Ratusan Anak di Sorong Selatan Putus Sekolah
SORONG – Universitas Papua (Unipa) melakukan penelitian mengenai kondisi pendidikan di Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya. Hasil penelitian yang didukung Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan itu mengungkap ada ratusan anak usia SD hingga SMA yang putus sekolah akibat minimnya dukungan orangtua serta keterbatasan jumlah guru.
Hasil penelitian itu disampaikan oleh perwakilan tim peneliti Universitas Papua, Agus Sumule, dalam diskusi kelompok terarah atau FGD bertajuk ”Partisipasi Usia Sekolah dan Pengembangan Model Pendidikan Kabupaten Sorong Selatan”. Kegiatan ini terselenggara di Kota Sorong, Rabu (20/9/2023).ari 2023.
Dilansir Kompas.id, Agus mengatakan, penelitian tentang partisipasi usia sekolah itu dilakukan oleh 23 tenaga dosen Universitas Papua dan turut melibatkan 45 mahasiswa Universitas Werisar pada Juni-Agustus 2023. Penelitian dilakukan di 15 distrik atau kecamatan yang terdiri dari 120 kampung dan 2 kelurahan.
Ia memaparkan, terdapat 3.652 responden untuk penelitian itu atau sekitar 20 persen dari jumlah keluarga di 15 distrik di Sorong Selatan. Hasil penelitian itu menunjukkan, ditemukan 381 orang dari 1.517 penduduk usia SD yang tidak menuntaskan pendidikannya.
Selain itu, sebanyak 126 orang dari 757 penduduk usia SMP tidak menyelesaikan pendidikannya. Sebanyak 74 orang dari 594 penduduk usia SMA juga tidak menuntaskan pendidikannya.
”Terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan banyak penduduk usia sekolah di Sorong Selatan tidak menuntaskan pendidikan di jenjang SD, SMP, dan SMA. Faktor tersebut antara lain minimnya dukungan orangtua terhadap pendidikan bagi anak mereka dan tidak tersedianya guru di daerah-daerah tersebut,” papar Agus.
Agus menuturkan, dari hasil penelitian itu juga terungkap banyak guru yang diduga tidak berada di tempat tugas. Berdasarkan Data Pokok Pendidikan (Dapodik) di Sorong Selatan, jumlah guru SD mencapai 619 orang, guru SMP 406 orang, guru SMA 112 orang, dan guru SMK 111 orang. Namun, tim peneliti hanya menemukan 377 guru SD, 203 guru SMP, 60 guru SMA, dan 37 guru SMK.
Terkait permasalahan itu, para peneliti merekomendasikan sejumlah solusi, misalnya penetapan regulasi program wajib belajar oleh kepala daerah, penggunaan metode sekolah sepanjang hari, menyelenggarakan pendidikan anak usia dini di setiap kampung, meningkatkan rasio siswa, dan melengkapi setiap sekolah dengan guru yang jumlahnya cukup serta profesional.
”Sekolah sepanjang hari adalah kegiatan belajar dari pagi hingga sore demi meningkatkan kemampuan anak. Dalam metode ini, pihak sekolah menanggung sarapan hingga makan siang para siswa. Rencananya Pemkab Sorong Selatan akan melakukan uji coba metode ini dari Oktober hingga Desember tahun ini,” tutur Agus.
Ia menambahkan, penelitian ini merupakan inisiatif Pemkab Sorong Selatan demi memotret kondisi pendidikan di daerahnya. ”Kegiatan ini baru pertama kali terlaksana di Tanah Papua. Pemkab Sorong Selatan menggandeng akademisi untuk mendapatkan data yang sesuai fakta di lapangan,” ujarnya.
Sementara itu, Bupati Sorong Selatan Samsudin Anggiluli mengatakan, pihaknya meminta bantuan Universitas Papua untuk mendapatkan data valid terkait persoalan pendidikan di Sorong Selatan, misalnya terkait anak putus sekolah dan minimnya ketersediaan guru.
Samsudin menyebut, hasil penelitian Universitas Papua itu akan menjadi acuan bagi Pemkab Sorong Selatan dalam perencanaan program pendidikan. Upaya ini bertujuan demi melahirkan generasi muda yang kompeten ketika memasuki Indonesia Emas pada tahun 2045. (MAR)