NASIONAL

Benahi Sistem Meritokrasi Penugasan TNI/Polri di Jabatan Sipil

JAKARTA — Evaluasi terhadap anggota aktif TNI/Polri yang menduduki jabatan sipil di luar institusinya perlu segera dilakukan dengan perbaikan sistem meritokrasi dan akuntabilitas penunjukan. Namun, lebih dari itu, juga ada dorongan agar segera diterbitkan aturan bahwa perwira TNI/Polri yang ingin memegang jabatan publik harus nonaktif lebih dulu atau pensiun dini.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyatakan tak ingin terjadi praktik penyelewengan, seperti korupsi, di lembaga-lembaga penting. Terkait hal itu, evaluasi akan dilakukan di semua hal, termasuk menyangkut penempatan perwira TNI aktif di sejumlah jabatan sipil. Presiden merespons pertanyaan terkait evaluasi perwira tinggi TNI yang menduduki jabatan sipil agar tidak terjadi konflik di masa mendatang jika ada masalah hukum, seperti dalam penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Peneliti politik keamanan Centre for Strategic and International Studies, Nicky Fahrizal, mengatakan, dalam kasus dugaan korupsi di Basarnas, salah satu masalah yang muncul adalah faktor kepemimpinan personal yang kurang. Meski pemerintah sudah memiliki sistem mencegah penggelembungan anggaran dan pencegahan korupsi melalui sistem pengadaan digital, kepemimpinan yang lemah bisa menjadi celah untuk pidana suap.

”Kalau ingin mencegah peristiwa serupa terulang, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono harus mengevaluasi ulang sistem penunjukan prajurit yang akan ditempatkan di jabatan sipil atau publik. Tentunya dengan melihat rekam jejak yang berintegritas dan benar-benar terpilih,” kata Nicky, Selasa (1/8/2023), di Jakarta, dilansir Kompas.

Ideal dan realitas

Idealnya, menurut Nicky, perwira TNI/Polri yang ditunjuk atau ingin memegang jabatan sipil harus melepaskan kedinasannya. Namun, realitasnya, regulasi yang ada masih membuka celah anggota Polri ataupun perwira TNI aktif memegang jabatan sipil. Jika Presiden serius ingin mengevaluasi aturan itu, meritokrasi sistem dan akuntabilitas penunjukan harus dibenahi. Selain itu, komitmen tinggi dibutuhkan untuk membenahi tata kelola hukum seleksi pejabat publik.

Anggota Komisi I DPR, Bobby Adityo Rizaldi, menyebut penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil diatur eksplisit di Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Norma pasal itu mengatur, prajurit aktif bisa menduduki jabatan di 10 kementerian/lembaga.

Rahmi Fitrianti, pengajar Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan, pernyataan Presiden untuk mengevaluasi TNI yang menduduki beberapa jabatan sipil perlu segera dilaksanakan. Ia menambahkan, adanya perwira aktif Polri yang menduduki berbagai jabatan di luar institusinya juga perlu dievaluasi. Sebab, hal ini mirip dwifungsi ABRI di masa Orde Baru ketika ABRI yang terdiri dari TNI dan Polri menduduki berbagai jabatan di pemerintahan.

Merujuk pada perdebatan antara KPK dan TNI terkait penetapan status tersangka perwira aktif TNI yang bertugas di Basarnas, Rahmi mengatakan, ketika seorang perwira aktif menduduki jabatan sipil seharusnya mengikuti hukum sipil. Ia melihat dalam masalah ini ada miskoordinasi. Namun, kehadiran Pusat Polisi Militer TNI di kantor KPK bisa dilihat sebagai bentuk ancaman.

Menurut dia, untuk menghindari konflik kepentingan, anggota TNI/Polri harus nonaktif dulu atau pensiun dini jika menduduki jabatan sipil. Seharusnya tak perlu ada jabatan di pemerintahan yang diduduki perwira TNI/Polri aktif.

Dalam kesempatan berbeda, Kepala Pusat Penerangan TNI Laksamana Muda Julius Widjono mengatakan, evaluasi adalah hak prerogatif presiden. Sementara itu, Kepala Biro Humas Kementerian Pertahanan Brigadir Jenderal Edwin Adrian Sumantha mengatakan, pihaknya belum bisa memberikan komentar.

Panglima TNI mengatakan, terkait dugaan korupsi di Basarnas, pihaknya menegakkan hukum dengan santun. TNI tunduk pada UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer. Yudo menolak disebut mengintervensi kasus. Dia menyebut hanya mengirim pakar hukum dan berkomunikasi sesama penegak hukum. ”TNI tidak akan melindungi yang salah,” katanya. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.