Massa Lintas Elemen Unjuk Rasa Tolak Pengesahan RKUHP
JAKARTA – Massa dari berbagai elemen, seperti organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, dan buruh, berunjuk rasa menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP, di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/12/2022). Mereka menilai KUHP yang baru akan mempersempit ruang demokrasi. Selain itu, pembahasannya pun dinilai masih minim partisipasi masyarakat.
Pengacara publik LBH Jakarta, Citra Referandum, menerangkan, penolakan perlu dilakukan karena pembahasan RKUHP dilakukan dengan cara yang tidak demokratis sehingga menyebabkan banyak pasal yang merugikan masyarakat masuk ke dalamnya. Kehadiran aturan ini juga memudahkan kriminalisasi bagi masyarakat.
”Masyarakat sipil bisa mengakses draf hasil pembahasannya baru beberapa hari yang lalu, pelibatan masyarakat dalam pembahasan RKUHP hanya sekadar sosialisasi bukan paritisipasi,” ucapnya.
Meski RKUHP menurut rencana akan disahkan besok, ia dan aliansi masyarakat sipil lain akan terus memperjuangkan penolakan aturan ini, agar pemerintah mengingat, banyak masyarakat yang dirugikan oleh aturan ini.
Dalam unjuk rasa, massa aksi membentangkan pula berbagai spanduk dengan tulisan protes, seperti ”RKUHP, Persidangan, Hakim=Dewa”, ”Korban Pemerkosaan Dikriminalisasi, Impunitas Langgeng”, dan ”Hukum Mudah Dibeli, Mudah Memiskinkan”. Ada pula spanduk yang ditambatkan di gerbang utama kompleks DPR bertuliskan, ”Tolak RKUHP”.
Taffi Hensan (19), mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang ikut berunjuk rasa, menerangkan, pasal-pasal yang tercantum di RKUHP versi 30 November 2022 berpotensi mengekang kebebasan berpendapat dirinya dan mahasiswa lain di Indonesia. Ia berharap semua mahasiswa ikut menyuarakan protesnya karena menjadi kelompok yang juga dirugikan.
”Contoh saja Pasal 256, disebutkan ketika mengadakan aksi tapi belum ada pemberitahuan kita bisa dipidana penjara enam bulan. Sementara di RKUHP yang lama Pasal 510, itu cuma pidana penjara dua minggu. Itu sudah jelas merugikan kita,” ujarnya.
Di dalam pasal tersebut juga diterangkan, demonstran bisa dipidana apabila aksinya dinilai mengganggu kepentingan umum dan pelayanan publik, yang oleh Taffi dinilai multiinterpretasi. ”Apa itu definisi kepentingan umum? Apabila ada pengguna Transjakarta merasa terganggu ada demonstrasi di jalan, kita bisa dipidana? Ini pasalnya karet banget Mas,” tambahnya.
Perwakilan buruh pun mengungkapkan kekecewaan terkait Pasal 256 itu. Dalam orasinya, Sekretaris Jendral Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Sunarno menerangkan, para pekerja yang kerap mendapat ketidakadilan oleh pengusaha ataupun pemerintah sering mengambil jalan demonstrasi apabila usul dan saran mereka ditolak.
”Kita sering advokasi ke Disnaker atau Pengadilan Hubungan Industrial mengenai ketidakadilan yang kami terima mereka lambat bahkan sering tidak ditanggapi sama sekali, jadi wajar kami sering protes dan demonstrasi. RKUHP ini membatasi ruang kami untuk berpendapat,” ujarnya.
Mengenai saran pemerintah agar masyarakat yang merasa dirugikan untuk mengugat saja aturan ini ke MK, Sunarno ragu. Ia mencontohkan, gugatan masyarakat dan buruh mengenai Undang-Undang Cipta Kerja tahun lalu, yang tidak mendapatkan respons yang tepat.
”Di MK saya ragu mereka akan obyektif, lihat saja UU Ciptaker, walau mereka memutuskan pembentukannya inkonstitusional bersyarat, tetap pasal di dalamnya tetap dijalankan,” tambahnya.
Selain mahasiswa dan buruh, aksi penolakan juga dihadiri kalangan organisasi pemberdayaan perempuan. Jihan Faatihah dari Perempuan Mahardhika menyebut, aturan mengenai living law atau hukum yang hidup di masyarakat, yang tercantum pada Pasal 2 RKUHP Versi 30 November sangat merugikan bagi perempuan.
Adanya aturan living law di Indonesia ini dinilai bisa mencederai hak dan kebebasan perempuan. Pemerintah pun dipandang tidak memiliki perspektif kesetaraan yang luas saat membahas RKUHP ini.
”Ada beberapa daerah yang memiliki perda yang diambil hukum atau nilai di masyarakat yang akhirnya melahirkan aturan seperti aturan cara berpakaian perempuan atau membatasi perempuan tidak boleh pulang malam. Kehadiran RKUHP ini bisa semakin memperkuat aturan-aturan diskriminatif semacam itu,” ujarnya.
Kalangan media yang diwakili Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers juga menyebut RKUHP mencederai demokrasi karena berpotensi menganggu kerja para jurnalis. Pengacara LBH Pers, Gema Gita Persada, menerangkan di Pasal 263 RKUHP, setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan yang diduga berita bohong dan menyebabkan kerusuhan di masyarakat bisa dipidana penjara paling lama empat tahun.
”Ini kan masih unsur patut diduga, belum spesifik berita bohong seperti apa. Jurnalis rentan dikriminalisasi dan ancaman pidana di aturan ini malah bertambah. Kami berharap pengesahan aturan ini bisa dihentikan,” ucapnya. (KOM)