KIP Sebut Ada Tiga Pendekatan Keterbukaan Informasi Publik di Indonesia
JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Arya Sandhiyudha menyebut terdapat tiga pendekatan keterbukaan informasi publik di Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa tiga pendekatan tersebut telah diadopsi ke dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
“Pertama adalah pendekatan-pendekatan kehati-hatian yang di situ sebenarnya kalau dalam proses sejarah tadi mengadopsi Rancangan Undang-Undang tentang Rahasia Negara,” katanya saat menjelaskan sejarah singkat UU KIP di Kantor KIP, Jakarta, seperti dilansir dari Antara, Kamis (18/7/2024).
Ia menjelaskan bahwa saat UU KIP masih berupa RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (RUU KMIP), maka penyusunannya memasukkan bagian dari RUU Rahasia Negara.
“Seingat saya, waktu itu prolegnas (program legislasi nasional), RUU KMIP itu urutannya urutan ketujuh, di bawah RUU Rahasia Negara, tetapi RUU Rahasia Negara yang urutan keenam malah enggak jadi. Akhirnya, dia malah diadopsi sebagai satu bagian dalam nomenklatur informasi yang dikecualikan kalau di undang-undang (UU KIP),” jelasnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pendekatan kehati-hatian tidak hanya digunakan Indonesia, tetapi negara-negara yang mempunyai sistem pengamanan nasional yang lebih kuat turut menggunakannya.
“Pendekatan kedua dari tiga yang ada dalam keterbukaan informasi publik, biasanya transparent and crucial focus approach. Ini biasanya di negara-negara yang kultur demokrasinya kuat sudah sangat lama. Mayoritas negara Eropa misalnya seperti itu,” ujarnya.
Terakhir, kata dia pendekatan keterbukaan informasi publik yang mengharuskan cepat dan murah. Menurut dia, pendekatan itu lebih banyak diadopsi untuk kepentingan bisnis.
Sebelumnya, KIP tengah menyusun buku mengenai kajian sejarah UU KIP. Komisioner Bidang Penelitian dan Dokumentasi KIP Rospita Vici Paulyn menjelaskan, penyusunan buku tersebut diperlukan seiring dengan perjalanan panjang menuju keterbukaan informasi publik telah ditempuh lebih dari satu dasawarsa, tetapi catatan resmi yang menggambarkan berbagai peristiwa bersejarah, terutama terkait keberadaan KI, masih terbatas.
“Oleh karena itu, penting bagi KI Pusat untuk menyusun berbagai potongan sejarah dan kajian agar dapat menjadi bahan pelajaran bagi generasi selanjutnya,” kata Rospita di Kantor KI Pusat, Jakarta, Kamis.
Berdasarkan naskah UU KIP, disebutkan bahwa peraturan tersebut disahkan pada 30 April 2008 oleh Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia pada saat itu, yakni Andi Mattalatta. (ant/pbn)