Maklumat Keprihatinan Para Tokoh terhadap Putusan MK
JAKARTA – Hanya satu jam setelah Mahkamah Konstitusi membacakan putusan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ratusan orang dari berbagai kalangan, yakni guru besar, agamawan, budayawan, pegiat literasi, pegiat antikorupsi, pemerhati hak asasi manusia, tokoh pendidikan, wartawan, seniman, dan lapisan masyarakat berkumpul di Malacca Toast, Jalan Juanda, Jakarta, Senin (16/10/2023) sore.
Mereka menyampaikan keprihatinan dan kekecewaan atas putusan MK yang dinilai melanggengkan politik dinasti di Indonesia.
MK telah membacakan putusan uji materi Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Almas Tsaqibbiru Re A dengan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam putusannya, MK menyatakan, seseorang yang belum berusia 40 tahun, tetapi pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, bisa maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.
Atas putusan itu, ratusan tokoh membacakan maklumat keprihatinan serta menyikapi situasi politik dan demokrasi di Indonesia. Pembacaan maklumat dipimpin Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid yang diikuti Erry Riyana Hardjapamekas, Danang Widoyoko, Profesor Sulistyowati Irianto, Faisal Basri, Henny Supolo, Nia Sjarifudin, dan tokoh lainnya. Maklumat itu ditandatangani oleh 215 tokoh dari berbagai kalangan profesi dan unsur masyarakat. Mereka bersama-sama menyerukan reformasi dan pemulihan demokrasi.
”Reformasi kembali ke titik nol. Mundurnya Reformasi ditandai dengan merosotnya demokrasi dan diperburuk oleh fenomena politik dinasti. Reformasi dan demokrasi yang kita tegakkan bersama dalam 25 tahun terakhir dikhianati,” ucap para tokoh yang hadir, termasuk Usman, juru bicara maklumat.
Mereka menilai prosedur demokrasi disalahgunakan untuk memfasilitasi oligarki yang lama mengakar di era rezim Soeharto. Kedaulatan rakyat seperti disingkirkan, ruang publik dipersempit, lembaga antikorupsi dilemahkan, dan kekuatan eksekutif ditebalkan. Penyelesaian pelanggaran HAM berat juga berhenti di ranah non-yudisial dan terhalang oleh kompromi politik jangka pendek. Politik dinasti juga terasa kental ketika presiden menyalahgunakan kekuasaan yang sedang dipegangnya untuk mengistimewakan keluarga sendiri.
”Anak-anaknya yang minim pengalaman dan prestasi politik menikmati jabatan publik maupun fasilitas bisnis yang tak mungkin didapat tanpa status anak kepala negara atau anak presiden yang berkuasa,” ujar Usman.
Selain itu, mereka menganggap presiden terus bermanuver untuk menentukan proses Pemilu 2024. Hal itu ditandai dengan menggandeng kubu politik untuk menjamin masa depan sendiri dan dinasti keluarga. Mereka mendesak agar pemimpin bangsa, terutama presiden, memberikan teladan kepada masyarakatnya. Mereka juga meminta agar politik di Indonesia diperuntukkan untuk kedaulatan rakyat.
”Kami mendesak para pemimpin bangsa, terutama Presiden Jokowi, agar memberi teladan dan bukan memberi contoh buruk memperpanjang kebiasaan membangun kekuasaan bagi keluarga,” ucap Usman.

Hukum jadi alat meraih kekuasaan
Menurut Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, putusan MK tersebut menandakan hukum sudah digunakan sebagai alat meraih kekuasaan dan mendapatkan hak keistimewaan. Mereka itu terus melanggengkan kepentingannya dan pada akhirnya menguasai akses kepada sumber daya.
”Hari ini kita melihat negara hukum itu dijungkirbalikkan. Kelihatannya sangat elegan dengan analisis hukum yang begitu akademis, tetapi kita tahu ujungnya dari putusan MK tersebut. Artinya, hukum telah digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan kekuasaan,” tutur Sulistyowati.
Usman menegaskan, hal ini bukan lagi gejala politik dinasti, melainkan sudah menjadi fenomena yang nyata terjadi. Ia menyebut anak presiden sudah menikmati kekuasaan dan menikmati jabatan publik, serta fasilitas bisnis dari kelompoknya. Ia menilai, seharusnya negara melayani kepentingan rakyat. ”Jadi, ini sudah berbahaya untuk demokrasi di Indonesia,” ujar Usman.
Menghalangi sosok berprestasi
Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Danang Widoyoko mengatakan, dampak politik dinasti akan menghalangi sosok-sosok berprestasi, terutama kalangan anak muda yang ingin terjun dalam kontestasi politik. Padahal, iklim demokrasi sudah memberikan kesempatan yang sama bagi semua yang ingin menjadi pemimpin.
”Politik dinasti ini dapat menyebabkan anak muda yang berprestasi tidak akan muncul dalam kontestasi politik. Pilihannya pun jadi terbatas karena yang muncul justru anak dari sosok yang berpengaruh atau yang berkuasa,” kata Danang.
Menurut pengamat politik dan ekonomi, Faisal Basri, untuk memperbaiki masalah yang dihadapi bangsa tersebut adalah dengan memperkuat gerakan masyarakat sipil. Langkah ini yang sedang dilakukan dalam pertemuan pada maklumat keprihatihan.
Sementara itu, mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Erry Riyana Hardjapamekas, menyampaikan, maklumat keprihatinan ini sebagai bentuk rasa sayang kepada presiden oleh masyarakat sipil serta, yang paling utama, untuk nasib bangsa Indonesia. (KOM)