Ketika Perang Konten Politik Kian Marak
JAKARTA — Masih sekitar 150 hari menjelang Pemilihan Presiden 2024, tetapi perang konten digital yang bermuatan aktivitas maupun pesan dari partai dan elite politik semakin terasa. Konten dalam bentuk tayangan televisi hingga video pendek di sosial media berseliweran dan sering kali membangkitkan komentar warganet. Ini memunculkan pertanyaan, sejauh mana perang konten dapat dibiarkan agar tak mencederai semangat demokrasi?
Berdasarkan aturan Komisi Pemilihan Umum melalui PKPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang kampanye Pemilu 2024, jadwal kampanye Pemilu 2024 dilaksanakan pada 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024. Kampanye ini diikuti masa tenang pada 11-13 Februari 2024. Lalu, pemungutan suara serentak pada 14 Februari 2024.
Meski masa kampanye resmi belum dimulai, sudah ada sejumlah gambar dan tayangan video bermuatan politik yang disiarkan di televisi, media cetak, hingga platform digital. Konten-konten itu menampilkan lambang dan warna partai, serta wajah elite politik. Meski kampanye sebelum waktunya dilarang, KPU membolehkan peserta pemilu untuk melakukan sosialisasi sebelum masa kampanye dimulai.
Setidaknya ada dua konten politik yang sempat viral sepekan terakhir. Pertama, kemunculan bakal calon presiden Ganjar Pranowo dalam tayangan azan di salah satu stasiun televisi swasta. Kedua, video Tiktok yang menunjukkan tayangan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan membagi-bagikan uang kepada nelayan.
Dalam tayangan video pertama, Ganjar Pranowo terlihat wudu kemudian menjalani shalat berjemaah di sebuah masjid. Bakal calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tersebut mengenakan peci hitam, sarung, dan baju koko putih.
Sejak tayangan itu muncul, netizen langsung ramai membicarakannya. Ada yang menduga Ganjar sedang melakukan politik identitas karena menonjolkan unsur agama yang dapat memengaruhi pilihan masyarakat. Ada pula warganet yang menilai cara Ganjar wudu tanpa menyingsingkan lengan baju tak sesuai mazhab.
Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto menampik tuduhan itu. Ia meyakini bahwa tayangan video itu hanya memperlihatkan kehidupan spiritualitas Ganjar. ”Pak Ganjar Pranowo ini sosok yang religius. Religiositasnya tidak dibuat-buat,” ujarnya dilansir dari Kompas.com, Sabtu.
Video Zulkifli Hasan juga menjadi perbincangan warganet. Video Zulkifli Hasan membagi-bagikan uang Rp 50.000 kepada sejumlah nelayan itu diunggah oleh akun Tiktok @amanat_nasional. Video diiringi oleh mars kemapanan dengan tulisan ”Pan, Pan, Pan, Bagi-bagi Gocapan”.
Sama seperti tayangan video Ganjar yang mencuri perhatian masyarakat, video Zulkifli Hasan juga memunculkan perbincangan di dunia maya. Zulkifli Hasan dinilai sedang melakukan politik uang dan ”serangan fajar”. Pada Juli lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi telah secara resmi merilis kampanye ”Hajar Serangan Fajar” yang merupakan seruan kepada seluruh masyarakat untuk menolak, menghindari, dan membentengi diri dari godaan politik uang dalam kontestasi pemilu.
Zulkifli Hasan menampik sedang melakukan politik uang. Menurut Zulkifli, ia sedang bersedekah. ”Saya ini kan bukan caleg, capres, cawapres, kampanye juga belum. Ini sedekah saja,” katanya ketika diwawancarai oleh wartawan.
Taktik komunikasi
Taktik berkomunikasi politik melalui media massa bukanlah hal baru. Kalau pada pemilu sebelumnya wacana politik sebagian besar dibangun di media mainstream, seperti televisi dan surat kabar, kini konten politik juga menyasar ranah digital. Bagai gayung bersambut konten ditanggapi oleh orang Indonesia yang terbiasa berekspresi secara daring.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Muchamad Ali Safaat mengingatkan bahaya media sosial yang dapat membuat masyarakat terpolarisasi. ”Wilayah medsos itu menjadi agenda bersama, yang (penggunaannya) belum tentu berada di bawah struktur partai,” katanya dalam diskusi ”Keberagaman Menjadi Kekuatan Wujudkan Pemilu Bersih” di Bandung, Jawa Barat, Selasa (13/9/2023).
Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia telah mencapai 78,19 persen pada 2023 atau menembus 215.626.156 jiwa dari total populasi. We are Social (2018) menyebutkan, rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan waktu 3 jam 23 menit di media sosial.
Ali Safaat mengatakan, seiring semakin sempitnya perbedaan antara ruang privat dan publik, pembicaraan-pembicaraan warganet rentan memicu konflik. ”Setiap pagi kalau kita membuka grup Whatsapp sudah berseliweran 300-400 pesan. Sumbernya Youtube, tidak tahu akun siapa, tidak terverifikasi,” kata Ali Safaat.
Untuk mencegah polarisasi, perlu kerja sama semua pihak, mulai dari masyarakat, partai politik, dan penyelenggara pemilu, untuk menangkal penyebaran hoaks, misinformasi, serta peyorasi yang mendiskreditkan kelompok lain. Ia juga mendorong ada efek jera bagi pihak-pihak yang menyebarkan berita bohong. (KOM)