Birokrasi Didesain Fokus pada Kinerja
JAKARTA — Birokrasi sebagai mesin pembangunan harus berfokus pada dampak kinerja, bukan sekadar administrasi laporan. Birokrat dituntut menyelesaikan masalah rakyat dengan tetap mengedepankan tata kelola internal yang baik. Untuk itu, reformasi birokrasi dilakukan dengan menyasar sektor sumber daya manusia, organisasi, serta sistem dan budaya kerja.
Berdasar data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) per 1 Agustus 2023, jumlah aparatur sipil negara (ASN) mencapai 4,2 juta orang, terdiri dari 88 persen pegawai negeri sipil (PNS) dan 12 persen pegawai pemerintah dengan perjanjian Kerja (PPPK).
Dari kajian Litbang Kompas yang dipaparkan dalam diskusi Kompas Collaboration Forum (KCF)-City Leaders Community bersama Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) di Menara Kompas, Jakarta, Jumat (25/8/2023), terungkap secara umum rasio ASN sudah di kisaran ideal, yakni di 1,54 persen. Namun, dari persebaran, masih terjadi ketimpangan karena menumpuk di Jawa dan Sumatera. Selain itu, dari 38 provinsi, ada 15 provinsi yang rasio ASN di atas 1,5 persen. Sebagian besar berada di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Diskusi KFC Apeksi ini dihadiri Menpan dan RB Abdullah Azwar Anas, Ketua Apeksi yang juga Wali Kota Bogor Bima Arya, serta sejumlah wali kota dan wakil wali kota yang menjadi anggota Kompas Collaboration Forum (KCF)-City Leaders Community.
Sasaran reformasi
Azwar Anas mengatakan, transformasi untuk menciptakan birokrasi yang profesional dan berkelas dunia telah dilakukan. Reformasi birokrasi dilaksanakan dengan menyasar sektor sumber daya manusia, organisasi, hingga sistem dan budaya kerja.
Di sisi hulu, pihaknya telah memperbaiki sistem rekrutmen ASN berdasarkan proyeksi kebutuhan dari instansi pembina. Nantinya, kebutuhan rekrutmen akan disesuaikan dengan instansi terkait dan kebutuhan jangka panjang pegawai.
Di sisi lain, lanjut Anas, ada 2,3 juta pegawai honorer yang harus dicarikan solusi. Sebab pada 28 November 2023, tidak ada lagi tenaga honorer karena ASN hanya terdiri dari PNS dan PPPK. Untuk mengatasi hal itu, pemerintah sedang menyiapkan solusi yang akan diatur dalam revisi Undang-Undang ASN.
Pada prinsipnya, pemerintah tak melakukan pemutusan hubungan kerja massal pada pegawai non-ASN. Solusi yang diambil juga tidak mengurangi pendapatan honorer yang diterima saat ini dan tak akan berdampak pada pembengkakan anggaran.
Terkait pemerataan ASN, Anas menjelaskan, pihaknya akan menyiapkan insentif untuk ASN yang mau ditempatkan di daerah-daerah yang masih minim ASN. Misalnya bisa lebih cepat mendapatkan kenaikan pangkat ketimbang ASN yang bertugas di perkotaan.
Untuk memastikan reformasi birokrasi bergulir, Anas menjelaskan proses bisnis layanan kepegawaian perlu dibenahi lebih dahulu. Segala prosedur yang panjang dan rumit untuk kenaikan pangkat, pensiun, atau pindah instansi disederhanakan. Baru setelahnya, reformasi birokrasi yang lebih berdampak diterapkan dengan reformasi birokrasi tematik.
Indikator untuk penilaian reformasi birokrasi ditambah perubahan angka kemiskinan, peningkatan investasi, percepatan program prioritas aktual Presiden seperti pengendalian inflasi dan belanja produk dalam negeri melalui e-katalog, maupun digitalisasi administrasi pemerintahan.
“Ke depan, nggak boleh lagi (pemerintah) daerah mendapat penghargaan, tetapi angka kemiskinan di daerahnya masih tinggi,” ujar Anas, dilansir Kompas.
Dengan fokus pada dampak kinerja, bukan sekadar memerhatikan administrasi laporan, menurut Anas, penyelesaian problem yang ada di masyarakat menjadi fokus. Dalam proses itu, digitalisasi dalam sistem pemerintahan juga menentukan.
Kultur birokrasi
Ketua Umum Apeksi Bima Arya menuturkan, meningkatkan kualitas ASN tak semudah membalikkan telapak tangan. Upaya tak cukup dilakukan dengan mengutak-atik regulasi atau merevisi aturan. Namun, ada kultur yang perlu diubah ketika ingin transformasi terjadi, yakni mengikis kultur lama dan mengurangi senioritas yang tidak berdampak positif.
Untuk mengubah kultur ini, kompetisi dibangun dan ASN yang lebih senior harus mau untuk ikut bersaing sehat. Dengan manajemen talenta, semua akan dinilai sesuai kompetensi, kapasitas, dan performa masing-masing. ASN yang lebih senior harus siap untuk dipimpin kepala dinas yang bisa saja lebih junior.
Wali Kota Cilegon, Banten, Helldy Agustian, meminta agar pemerintah pusat tidak hanya memberikan perhatian kepada ASN di bidang pendidikan dan kesehatan, tetapi juga untuk tenaga teknis. Sebab kebutuhan pengisian tenaga teknis masih banyak, sedangkan pelamar yang lolos seleksi calon pegawai negeri sipil masih di bawah kebutuhan.
Wali Kota Gorontalo Marten A Taha mengatakan, ada masalah terkait passing grade seleksi calon PNS di daerah. Kualitas pendidikan yang tak sama mengakibatkan peserta seleksi CPNS didominasi lulusan dari kampus-kampus di luar daerah. Sementara lulusan dari daerah sendiri sering kali tersisih.
Di sisi lain, ada masalah kompetensi dari ASN yang terbatas. Sebagian ASN hanya berada di satu dinas tertentu sejak awal pengangkatan dan tidak pernah dimutasi ke dinas lain. Akibatnya, kompetensi ASN tersebut tidak berkembang, bahkan kinerjanya cenderung menurun. Padahal, pihaknya ingin memaksimalkan ASN yang ada untuk mengisi berbagai kebutuhan di sejumlah instansi lain.
Sementara Wali Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Ramdhan Pomanto, mengakui, kualitas tenaga honorer yang direkrut masih kurang. Dari seleksi menggunakan sistem CAT, hasilnya sangat banyak pelamar, seperti sopir, pemadam kebakaran, penggali kubur, yang tidak lolos. Akhirnya, mereka kembali hanya menggunakan seleksi wawancara untuk menyesuaikan tingkat seleksi agar mendapatkan pegawai sesuai jumlah yang dibutuhkan. (KOM)