NASIONAL

Kaum Muda Terhambat Biaya Politik Tinggi

JAKARTA — Anak muda kembali diingatkan untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Sebagai bagian dari warga negara, kelompok yang bakal mendominasi jumlah pemilih pada Pemilu 2024 itu idealnya ikut serta mengawasi praktik kekuasaan yang berlangsung. Hal tersebut penting agar partisipasi politik para pemuda tidak tereduksi hanya sekadar untuk datang ke bilik suara.

Namun, upaya untuk menumbuhkan kesadaran dan kesediaan berpolitik anak muda bukan hal yang mudah. Selain ada kecenderungan apatis, akses anak muda terhadap politik praktis juga masih terbatas akibat biaya politik yang tinggi.

Jelang Pemilu 2024, urgensi partisipasi politik anak muda kembali mengemuka. Sebab, mengacu data Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari sekitar 205 juta pemilih sebagian besar berusia di bawah 40 tahun atau kelompok yang masuk dalam kategori milenial dan generasi Z. Namun, berkaca pada sejarah, peran pemuda dalam politik bukanlah hal baru.

Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla dalam diskusi ”Anak Muda untuk Politik”, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (31/7/2023), mengatakan, pergerakan politik sejak masa pra-kemerdekaan diinisiasi oleh anak muda. Meski dilakukan oleh kaum terpelajar yang mengawalinya dengan pembicaraan tentang pendidikan, hal itu ditindaklanjuti dengan pendirian partai politik (parpol) dengan tuntutan-tuntutan yang lebih politis. Pasca-kemerdekaan, gerakan politik anak muda umumnya masih dilakukan oleh kaum terpelajar, yakni para mahasiswa yang sebagian menjadi politisi di kemudian hari, tidak terkecuali dirinya.

”Anda bisa berpolitik lewat LSM segala macam, tetapi tidak bisa dipilih (menjadi pemimpin) kalau tidak lewat parpol. Jika ada sosok-sosok yang baik, tetapi dia tidak masuk parpol, akhirnya tidak bisa dipilih oleh masyarakat,” ujar Kalla saat menyampaikan pidato sebagai pembicara kunci diskusi. Selain Kalla, diskusi juga dihadiri oleh Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Hurriyah, pendiri dan CEO Think Policy Andhyta F Utami, serta Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia Philips J Vermonte sebagai pembicara. Diskusi diikuti oleh anggota Badan Eksekutif Mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi.

Meski begitu, Kalla melanjutkan, ada tantangan tersendiri bagi anak muda untuk aktif di parpol, apalagi yang ingin menjadi pimpinan. Sebab, praktik politik berbiaya tinggi telah menjalar ke proses regenerasi kepemimpinan, terutama di parpol-parpol yang sudah tidak diurus secara langsung oleh pendirinya, contohnya Partai Golkar.

”Sekarang kalau mau jadi Ketua Golkar, minimal harus punya modal Rp 500-Rp 600 miliar. Itu realitas, kecuali parpol-parpol yang pendirinya masih ada,” ungkap mantan Ketua Umum Partai Golkar itu, dilansir Kompas.

Kalla mengingatkan, politik berbiaya tinggi umumnya menjerumuskan sebagian politisi pada tindak pidana korupsi untuk mengembalikan modal awal yang telah dikeluarkan. Oleh karena itu, ia mengimbau kepada anak-anak muda agar tidak menjadikan politik sebagai tujuan karier, tetapi alat untuk menyejahterakan masyarakat.

Philips J Vermonte menambahkan, tingginya biaya politik untuk menjadi pimpinan parpol itu sejalan dengan hasil sensus parpol yang dilakukan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 2015. Saat itu, CSIS menemukan bahwa regenerasi kepemimpinan parpol di daerah sudah berjalan. Hal itu terlihat dari usia pimpinan parpol yang umumnya di bawah 40 tahun.

Namun, jika dilihat lebih lanjut, mayoritas pimpinan parpol berusia muda itu berlatar belakang profesi pengusaha. Hal itu tidak terlepas dari tingginya biaya politik yang harus dikeluarkan untuk menjadi pimpinan parpol. ”Akibatnya yang menjadi ketua partai di daerah-daerah itu ya pengusaha karena mereka yang memiliki modal untuk memobilisasi massa. Artinya, ada soal sistem yang harus kita perbaiki,” kata Philips.

Aktivisme

Hurriyah menambahkan, partisipasi politik anak muda krusial karena mereka adalah bagian dari rakyat atau demos. Hak pilih yang dimiliki rakyat beriringan dengan kewajibannya untuk mengawasi praktik kekuasaan yang terbentuk sebagai hasil dari penggunaan hak pilih mereka. Hal ini juga bukan sekadar siklus lima tahunan jelang pemilu, melainkan juga merupakan hal yang mesti terus-menerus dilakukan mulai dari sebelum, saat pelaksanaan, dan setelah pemilu berlangsung.

Menurut dia, partisipasi politik anak muda bisa dimulai dengan aktivisme. Melalui aktivisme, mereka bisa membangun gerakan di akar rumput untuk memperjuangkan isu-isu yang dipandang penting. Pembangunan gerakan ini pada tingkatan selanjutnya juga bakal menjadi modal sosial yang bisa digunakan untuk menapaki jalan untuk masuk ke politik praktis.

Di tengah politik berbiaya tinggi, kepemilikan modal sosial dan basis massa di akar rumput menjadi penting. Hal itu merupakan bekal anak muda agar memiliki posisi tawar di hadapan parpol. Dengan begitu, ada alternatif yang bisa dijajaki untuk memasuki politik tanpa mengeluarkan modal finansial besar, yang umumnya tak dimiliki anak muda.

”Kalau memang tak bisa masuk ke politik praktis lewat jalur darah biru, bisa masuk melalui jalur lain, misalnya popularitas. Tapi, bukan popularitas semata, popularitas karena aktivisme yang dilakukan dengan membangun gerakan akar rumput,” ujar Hurriyah.

Kesenjangan

Andhyta F Utami mengatakan, anak muda memiliki kesadaran yang tinggi akan isu-isu politis yang berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari mereka. Beberapa hal yang menjadi perhatian di antaranya persoalan korupsi, kerusakan lingkungan, kesehatan, polusi udara, lapangan pekerjaan, dan perubahan iklim. Akan tetapi, kesadaran itu belum ditindaklanjuti dengan aksi yang produktif terkait dengan proses politik yang terkait dengan sejumlah permasalahan tersebut.

Menurut Andhyta, kesenjangan itu salah satunya disebabkan adanya kekurangan informasi mengenai alasan mengapa proses politik berpengaruh terhadap isu-isu tersebut. Tanpa pemahaman itu, keresahan terhadap suatu permasalahan memang akan sekadar menjadi keresahan tanpa tindak lanjut yang bisa mengubah kebijakan terkait. Oleh karena itu, pihaknya mengembangkan platform bijakmemilih.id, yang berisi tentang sejumlah isu krusial bagi anak muda yang dilengkapi pendalaman serta penyikapan setiap parpol terhadap isu tersebut.

”Kami ingin mengajak orang muda berpikir ke level yang lebih sistemik. Kita harus punya pengetahuan tentang partai, tentang isu yang mau dikedepankan, sehingga partisipasi politik tidak berhenti di pemungutan suara, setelah itu setiap ada rancangan undang-undang yang dikeluarkan kita terbiasa untuk membahasnya,” kata Andhyta. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.