Lintas Papua

Perlindungan Hak Ulayat Laut Masyarakat Adat Papua Perlu Kepastian Hukum

JAYAPURA – Masyarakat adat pesisir Papua yang bergantung pada sumber daya lautnya memiliki kerentanan dalam program pembangunan pemerintah. Saat ini belum ada kepastian hukum yang melindungi hak-hak mereka atas ulayat laut.

”Kerentanan pembangunan bagi kehidupan masyarakat adat mengancam sumber kehidupan mereka,” kata Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua (ALDP) Latifah Anum Siregar, Selasa (31/10/2023).

Anum mengatakan, saat ada program pembangunan dari pemerintah di kawasan pesisir, masyarakat sulit mempertahankan haknya. Padahal, pembangunan tersebut turut memengaruhi area yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat adat.

Salah satu contoh kasus kerentanan itu tergambar dalam laporan Investigasi ALDP tentang dampak pembangunan Pelabuhan Depapre, Kabupaten Jayapura, yang dipublikasikan pada 27 Oktober 2023. Dalam laporan investigasi tersebut, saat pembangunan pelabuhan yang direncanakan sebagai hub di Indonesia timur tersebut, pemerintah hanya memberi ganti rugi kepada tiga marga yang tanahnya digunakan sebagai kawasan.

Padahal, ada sejumlah marga di kampung lain yang wilayah lautnya turut terdampak pembangunan pelabuhan yang berada di bawah Kementerian Perhubungan (Kemenhub) ini dibangun pada 2015-2020. Marga-marga tersebut memiliki wilayah teritori menangkap ikan yang terdampak sebagai lalu lintas kapal menuju pelabuhan.

Selain itu, ada pula kawasan obyek wisata yang berpotensi terdampak dari operasional pelabuhan tersebut. ”Sejak awal pembangunan hingga mulai dioperasikan, tidak ada perhatian dan komitmen dari pemerintah untuk melindungi hak ulayat laut mereka. Apalagi hingga saat ini belum ada perlindungan hak ulayat atas laut dalam undang-undang negara kita,” tuturnya.

Jika merujuk Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Pasal 1 menyebutkan, pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 1 Ayat (2) menyebutkan, seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Pasal-pasal UUPA No 5/1960 lainnya secara umum menyatakan, ketentuan hak atas air, termasuk laut dan ruang angkasa, hanya bersifat hak guna yang dikuasakan atau diberikan kepada warga negara. Adapun pemilik atas air, bumi, dan ruang angkasa tetaplah negara, tidak bisa diserahkan kepada warga negara.

”Padahal, bagi masyarakat yang hak ulayatnya terdampak tidak mempunyai kekuatan hukum dalam melakukan tuntutan untuk memperjuangkan hak atas lautnya,” ucapnya.

Nelayan dengan perahu tradisional mencari ikan di pesisir Kampung Malaumkarta, Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, Kamis (8/6/2023).

Terstruktur

Dihubungi secara terpisah, akademisi kelautan sekaligus pengajar berfokus di bidang ekologi dan antropologi Universitas Cenderawasih, Maklon Warpur menyampaikan pentingnya perlindungan hak ulayat atas laut ini. Sebagian besar masyarakat adat di wilayah pesisir Papua memiliki struktur sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Dalam struktur ini membuat masyarakat adat secara turun-temurun menjaga serta memanfaatkan wilayah laut yang sebagai sumber penghasilan. Mereka memiliki pembagian hak ulayat, baik di darat maupun pesisir. ”Bahkan, secara detail, pengelolaan ulayat laut ditentukan mulai dari wilayah pesisir hingga wilayat laut lepas,” ujar Maklon.

Dengan demikian, menurut Maklon, pemerintah perlu memberikan perhatian secara komprehensif dalam pembangunan yang berdampak pada wilayah ulayat darat dan laut masyarakat adat. Jika hal tersebut diabaikan, bukan cuma sumber penghasilan terdampak, tetapi juga akan melahirkan konflik horizontal dan kecemburuan sosial berkepanjangan bagi masyarakat adat.

Sementara berdasarkan temuan investigasi di Depapre, ALDP menemukan upaya dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayapura untuk mengakomodasi hak ulayat laut masyarakat adat di sana. Dalam proses pembangunan, Pemkab Jayapura bersepakat dengan para pemilik hak ulayat untuk mereklamasi sebagian area laut. Dengan demikian, pemerintah bisa memberikan ganti rugi hak atas ulayat laut.

Anum melihat, dengan tidak terakomodasi secara penuk hak masyarakat adat, menjadi pertanda perlindungan pada hak ulayat laut perlu diperjuangkan. Hak ulayat laut ini bisa memberikan kepastian perlindungan pada hak-hak masyarakat adat, baik yang terdampak langsung maupun tidak langsung dalam jangka panjang.

”Adanya kebijakan otonomi khusus (otsus), seharusnya bisa menjadi angin segar agar perlindungan hak ulayat laut bisa direalisasikan. Ini sekaligus bisa melindungi wilayah rentan lainnya (di Papua),” ucapnya. (sem/kom)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: