Kebutuhan Membangun SDM TNI yang Profesional
JAKARTA – Tentara Nasional Indonesia yang pada Kamis (5/10/2023) ini berusia 78 tahun dituntut untuk mampu membangun sumber daya manusia atau SDM yang profesional. Hal itu untuk menjawab pesatnya perkembangan teknologi yang menuntut prajurit menguasai siber dan alat utama sistem persenjataan nirawak. Demikian pula untuk menjawab dinamika masyarakat, ketersediaan anggaran, kebijakan politik, serta kondisi obyektif organisasi TNI.
Dari sisi organisasi, hingga kini struktur TNI membutuhkan sekitar 600.000 personel. Namun, faktanya, anggota TNI yang ada sekitar 450.000. Kondisi ini membuat organisasi tidak berfungsi optimal karena banyak jabatan yang kosong, tetapi juga banyak jabatan yang dirangkap. Apalagi, TNI tetap menerapkan kebijakan zero growth atau pertumbuhan nol, menyebabkan jumlah personel yang direkrut dan pensiun pun nyaris sama, yaitu sekitar 11.000-12.000 per tahun.
Adanya kekosongan organisasi hingga 25 persen itu menjadi dilema bagi TNI, baik di matra Angkatan Darat, Angkatan Udara, maupun Angkatan Laut. Direktur Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementerian Pertahanan Hendy Antariksa, beberapa waktu lalu, mengungkapkan, kebutuhan organisasi yang tidak terpenuhi ini di satu sisi memang bisa membuat mutasi prajurit menjadi fleksibel. Ia memberikan contoh, jika ada satu personel dimutasi, bisa mengakibatkan mutasi berantai di bagian lain. Dengan organisasi yang tidak terlalu padat, TNI bisa melakukan reorganisasi secara lebih mudah.
Di sisi lain, TNI masih menghadapi kondisi belum terdistribusinya personel secara proporsional di setiap level sehingga membuat banyak perwira menengah yang tidak menduduki jabatan, padahal usia dan kemampuannya masih produktif. Padahal, secara alamiah, organisasi akan berbentuk piramida, yakni personel dalam jumlah banyak dibutuhkan di dasar piramida dan semakin ke atas jumlah personel untuk mengisi organisasi semakin sedikit.
Menyiapkan mental prajurit
Lebarnya rentang tugas seorang prajurit TNI juga menjadi tantangan tersendiri untuk menyiapkan kondisi psikologis prajurit. Pada dasarnya, seorang personel militer adalah alat kekerasan negara. Oleh karena itu, seorang prajurit TNI dipersiapkan untuk berada dalam situasi membunuh atau dibunuh. Namun, lebarnya rentang tugas serta realitas hubungan dengan masyarakat membuat seorang prajurit TNI harus bisa menyeimbangkan agresivitas dan nalar, termasuk kesadaran hukum.
Kepala Pusat Psikologi TNI Marsekal Muda Wiwin Handayani mengatakan, karakter prajurit TNI yang dibutuhkan untuk pasukan khusus itu berbeda dengan untuk pasukan perdamaian dalam misi-misi PBB. Seorang sosok anggota pasukan khusus juga tidak terbangun dalam waktu singkat, tetapi sudah dipantau sejak baru masuk, disiapkan, diseleksi, dan didampingi. ”Idealnya, setiap prajurit TNI itu bisa dipantau kondisi psikologinya,” kata Wiwin.
Ia mengakui, adanya berbagai keterbatasan termasuk jumlah personel dan metode membuat tidak semua prajurit TNI bisa diketahui kondisi psikologisnya secara terus-menerus. Ia mengatakan, secara teori, sistem yang ada saat ini tingkat keberhasilannya rata-rata 90 persen. Apalagi, saat ini ada kecenderungan kekhasan generasi muda yang cenderung kurang militansinya.
Meski demikian, kata Wiwin, pihaknya tetap bersandar pada prinsip SDM TNI yang harus tanggap atau cerdas, tanggon atau militan dan trengginas atau prima secara fisik. Ketiga karakter itu yang terus dijaga dalam membina SDM TNI. ”Di tiap jenjang pendidikan, tiga karakteristik ini tetap ada dalam metode yang berbeda-beda,” kata Wiwin.
Kemajuan alat utama sistem persenjataan (alutsista) juga berpengaruh terhadap kesiapan personel. Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan TNI Letnan Jenderal Eko Margiyono mengatakan, perkembangan alutsista turut mengakibatkan perubahan pada taktik dan teknis, seperti kebutuhan prajurit TNI yang ahli di bidang siber.
Untuk itu, menurut dia, Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan TNI (Kodiklat TNI) mau tidak mau harus membuat kurikulum yang sesuai dengan perkembangan teknologi alutsista yang digunakan TNI. Salah satu caranya adanya syarat transfer pengetahuan selain transfer teknologi setiap Indonesia membeli senjata.
Namun, ia mengungkapkan, sudah banyak anggota TNI yang dikirim ke luar negeri untuk belajar siber dan nirawak. Walakin, lanjutnya, program-program spesialisasi yang tersedia belum banyak terkait teknologi. (KOM)