NASIONAL

DPR Proses RUU Kontroversial

JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat akan melanjutkan pembahasan rancangan regulasi penting yang menjadi sorotan publik pada rapat paripurna, Selasa (11/7/2023). Selain mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kesehatan menjadi undang-undang, DPR juga mengagendakan mengesahkan revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi RUU inisiatif DPR.

Namun, langkah DPR itu dinilai hanya mendahulukan kepentingan penguasa karena diambil di tengah masifnya kritik publik.

Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi, Senin (10/7/2023) malam, membenarkan usulan RUU tentang Perubahan Kedua UU Desa (RUU Desa) akan dibawa ke rapat paripurna, Selasa ini. ”RUU Desa ini akan disahkan menjadi RUU inisiatif DPR dalam paripurna besok (Selasa),” katanya, dilansir Kompas.

Setelah disetujui menjadi RUU usul inisiatif DPR, pimpinan DPR akan segera mengirimkan surat usulan pembahasan kepada pemerintah. Namun, menurut Baidowi, DPR tidak memasang target kapan pemerintah merespons usulan pembahasan RUU Desa tersebut.

Tidak ada tenggat yang diberikan kepada pemerintah untuk mengirimkan surat presiden yang berisi persetujuan untuk membahas RUU Desa. Tanpa surpres, RUU Desa belum bisa dibahas bersama DPR dan pemerintah.

Pembahasan usulan RUU Desa oleh DPR menimbulkan kontroversi. Banyak kalangan menilai usulan perubahan UU Desa itu sarat kepentingan politis. Sebab, semula RUU Desa tidak ada dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2023. Selain itu, dalam Prolegnas 2020-2024, RUU Desa juga merupakan usul inisiatif DPD, bukan DPR. Namun, DPR mendahulukan revisi UU Desa setelah menetapkannya dalam daftar RUU kumulatif terbuka.

Dengan dalih menyesuaikan putusan MK atas perkara uji materi UU No 6/2014 pada Maret lalu, Baleg DPR sepakat melakukan perubahan terbatas UU Desa. Sejumlah poin perubahan diputuskan hanya dalam empat kali rapat. Perubahan itu, di antaranya, perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun dan penambahan alokasi dana desa menjadi 20 persen dari total dana transfer daerah.

Bersamaan dengan pengambilan persetujuan RUU Desa, DPR juga akan mengesahkan RUU Kesehatan menjadi UU. Pengesahan itu juga dilakukan di tengah protes publik yang terus terjadi. Sebab, pembahasan RUU yang dibuat dalam bentuk omnibus law itu disebut belum mengakomodasi masukan dari sejumlah organisasi profesi kesehatan.

RUU ITE

Pada pekan terakhir Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023 ini, DPR juga masih membahas RUU Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE). Namun, sejak pertama kali dibahas pada akhir Mei hingga Senin kemarin, tak satu pun rapat Panitia Kerja Pembahasan RUU ITE yang digelar secara terbuka.

Ketua Panja RUU ITE Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari beralasan, RUU ITE dibahas secara tertutup karena kerap terjadi diskusi-diskusi sensitif yang bisa menimbulkan kegaduhan jika tersiar secara parsial di hadapan publik. Diskusi dimaksud terkait dengan pasal-pasal karet yang selama ini dikritik oleh masyarakat sipil.

”Dalam pembahasan RUU ITE, ada diskusi yang mengambil contoh-contoh sensitif, yang rentan, mungkin bisa disalahartikan,” katanya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menambahkan, dari sejumlah pasal yang diajukan oleh pemerintah untuk direvisi, hanya tersisa dua pasal yang belum selesai dibahas oleh panja. Kendati demikian, panja tidak akan terburu-buru untuk menuntaskan pembahasan.

”Kami masih akan membahas pada Rabu, belum tahu rampung atau tidak. Kalau belum rampung, ya, akan dilanjutkan. Tidak (dibawa ke rapat paripurna) karena ini masih panjang, masih harus disinkronisasi,” ujar Kharis.

Kepentingan penguasa

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, persoalan utama dalam pembahasan legislasi di DPR adalah partisipasi bermakna masyarakat yang hanya dijadikan formalitas. DPR tak pernah benar-benar memosisikan diri sebagai wakil rakyat yang memastikan aspirasi publik terakomodasi dalam RUU yang akan disahkan. Pada RUU Kesehatan, misalnya, DPR dan pemerintah kompak mengambil keputusan yang belum tentu sejalan dengan kebutuhan masyarakat.

Padahal, sudah ada preseden buruk terkait penyusunan UU yang mengabaikan partisipasi publik bermakna, yakni saat pembahasan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. UU tersebut kemudian dinilai cacat prosedur oleh MK.

”Relasi DPR dan pemerintah yang saling mendukung dan tidak kritis menghilangkan peran DPR sebagai lembaga pengontrol pemerintah. Publik justru dihadapkan pada dua lembaga yang seolah-olah melebur menjadi satu kekuatan yang berhadapan dengan rakyat,” kata Lucius.

Ia menambahkan, kecenderungan yang sama juga terjadi dalam pembahasan RUU Desa. DPR dengan cepat memproses RUU yang sebelumnya tidak ada dalam daftar prioritas. Hal itu menunjukkan indikasi bahwa DPR memiliki kepentingan tertentu sehingga perlu membahas itu secara mendadak dan segera membawanya ke rapat paripurna agar bisa dibahas dengan pemerintah.

Hal itu berbanding terbalik dengan pembahasan RUU ITE yang terbengkalai sejak 2021, tetapi baru mulai di bahas pertengahan 2023. Publik berharap revisi UU ITE bisa segera dibahas secara terbuka. Namun, kenyataannya, UU ITE dibahas secara tertutup.

”Jadi terlihat bahwa urgensi pembahasan hingga pengesahan RUU didasarkan pada keinginan DPR dan pemerintah yang menjadi satu kekuatan. Yang diinginkan oleh dua lembaga itu menjadi prioritas, sedangkan RUU yang dibutuhkan publik kalau perlu ditunda-tunda,” ujar Lucius. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.