Kejaksaan Tindak Meminta Keterangan Keluarga Korban Peristiwa Paniai
- Masyarakat Sipil Pertanyakan Penyidikan Kejagung
JAKARTA – Proses penyidikan perkara dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang berat di Paniai tahun 2014 oleh Jaksa Agung dipertanyakan masyarakat sipil ataupun aktivis hak asasi manusia dari Papua. Sebab, meski Kejaksaan Agung menyatakan telah memeriksa puluhan saksi, termasuk masyarakat sipil, keluarga korban ataupun korban dari peristiwa Paniai sama sekali tidak pernah diminta keterangan oleh tim penyidik.
”Ini sudah menunggu 7 tahun, baru dilakukan penyidikan. Sampai saat ini, tim Jaksa Agung tidak pernah bertemu dengan korban dan keluarga korban. Kami tanya keluarga korban, apa sudah ada tim dari Jakarta yang ketemu? Mereka bilang sampai saat ini belum pernah bertemu,” kata aktivis HAM dari wilayah Pegunungan Tengah, Papua, Yones Douw, dalam jumpa pers bertajuk ”Penyidikan Kejahatan HAM Berat Paniai: Penuh Kejanggalan dan Belum Terlihat Serius”, Senin (28/3/2022).
Menurut Yones, pada dasarnya, keluarga korban dan korban sudah bosan menunggu janji pemerintah untuk melakukan penegakan hukum terhadap peristiwa Paniai yang terjadi pada 2014 tersebut. Sebab, selama sekitar tujuh tahun, mereka telah menyaksikan hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas peristiwa Paniai hanya bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung.
Di sisi lain, lanjut Yones, hukum adat atau budaya di sana mengharuskan jika terjadi suatu peristiwa, misalnya pembunuhan, pada hari itu juga dilakukan pengakuan oleh pelaku. Demikian pula kepercayaan adat juga melarang dilakukannya otopsi terhadap jenazah. Dengan berlarutnya penanganan perkara itu, korban dan keluarga korban menjadi tidak percaya dengan janji penegakan hukum terhadap peristiwa itu.
Ketidakpercayaan tersebut semakin menebal karena masyarakat menyaksikan berbagai peristiwa kekerasan, pembunuhan, dan penghilangan orang, seperti kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani, tidak kunjung diproses hukum. Sementara itu, dalam kasus pelanggaran HAM berat yang sampai ke pengadilan, yakni Peristiwa Abepura, sama sekali tidak ada pelaku yang dihukum. Bahkan, para terduga pelaku tersebut justru naik pangkat.
”Jadi, keluarga korban punya pengalaman pahit. Meski dikasih naik ke pengadilan, tapi tidak tetap (pelakunya) naik pangkat. Dalam proses hukum pun tetap masyarakat Papua di pihak yang kalah. Itu pengalaman yang kami alami, kami orang Papua tetap selalu di pihak yang lemah,” kata Yones.
Yones juga mempertanyakan klaim Kejaksaan Agung yang menyatakan telah memeriksa puluhan saksi dengan 8 orang di antaranya masyarakat sipil. Sebab, hingga saat ini, keluarga korban meninggal ataupun korban yang dulu terluka dalam peristiwa itu mengaku sama sekali tidak dihubungi, apalagi diperiksa.
Kepala Pemantauan Divisi Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Tioria Pretty berpandangan, sejak awal tim penyidik dibentuk Jaksa Agung, Kontras pernah berkirim surat kepada Kejaksaan Agung untuk menanyakan istilah ”penyidikan umum” yang digunakan terhadap Peristiwa Paniai. Namun, surat balasan tidak sesuai harapan.
Kontras menilai, tidak diperiksanya keluarga korban dan korban justru dalam penyidikan tersebut memperlihatkan kejanggalan. Padahal, jaksa adalah wakil negara yang mewakili kepentingan korban.
Menurut Tioria, pernyataan Kejaksaan Agung bahwa akan segera mengumumkan tersangka Peristiwa Paniai menjadi momen untuk melihat kesungguhan penyidikan Jaksa Agung. Sebab, mengutip Komnas HAM, jumlah terduga pelaku dalam Peristiwa Paniai yang menewaskan 4 orang remaja tersebut adalah 41 orang. Selain pelaku lapangan, tersangka seharusnya juga berasal dari pucuk pimpinan.
”Ini menjadi momen untuk melihat hasil penyidikan selama 3 bulan terakhir. Benarkan itu pelaku lapangan dan pengambil kebijakan (dijadikan tersangka)?” ujar Tioria.
Zaky Yamani dari Amnesty International Indonesia berpandangan, proses penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap Peristiwa Paniai cenderung tertutup. Sementara, tim penyidik tidak mengikutsertakan unsur masyarakat meskipun dimungkinkan menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tidak adanya keluarga korban dan korban yang diminta keterangan semakin menimbulkan pertanyaan terhadap jalannya penyidikan.
Menurut Zaky, seandainya perkara tersebut dapat diproses, ditetapkan tersangkanya dan dibawa ke pengadilan, maka hal itu diharapkan dapat membuka jalan bagi penuntasan peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya. Selain itu, Kejaksaan Agung juga diharapkan tidak hanya sekadar membawa pelaku ke meja pengadilan, tetapi juga harus sampai dipidana, bukan dibebaskan.
”Kekhawatiran saya sama, kalau nanti mau ditetapkan tersangka, apakah ini hanya membawa pelaku lapangan atau bisa sampai ke pucuk pimpinan. Karena dengan banyaknya unsur yang terlibat saat peristiwa terjadi, apakah mestinya ada kebijakan dari atas,” kata Zaky.
Saat dikonfirmasi, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana tidak merespons pertanyaan yang dikirimkan. Namun, Jumat (25/3/2022), Ketut menyampaikan bahwa penyidik telah melakukan ekspose terhadap perkara dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai 2014 dan akan segera menetapkan tersangka pada awal April 2022.
Selama 3 bulan sejak tim penyidik dibentuk, 61 saksi telah diperiksa. Mereka terdiri dari 6 orang saksi ahli, 8 orang merupakan masyarakat sipil, 24 orang dari unsur TNI, 17 orang dari unsur kepolisian, dan 6 orang merupakan bagian dari tim investigasi yang dibentuk Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. (KOM)