanan masyarakat. Pemeriksaan ini hanya prosedur keamanan biasa.

Menurut Julius, TNI dan pemerintah daerah berkoordinasi untuk pemulangan pengungsi. Namun upaya ini terhambat karena sejumlah akses jalan terputus dan saat ini masih dalam perbaikan. “Mereka belum bisa kembali bukan karena adanya TNI yang menakuti, melainkan karena memang akses jalan yang masih terputus,” ujarnya. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: