Dihukum Penjara 8 Tahun dan Dicabut Hak Politiknya, Lukas Enembe: Putusan Itu Tidak Adil
JAKARTA – Gubernur Papua nonaktif Lukas Enembe, terdakwa penerimaan suap dan gratifikasi, Kamis (19/10/2023), divonis hukuman 8 tahun penjara, membayar uang pengganti Rp 19,6 miliar, serta pencabutan hak politik untuk dipilih selama lima tahun sejak selesai menjalani pidana. Vonis itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni pidana penjara 10 tahun 6 bulan.
”Menyatakan terdakwa Lukas Enembe telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan gratifikasi sebagaimana dalam dakwaan kesatu dan dakwaan kedua penuntut umum,” kata Ketua Majelis Hakim Rianto Adam Pontoh dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Putusan itu disampaikan Rianto dengan didampingi dua hakim anggota, yakni Dennie Arsan Fatrika dan Ali Muhtarom.
Menanggapi vonis majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta tersebut, Lukas Enembe hanya dapat berkata pelan. “Putusan itu tidak adil, saya tidak pernah korupsi dan tidak pernah terima suap,”ungkap Lukas yang duduk di kursi roda usai sidang, kemarin.
Lukas melalui penasihat hukumnya Petrus Bala Pattyona langsung menyatakan menolak putusan tersebut. “Bapak Lukas menolak putusan hakim,” ujar Petrus, yang mendampingi Lukas di persidangan.
Kuasa hukum Lukas lainnya, Otto Cornelis Kaligis mengatakan, pertimbangan hakim, yang menyatakan bahwa Lukas menerima suap dari pengusaha Piton Enumbi itu tidak benar.
“Di persidangan tidak ada saksi yang menerangkan bahwa Pak Lukas menerima uang dari Piton. Hakim hanya mengambil dari keterangan saksi di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kami punya rekaman persidangan, dimana tidak ada seorang saksi pun yang menjelaskan penerimaan uang dari Pitun,” ujar Kaligis.
Petrus Bala Pattyona menambahkan, keterangan saksi yang menjelaskan penerimaan uang dari Pitun itu penting, karena yang dipertimbangkan di persidangan itu, keterangan saksi di muka sidang, bukan keterangan saksi di BAP.
“Dan juga selama persidangan, Pitun itu tidak pernah dihadirkan di muka persidangan karena sedang sakit,” tukas Petrus.
Sementara terkait pertimbangan hakim bahwa Lukas menerima uang Rp1,9 miliar dari pengusaha Budi Sultan. “Di persidangan, Budi Sultan menyatakan, dia dihubungi Sherly Susan yang akan pinjam duit satu miliar rupiah, dan memang dikirim Budi Sultan melalui Putri Sultan. Terus dimana hubungan dengan Pak Lukas,” terang Petrus.
Berdasarkan semua itu, Petrus dengan tegas mengatakan, putusan hakim itu putusan zholim. Yang benar dari putusan hakim hari ini adalah tentang kepemilikan Hotel Angkasa yang dinyatakan hakim itu milik Rijatono Lakka, pengusaha, dan bukan milik Lukas. Karena selama ini KPK menuduh dan selalu nenyiarkan bahwa Hotel Angkasa itu milik Lukas.
“Hal itu senada dengan pembelaan kami adalah tentang Hotel Angkasa. Itu benar punya Rijatono berdasarkan bukti sertifikat hak miliknya, apalagi Rijatono membeli tanak dari anaknya Gubernur Isak Hindom tahun 1999, sedang Pak Lukas menjadi Gubernur Papua tahun 2013,” ujarnya.
Sedangkan kuasa hukum Lukas lainnya, Antonius Eko Nugroho mengatakan, seharusnya hakim juga mempertimbangkan kondisi kesehatan Pak Lukas yang menderita ginjal kronis, stroke empat kali, dan jantung.

Sebelumnya, jaksa KPK mendakwa Lukas bersama-sama dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Papua (2013-2017) Mikael Kambuaya dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Papua (2018-2021) Gerius One Yoman menerima hadiah atau janji dengan total nilai Rp 45,84 miliar. Lukas juga didakwa menerima gratifikasi sebesar Rp 1 miliar.
Penerimaan hadiah atau imbalan itu seluruhnya terkait dengan upaya agar perusahaan yang digunakan oleh Piton Enumbi dan Rijatono Lakka, selaku pihak swasta, dimenangkan dalam proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Provinsi Papua tahun anggaran 2013-2022.
Untuk itu, Lukas didakwa dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah disempurnakan menjadi UU No 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP. Adapun pada perkara gratifikasi, jaksa mendakwa Lukas dengan Pasal 12B UU Tipikor.
Bersikap tidak sopan
Dalam putusannya, majelis hakim menyebutkan, Lukas juga dikenai denda Rp 500 juta subsider 4 bulan penjara serta membayar uang pengganti sebesar Rp 16,9 miliar yang jika tidak dibayar diganti dengan 2 tahun penjara. Majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak Lukas untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak ia selesai menjalani pidana pokok.
Menurut majelis hakim, hal-hal yang memberatkan adalah perbuatan Lukas tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi. Lukas juga dinilai bersikap tidak sopan karena mengucapkan kata-kata yang tidak pantas berupa makian dalam ruang sidang.
Adapun hal yang meringankan, menurut majelis hakim, Lukas belum pernah dihukum. Meski dalam keadaan sakit, Lukas mengikuti persidangan sampai akhir. Selain itu, Lukas juga masih memiliki tanggungan keluarga. (KOM)