Dicari Pemimpin yang Hayati Perbedaan
JAKARTA — Para pendiri bangsa membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia atas kesadaran penuh adanya kemajemukan di masyarakat. Perbedaan yang ada di masyarakat harus dihayati secara penuh oleh pemimpin bangsa agar dapat mewujudkan Indonesia yang adil dan makmur secara merata.
Berbagai perbedaan yang ada di masyarakat sering kali masih menimbulkan persoalan, semisal belum semua pemeluk agama dapat menjalankan keyakinannya dengan rasa bebas dan merdeka. Selain itu, kekayaan yang ada di negara ini belum dapat dinikmati secara merata oleh masyarakat.
Ketua Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society, Omi Komaria Nurcholish Madjid, di Jakarta, Sabtu (26/8/2023), mengatakan, para pendiri bangsa telah menggali ide-ide terbaik demi berdiri dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila. Para pendiri bangsa memiliki kesadaran penuh bahwa terdapat kemajemukan di masyarakat Indonesia.
”Oleh karena itu, beliau-beliau (pendiri bangsa) memilih mendirikan Indonesia berdasarkan prinsip negara bangsa yang modern, bukan berdasarkan prinsip nasionalisme kuno yang menganut paham kesukuan atau tribalisme yang sempit dan sewenang terhadap suku lain,” kata istri cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid, dilansir Kompas.
Hal itu disampaikan Omi dalam pidato sambutan Forum Titik Temu bertajuk ”Merayakan Indonesia: Suara Kultural untuk Pemimpin Nasional 2024” yang diselenggarakan oleh Nurcholish Madjid Society bekerja sama dengan Yayasan Indonesia Barokah, Jaringan Gusdurian, dan Maarif Institute, Sabtu.
Kegiatan ini juga dihadiri sejumlah tokoh, di antaranya Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy yang mewakili Presiden Joko Widodo; Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki; istri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Nyonya Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid; pendiri Pusat Studi AlQuran, Quraish Shihab; serta beberapa tokoh lain.
Menurut Omi, perjalanan pertumbuhan Indonesia sebagai negara modern banyak mengalami hambatan karena masih terdapat paham feodalisme. Hal itu terlihat dari merajalelanya kejahatan korupsi yang merupakan kelanjutan dari upeti masyarakat feodal yang ditambah dengan budaya suap-menyuap dan perjudian.
Ia menegaskan, Indonesia pada saat ini dan ke depan memerlukan pemimpin yang mampu menghadirkan keteladanan hidup yang otentik, yakni menjadi lambang harapan bersama dan sumber kesadaran arah serta tujuan dalam hidup bernegara.
Omi memiliki mimpi, kelak Indonesia dapat menjadi negara yang adil dan makmur secara merata. Kekayaan bangsa ini tidak hanya dinikmati oleh orang yang tinggal di kota, tetapi juga mereka yang tinggal di desa.
”Impian saya, cucu dan cicit saya dapat menikmati kedamaian di seluruh negeri ini. Hidup rukun, damai, welas asih, bantu-membantu tanpa pandang suku, kulit, agama, atau keyakinan. Masalah perbedaan agama sudah harus selesai. Tidak ada lagi orang atau kelompok yang mengafirkan orang atau kelompok lain yang berbeda pandangan, tidak ada lagi orang atau kelompok atau lembaga yang memata-matai keyakinan seseorang,” kata Omi.
Omi menegaskan, keyakinan adalah masalah pribadi. Setiap orang harus menghargai perbedaan keyakinan dengan tidak menghujat, tidak merusak bangunan, atau melarang menjalankan ibadah.
Quraish Shihab menuturkan, manusia telah mengenal Tuhan sebelum adanya peradaban dengan nama yang berbeda-beda. Bahkan, penjelasan di dalam satu agama bisa berbeda. Namun, titik tolaknya sama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Quraish, Tuhan menghendaki perbedaan supaya manusia bekerja sama dan berlomba dalam kebaikan. Ia berharap pemimpin bangsa Indonesia menghayati perbedaan ini. ”Setelah Tuhan menyatakan bahwa Dia yang menciptakan kamu berbeda-beda, diberinya petunjuk bagaimana supaya kalian tidak bertengkar. Hindari absolutisme. Itu pesan Tuhan,” tegasnya.
Koordinator Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, yang juga hadir dalam kegiatan ini, mengatakan, pemimpin bangsa ini adalah wajah dari masyarakat. ”Kalau kita buruk, pemimpin kita buruk,” kata Ari.
Ari mengakui, bangsa Indonesia terlalu lama berada dalam budaya feodalisme. Masyarakat hanya dapat mengikuti pemimpin, bukan menjadi warga negara yang baik. Setiap lima tahun sekali, masyarakat mudah digiring dengan berbagai janji dan rayuan tanpa arah yang jelas.
Oleh karena itu, Ari berharap masyarakat dapat menjadi warga negara yang baik dan aktif untuk mampu melahirkan pemimpin yang baik. Setelah pemimpin itu terpilih, masyarakat dapat mengontrolnya bersama-sama agar yang bersangkutan menjadi pemimpin amanah. (KOM)