NASIONAL

Kekerasan Berulang Berujung Maut

JAKARTA – Benny Erikson Siagian dan keluarga hingga kini masih menunggu hasil autopsi jenazah kakaknya, Freddy Nucolaus Andi S. Siagian, dari Rumah Sakit Polri Kramatjati, Jakarta. Freddy meninggal di rumah sakit itu pada 13 Januari lalu. Selain karena menderita penyakit, pria berusia 41 tahun tersebut dirawat di rumah sakit diduga akibat penyiksaan dan kekerasan polisi saat meringkuk di sel Kepolisian Resor Jakarta Selatan.

Keluarga meminta rumah sakit mengautopsi jenazah tak lama setelah mendapat kabar kematian Freddy pada Januari lalu. Mereka penasaran karena banyak bekas luka di tubuh almarhum. “Karena saat kami melihat jenazahnya terdapat banyak bekas luka benda tumpul,” kata Benny, Selasa (28/6/2022).

Polisi menangkap Freddy di Bali pada 16 Desember 2021. Dia dituduh masuk dalam jaringan peredaran narkotik. Sepekan setelah proses penangkapan, keluarga baru mengetahui bahwa Freddy ditahan di Kepolisian Resor Jakarta Selatan. Keluarga yang berada di Medan, Sumatera Utara, langsung meminta kerabat mereka yang berada di Jakarta untuk membesuk Freddy.

Saat dibesuk, kerabat Benny memberi tahu bahwa terdapat banyak luka lebam di tubuh korban. Selama ditahan, Freddy bercerita bahwa ia mendapat penyiksaan dari polisi yang memeriksanya.

Kondisi kesehatan Freddy selama di sel semakin menurun. Sebelum ditahan, ia menderita penyakit jantung dan terinfeksi human immunodeficiency virus (HIV).

Pada 10 Januari lalu, dia dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan. “Cuma masuk rumah sakit sehari, tapi tidak dirawat,” ujar Benny.

Dua hari setelahnya, kata Benny, Freddy kembali menjalani perawatan di rumah sakit. Keluarga kembali meminta kerabat mereka di Jakarta untuk membesuknya. Saat dibesuk, Freddy kembali menceritakan bahwa dirinya disiksa oleh polisi. Ia juga dimintai uang sebesar Rp 15 juta sebagai biaya kamar selama mendekam di sel Polres Jakarta Selatan.

“Karena tidak bisa bayar, dia cerita terus disiksa polisi. Dia menelepon sudah tidak tahan disiksa karena tidak bisa bayar,” kata Benny. “Kami punya rekaman pengakuan Freddy saat ditelepon karena kami rekam.”

Pada 13 Januari lalu, Freddy dinyatakan meninggal. Setelah mendapat informasi itu, pada hari yang sama, kata Benny, keluarga bergegas meminta rumah sakit mengautopsi jenazah Freddy. Mereka merasa ada kejanggalan yang menjadi penyebab kematian Freddy.

Satu hari berikutnya, keluarga meminta hasil autopsi tersebut. Namun polisi tak juga menyerahkan hasil autopsi Freddy hingga kini. “Sudah berkali-kali kami minta. Kuasa hukum sudah tiga kali datang dan saya telah sering menelepon, tapi sampai sekarang belum juga diberikan hasil autopsi itu,” ucap Benny.

Keluarga, kata dia, menuntut polisi terbuka dan bertanggung jawab atas kematian Freddy. Sebab, sebelum ditahan, kondisi korban masih sehat. Menurut Benny, kesehatan Freddy semakin menurun karena penyiksaan yang diduga dilakukan polisi. “Bukti bekas penyiksaan itu kami juga bisa perlihatkan dari foto jenazahnya,” katanya.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyimpulkan kasus Freddy merupakan satu contoh dari 13 korban tewas yang diduga akibat penyiksaan polisi dalam periode satu tahun terakhir. Wakil Koordinator Kontras, Rivanlee Anandar, mengatakan institusi kepolisian selalu menempati tempat tertinggi sebagai aktor dominan dalam penyiksaan serta perlakuan keji dan tidak manusiawi lainnya.

Kontras mencatat angka penyiksaan terhadap masyarakat oleh penegak hukum dalam kurun waktu Juni 2021 hingga Mei 2022 mencapai 50 kasus. Dari angka itu, pelaku penyiksaan dari 31 kasus adalah polisi. Sedangkan pelaku penyiksaan lainnya adalah tentara dan sipir penjara, masing-masing 13 dan 6 kasus.

Data penyiksaan tersebut terangkum dalam kajian tahunan Kontras yang berjudul “Negara sebagai Aktor Utama di Balik Berlanjutnya Praktik Penyiksaan”. “Setiap tahun, kasus penyiksaan oleh aparat selalu ditemukan. Artinya, tidak ada perbaikan serius dari institusi negara untuk fenomena penyiksaan,” kata Rivanlee.

Sesuai dengan catatan Kontras, masyarakat sipil yang meninggal akibat penyiksaan oleh penegak hukum dalam setahun terakhir sebanyak 18 orang.

Berdasarkan data Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT), kata Rivanlee, sedikitnya terdapat empat alasan penyiksaan. Pertama, untuk memperoleh pengakuan atau keterangan. Kedua, sebagai bentuk penghukuman. Ketiga, intimidasi dengan ancaman dan paksaan. Keempat, untuk alasan yang diskriminatif. Tapi secara umum, kata dia, terdapat dua motif penyiksaan dalam setahun terakhir, yaitu untuk meminta pengakuan dan penghukuman.

“Kami menemukan terdapat 32 peristiwa penyiksaan bermotif untuk meminta pengakuan, sedangkan 18 lainnya bermotif penghukuman,” ujarnya.

Rivanlee menyebutkan kekerasan yang dilakukan aparat negara masih terus terjadi karena akar permasalahan tersebut belum dihilangkan. Praktik kekerasan masih dilakukan polisi ataupun tentara karena kultur itu tidak pernah dihilangkan sejak masa pendidikan. Kondisi tersebut berimplikasi ketika mereka bertugas di lapangan.

Penyebab lain sehingga kekerasan masih kerap terjadi, kata dia, adalah metode pemberian sanksi yang tidak maksimal yang membuat pelaku tak jera. Akibatnya, penyiksaan oleh penegak hukum terus berulang. “Mekanisme pengawasan juga tidak berjalan dengan baik, seperti pengawasan antar-satuan tingkatan, mekanisme pengawasan dari lembaga eksternal, serta pencegahan praktik penyiksaan juga tidak dibentuk,” ujar Rivanlee.

Kultur Kekerasan Terbentuk Sejak Pendidikan

Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, menguatkan kesimpulan Kontras. Menurut Sugeng, tindak kekerasan oleh polisi tidak pernah hilang karena praktik tersebut tumbuh sejak masa pendidikan sebagai anggota Polri. “Pelaku kekerasan oknum Polri harus ditindak keras, selain PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat), juga pidana umum agar dapat ditekan praktik kekerasan ini,” kata dia.

Sugeng menilai jargon presisi dan humanis Polri kembali tercoreng sejak awal 2022. Ia mencontohkan sejumlah praktik kekerasan yang dilakukan polisi hingga menyebabkan korban tewas. Misalnya, tiga kasus penganiayaan hingga mengakibatkan korban tewas dilakukan oleh anggota Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan. Teranyar, seorang tahanan bernama Ari Putra meninggal di Polres Empat Lawang, Sumatera Selatan, pada 21 Juni lalu. Kepolisian mengklaim penyebab kematian Ari di sel polres itu akibat perkelahian sesama tahanan.

“Kultur kekerasan belum hilang. Kapolri kedodoran memasuki 1 Juli 2022 sebagai Hari Bhayangkara,” katanya.

Sugeng menjelaskan, kultur kekerasan di kepolisian kerap terjadi ketika mengejar pengakuan orang yang ditangkap. Para pelaku biasanya tidak memahami penerapan Peraturan Kepala Polri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penerapan Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

“Implementasi aturan itu dan pengawasannya lemah. Bahkan banyak perwira polisi yang tidak memahami regulasi tersebut dengan baik,” katanya.

Pusat Penerangan TNI tidak berhasil dimintai konfirmasi terkait dengan temuan Kontras tersebut. Adapun Kepala Polres Jakarta Selatan, Komisaris Besar Budhi Herdi Susianto, tak merespons permintaan konfirmasi Tempo berkaitan dengan dugaan tindak kekerasan oleh polisi terhadap Freddy. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, mengakui ada anggota kepolisian yang melakukan kekerasan. Tapi Dedi tidak menyebutkan identitas korban dari kekerasan polisi yang diakuinya tersebut.

Dedi mengatakan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri sudah mengevaluasi tindak kekerasan polisi di lapangan. “Yang terbukti bersalah sudah diproses. Kami tindak tegas siapa pun yang terbukti bersalah. Propam tegas terkait dengan kasus-kasus kekerasan tersebut,” kata dia. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.