NASIONAL

Cegah Kriminalisasi Masyarakat, UU ITE Diusulkan Direvisi Total

JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat diusulkan merevisi total Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tidak hanya terpaku pada sejumlah pasal yang diajukan pemerintah. Pembahasan juga diharapkan melibatkan partisipasi publik yang bermakna dan memastikan penggunaan perspektif hak asasi manusia.

Usulan itu disampaikan masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi I DPR di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (27/3/2023). Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari itu, masyarakat sipil menyerahkan usulan perbaikan terhadap Rancangan Undang-Undang ITE.

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengatakan, meski sudah pernah diubah pada 2016, UU ITE masih mengandung sejumlah pasal yang mencederai pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Misalnya, Pasal 26 Ayat (2), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28A Ayat (1), dan Pasal 27 Ayat (3). Sejumlah kasus kriminalisasi publik dalam penegakan dan implementasi UU tersebut pun terjadi dan berdampak pada berbagai kalangan.

Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia, sepanjang 2019-2022 telah terjadi 316 kasus kriminalisasi publik yang dilakukan menggunakan UU ITE dengan 332 korban. Korban tidak hanya berasal dari kalangan aktivis dan pejabat publik, tetapi juga warga biasa. Bahkan, dari total 332 korban itu, mayoritas adalah warga biasa.

”Kami menemukan pola bahwa jumlah korban kriminalisasi paling tinggi datang dari kalangan masyarakat biasa, bukan aktivis, hanya orang biasa yang ingin menyuarakan pendapat mereka,” kata Wirya, dilansir Kompas.

Temuan tersebut, kata dia, memperkuat urgensi revisi UU ITE yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 atas usul pemerintah. Karena itu, pembahasan perubahan regulasi terkait informasi dan transaksi elektronik ini harus bisa menjadi momentum untuk melakuan revisi menyeluruh UU ITE, tidak hanya terbatas pada sejumlah pasal yang dianggap bermasalah versi pemerintah. Pembahasan kompreshensif penting dilakukan untuk memastikan UU ITE nantinya benar-benar menjadi produk legislasi yang melindungi HAM, menghilangkan ketidakadilan dalam hukum, dan tidak menjadi alat kriminalisasi masyarakat sipil.

Direktur Eksekutif Safenet Damar Juniarto sepakat, revisi UU ITE harus dilakukan secara total. Sebab, dalam RUU yang sudah diajukan pemerintah, tidak tampak perubahan signifikan dari hasil revisi yang pertama kali dilakukan pada 2016. Sejumlah pasal yang bermasalah karena multitafsir dan rentan dimanfaatkan untuk mengkriminalkan warga sipil masih dipertahankan, di antaranya Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (4), Pasal 28, Pasal 28A, dan Pasal 29.

Menurut Damar, revisi terbatas UU ITE sebagaimana diajukan pemerintah tidaklah cukup. Sebab, merujuk pada Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2012 yang menyerukan semua negara untuk memajukan dan memfasilitasi akses ke internet serta memajukan kerja sama internasional untuk pengembangan media dan fasilitas informasi di semua negara, pasal-pasal yang diajukan dalam rancangan revisi UU ITE sudah tidak lagi diperlukan. Norma pemidanaan terkait pasal-pasal itu sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan dan diundangkan pada akhir 2022.

Argumentasi dalam naskah akademik RUU ITE juga sudah usang dan berlebihan karena tidak berlandaskan pada perkembangan teknologi terkini. Selain itu, permasalahan internet tidak terbatas hanya pada pasal-pasal yang ada di UU ITE, tetapi juga diperlukan pasal-pasal yang mengatur tentang tata kelola internet, tanggung jawab platform teknologi, dan moderasi konten.

”Ini merupakan momentum terbaik untuk melakukan revisi total UU ITE,” kata Damar.

Lintas komisi

Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Ika Ningtyas mengusulkan agar revisi UU ITE tidak hanya dilakukan oleh Komisi I DPR. Pembahasan semestinya melibatkan komisi lain karena dampak UU ini meluas ke banyak sektor, seperti hukum, isu perempuan, kebebasan berekspresi, kebebasan pers, konsumen, dan isu-isu HAM lainnya. Pelibatan banyak komisi itu juga penting untuk mengakomodasi lebih banyak kepentingan publik.

Ia menambahkan, revisi secara utuh juga penting karena masih ada pasal yang berimplikasi pada kebebasan pers. Harmonisasi dengan UU lain juga diperlukan karena disinyalir ada sejumlah norma pemidanaan di UU ITE yang sudah diatur dalam KUHP.

Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar, Christina Aryani, mengatakan, kekhawatiran masyarakat sipil umumnya juga sejalan dengan DPR. Akan tetapi, pimpinan DPR telah memutuskan memberikan tugas pembahasan revisi UU ITE kepada Komisi I. Pembahasan lintas komisi yang sebelumnya juga pernah ia usulkan kini sulit untuk dilakukan. ”Apalagi, jika bicara soal waktu, ini sudah memasuki tahun 2023, sedangkan kita tentu ingin revisi UU ITE diselesaikan sesegera mungkin untuk mencegah kasus kriminalisasi terulang kembali,” katanya. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.