Lintas Papua

Runtuhnya Jeda Kemanusiaan di Papua

JAKARTA – Mantan ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik menyayangkan perjanjian jeda kemanusiaan di Papua yang dibatalkan oleh kepengurusan pimpinan Komnas HAM saat ini. Taufan semula optimis jeda kemanusiaan dapat menjembatani perdamaian di Bumi Cenderawasih.

Taufan mengungkapkan upaya perdamaian dan penghentian kekerasan di Papua telah berkali-kali diupayakan, salah satunya oleh Komnas HAM periode 2017-2022. Pada 11 November 2022 telah ditandatangani Perjanjian Jeda Kemanusiaan, yang isinya antara lain penghentian kekerasan dari semua pihak baik TNI/Polri maupun OPM. Selanjutnya, semua pihak akan melakukan tugas kemanusiaan, yakni secara bersama-sama mengurusi pengungsi dan tahanan.

Taufan menyebut, Jeda Kemanusiaan sesuai kesepakatan akan mengambil tempat di Kabupaten Maybrat, Papua. Jika “proyek percontohan” ini berhasil, menurutnya Jeda Kemanusiaan akan dikembangkan di daerah konflik lainnya.

“Langkah ini sekaligus akan menjadi modal awal dalam rangka trust building atau membangun kepercayaan antarpihak bersengketa untuk selanjutnya melakukan negosiasi politik yang lebih substantif. Sebab di dalam pelaksanaannya para pihak yang bersengketa akan terlibat di dalam pekerjaan bersama untuk kemanusiaan,” kata Taufan dalam keterangannya, Kamis (6/7/2023).

Taufan mengungkapkan, butuh waktu lebih dari setahun untuk meyakinkan pihak Papua, baik OPM, ULMWP (United Liberation Movement for West Papua), maupun Dewan Gereja Papua, Majelis Rakyat Papua serta tokoh-tokoh lainnya di Papua terkait perjanjian ini. Taufan juga meyakinkan para pihak di Jakarta seperti menko polhukam, kapolri, panglima TNI, menteri luar negeri soalnya pentingnya jalan damai.

Komnas HAM turut bertemu dengan NGO internasional yang berbasis di Jenewa, diplomat Indonesia di Jenewa, Belanda dan Belgia. Komnas HAM pun meminta dukungan Komisioner Tinggi HAM PBB Madame Michelle Bachelet di Jenewa dan Direktur HAM Uni Eropa di Belgia.

“Sayangnya, perjanjian Jeda Kemanusiaan yang merupakan langkah baik ini tidak diteruskan bahkan dibatalkan sepihak oleh Komnas HAM periode 2022-2027 tanpa alasan yang mendasar serta tanpa konsultasi dengan berbagai pihak yang telah menyiapkan Perjanjian Jeda Kemanusiaan Papua, terutama dengan pihak Papua,” ujar Taufan.

Taufan menyinggung pihak pemerintah, seperti Kemenko Polhukam dapat mengambil alih Jeda Kemanusiaan ini dengan membentuk Task Force yang melibatkan organisasi sosial keagamaan seperti Dewan Gereja/PGI dan PBNU yang sudah menyatakan mendukung Jeda Kemanusiaan. Taufan juga mengusulkan tugas ini dapat diambil alih Kantor Wakil Presiden yang diberikan tanggung jawab mengurusi masalah Papua dengan melibatkan para pihak yang sudah ikut serta dari awal ditambah Dewan Gereja/PGI dan PBNU.

“Tapi sayangnya langkah itu juga tidak diambil, sehingga penghentian kekerasan tidak dapat dilakukan bahkan sebaliknya kekerasan makin terus berkecamuk di Papua,” ujar Taufan.

Taufan menyinyalir gagalnya perjanjian jeda kemanusiaan semakin memperkecil peluang kedamaian di Papua. Taufan mengingatkan Pemerintah Indonesia disodorkan masukan terbanyak dari negara anggota PBB soal isu Papua dalam Sidang Universal Periodic Review pada 2022. Masukan itu menyangkut diperlukannya “inclusive dialogue” dalam menyelesaikan konflik di Papua dan isu hak suku asli.

“Jeda Kemanusiaan yang pernah dihasilkan Komnas HAM adalah bagian integral dari langkah inclusive dialogue sebagaimana diusulkan banyak diusulkan negara anggota PBB kepada Indonesia pada Sidang Dewan HAM tersebut,” ujar Taufan.

Taufan menyindir Pemerintah Indonesia tak perlu takut soal status Papua di mata dunia. Sebab dalam sidang PBB yang diikutinya itu mengakui Papua sebagai bagian dari Indonesia.

“Tentu saja, tidak satu pun negara anggota mempersoalkan status Papua yang memang dalam pandangan internasional dan PBB telah diakui sebagai bagian dari wilayah yang sah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Taufan.

Diketahui, upaya Komnas HAM periode 2017-2022 mendamaikan Papua seolah dibatalkan sepihak Komnas HAM periode 2022-2027 lewat penolakan atas Perjanjian Jeda Kemanusiaan. Bahkan Ketua Komnas HAM periode 2022-2027 Atnike Nova Sigiro meyakini Perjanjian Jeda Kemanusiaan lebih tepat dilakukan oleh pihak yang saat ini terlibat dalam konflik. Menurutnya, Komnas HAM tak perlu terlibat lagi dalam MoU itu.

“Sehingga Komnas HAM tidak pada posisi untuk melanjutkan kesepakatan yang tertuang dalam MoU Jeda Kemanusiaan,” kata Atnike.

Atnike menjelaskan, anggota Komnas HAM periode 2017-2022 lah yang melakukan penandatanganan MoU Jeda Kemanusiaan dengan Dewan Gereja Papua (DGP), MRP, dan ULMWP pada 11 November 2022. Sedangkan, anggota Komnas HAM periode 2022-2027 justru memilih tak melanjutkan MoU itu karena dianggap menyalahi prosedur. “Proses inisiatif MoU Jeda Kemanusiaan yang dilakukan oleh Komnas HAM periode 2017-2022 tidak selaras dengan prosedur dan mekanisme pengambilan keputusan di Komnas HAM,” ujar Atnike.

Atnike menegaskan, keputusan ini diambil setelah mempelajari inisiatif Jeda Kemanusiaan melalui dokumen-dokumen di internal Komnas HAM, serta program dan kebijakan Komnas HAM terkait situasi HAM di Papua.

Padahal masyarakat Papua sudah menantikan realisasi Perjanjian Jeda Kemanusiaan. Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Timotius Murib mengingatkan Komnas HAM mengenai komitmen penyelesaian konflik bersenjata di Papua. Salah satunya lewat pembentukan Tim Jeda Kemanusiaan Bersama. MRP memantau situasi Papua belakangan ini masih panas dengan adanya kekerasan, pembakaran, dan pembunuhan.

“Komnas HAM telah bersepakat untuk menjajaki proses menuju dialog kemanusiaan. Salah satunya melalui Jeda Kemanusiaan yang diarahkan untuk menangani pengungsi dan tahanan politik, tapi belum bisa terlaksana,” kata Timotius. (REP)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.