Jalan Pintas Melawan Donasi Culas
JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akuntabilitas Dana Kemanusiaan menilai rencana pembentukan Satuan Tugas Pengawas Lembaga Filantropi hanya akan menjadi jalan pintas yang tak akan menyelesaikan masalah tingginya potensi penyimpangan pada kegiatan pengumpulan sumbangan. Pasalnya, akar persoalan dari kasus penyelewengan dana, seperti yang diduga dilakukan oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT), justru terletak pada regulasi yang tak lagi bisa mengikuti cepatnya perkembangan kegiatan filantropi.
“Pembentukan satgas tidak akan menyelesaikan masalah karena perangkat perundangan dan regulasi tidak mendorong penyelenggaraan sumbangan yang transparan dan akuntabel,” kata Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akuntabilitas Dana Kemanusiaan, Petrasa Wacana, Sabtu (30/7/2022).
Pembentukan Satgas Pengawas Lembaga Filantropi diwacanakan oleh Kementerian Sosial setelah mencuatnya kasus dugaan penyelewengan dana dalam tubuh ACT. Kasus ini bermula dari laporan Tempo edisi 2 Juli 2022 bertajuk “Kantong Bocor Dana Umat”. Tempo membeberkan pemborosan dan penyelewengan dana yang ditengarai melibatkan para petinggi ACT sehingga lembaga penggalangan dan pengelolaan dana publik untuk kemanusiaan tersebut mengalami krisis keuangan pada 2021.
Menindaklanjuti laporan tersebut, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap telah lama menyetorkan laporan hasil analisis kepada penegak hukum tentang keberadaan transaksi mencurigakan yang melibatkan para pengurus ACT. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri juga sempat menyatakan tengah mengusut transaksi ACT yang ditengarai berhubungan dengan kegiatan terorisme.
Namun Badan Reserse Kriminal Polri bergerak lebih cepat. Senin lalu, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus mengumumkan telah menetapkan empat anggota pengurus dan mantan pengurus ACT sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan dugaan menyelewengkan dana kompensasi dari Boeing untuk ahli waris korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada 29 Oktober 2019. Polisi menaksir uang senilai Rp 34,5 miliar, dari total dana kompensasi Rp 138,52 miliar, digunakan untuk kepentingan pribadi para petinggi ACT lewat perusahaan-perusahaan afiliasi yayasan.
Petrasa mengatakan kasus ACT semestinya menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang dan Barang kian mendesak untuk segera dilakukan. Selama ini UU Pengumpulan Uang dan Barang, juga peraturan turunannya, amat lemah.
Dia juga menyesalkan alasan Kementerian Sosial membentuk Satgas Filantropi lantaran revisi undang-undang bakal memakan waktu. Sebab, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Akuntabilitas Dana Kemanusiaan bersama Kementerian Sosial sudah menyusun naskah akademis dan draf RUU Penyelenggaraan Sumbangan sejak 2016.
Petrasa mengingatkan, RUU Penyelenggaraan Sumbangan bahkan sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2018. Namun, seiring dengan pergantian Dewan Perwakilan Rakyat pada 2019, RUU tersebut keluar dari daftar panjang Prolegnas. Setelah itu, Kementerian Sosial mengalihkan konsentrasinya ke RUU Pekerja Sosial yang saat ini sudah disahkan. “Mendorong RUU perubahan dari UU Pengumpulan Uang dan Barang sebenarnya tidak harus lama. Selagi ada komitmen yang kuat,” ujarnya.
Koalisi pun menilai pembentukan lembaga independen lebih penting daripada Satgas Pengawas Lembaga Filantropi. Lembaga independen itu, kata Petrasa, bisa bertugas mengedukasi dan menilai kegiatan penyelenggaraan sumbangan, dari pengumpulan, pengelolaan, penyaluran, pengawasan dan monitoring kebijakan, inisiasi, hingga penerapan kode etik penerapan akuntabilitas. “Tapi, kembali lagi, lembaga ini harus mandat dari undang-undang,” ujar Petrasa. “Tidak bisa hanya diserahkan kepada satu unit Subdirektorat Pengumpulan Uang dan Barang di bawah Direktorat Pengelolaan Sumber Dana Sosial Kementerian Sosial, seperti saat ini.”
Sebelumnya, pada Kamis (28/7/2022), Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan Kementerian Sosial akan membentuk Satgas Pengawas Lembaga Filantropi pada pertengahan Agustus mendatang. Personelnya terdiri atas pegawai Kementerian Sosial, aparat penegak hukum, pejabat PPATK, hingga Interpol. Satgas ini dibentuk sebagai buntut kasus penggelapan dana Yayasan ACT.
Risma mengakui pengawasan Kementerian Sosial terhadap lembaga filantropi masih lemah. Namun, alih-alih merevisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961, Kementerian memprioritaskan untuk membentuk alat monitoring atau petugas pengawasan. “Kalau mengubah UU, butuh waktu. Justru yang paling dibutuhkan cepat adalah alat bagaimana bisa mengawasi itu,” kata Risma.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, pernah menyatakan parlemen membuka peluang membentuk RUU Penggalangan Dana untuk mengatur lembaga filantropi. “Kalau memang benar (ada yang mengusulkan RUU itu), diusulkan saja sebagai usulan inisiatif DPR. Nanti kami lihat naskah akademiknya, kami akan ajukan sesuai dengan mekanisme yang ada di DPR,” ujar Dasco, Selasa, 5 Juli 2022.
Adapun Ketua Komisi VIII DPR, yang berurusan dengan masalah sosial dan kebencanaan, Yandri Susanto, meminta pemerintah membuat pengaturan khusus tentang mekanisme pengumpulan dan akuntabilitas penyelenggaraan bagi lembaga filantropi atau lembaga pengumpul dana umat. “Sangat perlu ada aturan jelas pertanggungjawaban publik karena mereka menghimpun dana masyarakat. Perlu ada standar audit dan lain-lain sehingga tidak disalahgunakan,” ujar Yandri, Senin, 4 Juli 2022.
Menurut Yandri, pemantauan lembaga pengelolaan dana bantuan masyarakat ini berada di bawah Kementerian Sosial. “Karena itu, Kementerian Sosial dan kementerian atau lembaga terkait perlu membuat aturan yang lebih detail, termasuk sanksinya,” ujarnya. Aturan yang jelas, berikut dengan sanksi, tersebut dinilai penting untuk menutup peluang terjadinya moral hazard dalam pengumpulan donasi publik, seperti yang diduga terjadi dalam tubuh ACT. (TEM)