Label Hoaks Mengancam Jurnalistik
JAKARTA – Indeks kebebasan pers di Indonesia disebut memburuk. Kekerasan, intimidasi, hingga ancaman di dunia digital menjadi hal yang mempengaruhi semakin cacatnya ruang gerak pers. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim, mengatakan tren kekerasan terbaru yang patut menjadi perhatian adalah pelabelan hoaks terhadap produk jurnalistik.
Menurut Sasmito, pelabelan ini dilakukan oleh publik dan kelompok-kelompok tertentu di ruang digital yang berujung pada ancaman terhadap media ataupun wartawannya. “Belum lagi kasus memata-matai wartawan yang dilakukan aparat,” kata Sasmito, Senin (9/5/2022).
Menurut Sasmito, ancaman terbesar yang masih menghantui pekerja di industri ini adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sepanjang 2021, setidaknya ada tiga wartawan yang divonis bersalah dalam kasus UU ITE. Mereka divonis 3-6 bulan penjara karena melakukan kerja jurnalistik.
Ancaman terhadap kebebasan pers ini tampaknya semakin relevan saat dunia merayakan Hari Kebebasan Pers Dunia pada Selasa pekan lalu. Dalam perayaan itu, organisasi nirlaba Reporters Without Borders (RSF) mengeluarkan indeks kebebasan pers dunia. Berdasarkan data tersebut, skor Indonesia turun dari 62,60 pada 2021 menjadi 49,27 pada tahun ini. Indonesia, yang tahun lalu berada pada peringkat ke-113 dari total 180 negara, merosot ke peringkat ke-117. Skor ini lebih buruk dari Thailand, Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste.
Indeks ini dikumpulkan dari hasil wawancara para ahli. Ada lima indikator yang menjadi penentu, yakni konteks politik, hukum, ekonomi, keamanan, dan sosiokultural. Dalam konteks hukum, laporan RSF itu menyebutkan UU ITE masih menjadi salah satu regulasi yang mengancam kerja pers di Indonesia. Banyaknya tekanan pemerintah terhadap pemberitaan Covid-19 yang bernada kritik terhadap presiden juga menjadi penyebab skor yang memburuk itu.
Pemberitaan tentang topik-topik tertentu, seperti ihwal kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang masih dianggap tabu, menjadi salah satu faktor lainnya. Jurnalis yang menginvestigasi kasus korupsi lokal juga sering menghadapi intimidasi dari aparat keamanan. Salah satunya Nurhadi, wartawan Tempo, yang dianiaya anak buah pejabat Direktorat Jenderal Pajak pada Maret 2021 saat berusaha meminta konfirmasi dari pejabat itu ihwal kasus korupsi yang tengah ia investigasi.
Direktur Operasi dan Kampanye RSF, Rebecca Vincent, mengatakan, berdasarkan analisis tren kebebasan pers di 180 negara, RSF menyoroti fenomena kekacauan berita dan informasi di dunia daring. Meski menyebabkan demokratisasi informasi, hal itu juga menyebabkan munculnya hoaks dan propaganda. “Banyak negara di Asia-Pasifik yang juga terkekang oleh kontrol kepemilikan media yang menyebabkan jurnalis menyensor diri,” kata dia.
Ancaman serupa diutarakan UNESCO, organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bergerak di bidang pendidikan, sains, dan budaya. Lembaga ini menilai kerja jurnalistik semakin terkepung efek negatif teknologi digital. Dari pengintaian oleh pemerintah, koleksi data digital yang melanggar ranah privasi, hingga perundungan siber. “Hal ini tidak hanya mengancam jurnalis, tapi juga para narasumber yang perlu dilindungi karena berstatus whistleblower,” kata George Awad dari UNESCO Beirut, seperti dituliskan 360Info.
Sepanjang 2021, AJI Indonesia mencatat terdapat 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kasus terbanyak adalah teror dan intimidasi, kekerasan fisik, serta penuntutan hukum. Ada pula kasus serangan digital. Dari kasus-kasus tersebut, polisi menjadi pelaku terbanyak dengan 12 kasus. Pelaku lainnya adalah pesuruh, pegawai pemerintah, pegawai swasta, dan warga sipil.
Meski temuan lembaga global seperti RSF menyebutkan indeks kebebasan pers Indonesia memburuk, temuan lembaga nasional menyebutkan indeks tersebut membaik. Dalam indeks kebebasan pers (IKP) yang dikeluarkan Dewan Pers pada 2021, skor IKP nasional adalah 76,02. Angka ini naik dibanding skor pada 2020, yaitu 75,27. Meski demikian, pers belum sepenuhnya bebas. Kekerasan terhadap wartawan hingga ancaman serangan digital masih dialami jurnalis.
Pengamat komunikasi dan politik dari Universitas Airlangga, Dina Septiani, menyatakan masih adanya ancaman terhadap kerja jurnalistik menjadi penyebab skor IKP Indonesia buruk dibandingkan dengan negara-negara lain menurut data RSF. Berkembang pesatnya informasi di dunia digital menyebabkan publik semakin terdistorsi. Akibatnya, kinerja jurnalistik dan kebebasan pers juga mendapat efek negatif. “Dulu media bisa mempengaruhi publik. Sekarang algoritma malah menyebabkan distorsi persepsi publik atas isu penting,” ujar Dina, seperti dikutip dari 360info. (TMP/PBN)