Mencari Petunjuk Lewat Luka
JAKARTA – Luka-luka yang terdapat di tubuh Brigadir Nopriyansyah Josua Hutabarat dinilai bisa menjadi petunjuk untuk mengungkap insiden baku tembak di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo. Namun sejauh ini Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) belum memiliki rencana untuk mengautopsi ulang jenazah Brigadir Josua.
“Yang sedang kami dalami adalah semua informasi yang ada di publik dan kami sandingkan dengan berbagai pengalaman yang pernah kami lalui, salah satunya terkait dengan luka,” kata komisioner Komnas HAM Bidang Pemantauan dan Penyelidikan, Choirul Anam, kemarin. Tidak tertutup kemungkinan, kata Anam, Komnas HAM akan meminta data autopsi yang saat ini dipegang kepolisian.
Anam tidak menampik bahwa luka-luka di tubuh Brigadir Josua bisa menjadi salah satu kunci untuk mengungkap kasus ini. Karena itu, tim Komnas Ham bakal berhati-hati dalam memberi kesimpulan. “Kami sedang mengumpulkan semua informasi dari berbagai pihak,” katanya. “Nanti itu yang akan kami rekonstruksi, lalu masuk lebih dalam untuk menanyai semua pihak, sehingga peristiwanya menjadi terang benderang.”
Brigadir Josua merupakan sopir istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawaty Sambo. Ia tewas dalam insiden baku tembak dengan ajudan Ferdy Sambo, Bharada E. Versi polisi, insiden itu dipicu oleh pelecehan seksual yang dilakukan Josua terhadap Putri. Bharada E, yang berniat menolong Putri, justru ditembaki oleh Josua. Bharada E kemudian membalas tembakan itu dan Josua tewas.
Polisi menyebutkan, berdasarkan hasil autopsi, Josua tewas dengan tujuh luka tembak. Satu proyektil bersarang di dada. Semua peluru yang mengenai Josua berasal dari senjata api jenis Glock. Belakangan, keluarga menemukan kejanggalan. Selain luka tembak, keluarga menemukan luka seperti sayatan benda tajam pada kaki Josua. Ada juga luka di bagian mata dan mulut yang dinilai bukan jejak peluru.
Ketua Pengurus Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia (PDFI) Pusat, Ade Firmansyah Sugiharto, mengatakan, untuk mengetahui penyebab kematian Josua, perlu dilakukan autopsi menyeluruh. Begitu juga untuk menyimpulkan penyebab luka-lukanya. “Dalam adu senjata api, bisa saja ditemukan luka yang diakibatkan oleh kekerasan tumpul, misalnya memar, luka lecet, luka robek,” katanya. “Luka itu bisa karena korban terbentur pinggir meja atau terbentur tembok, dan sebagainya.”
Dalam berbagai kasus penembakan, kata Ade, pada tubuh korban biasanya memang ditemukan luka lain yang bukan disebabkan oleh peluru. Bisa saja luka itu terbentuk sebelum kematian (antemortem) atau sebaliknya, setelah kematian (perimortem). “Penting sekali dilakukan autopsi,” katanya. “Hasil autopsi ini dapat dikorelasikan dengan temuan di TKP (tempat kejadian perkara) dan keterangan saksi-saksi sehingga dapat memberikan petunjuk tentang kejadian yang sebenarnya.”
Wakil Kepala Polri, Komisaris Jenderal Gatot Eddy Pramono, mengatakan tim khusus Mabes Polri akan mempelajari kembali semua bukti yang telah dikumpulkan oleh penyidik, termasuk hasil autopsi dari Rumah Sakit Polri Kramat Jati. “Pemeriksaan pendalaman oleh tim forensik kami, baik itu lab forensik maupun tim kedokteran forensik kami,” kata Gatot.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai ekshumasi—mengautopsi ulang jenazah yang sudah dikubur—Josua perlu dilakukan untuk memperjelas penyebab kematiannya. Sebab, dalam beberapa kasus, kata Isnur, YLBHI menemukan adanya manipulasi fakta yang dilakukan penyidik kepolisian. Manipulasi itu terungkap setelah dilakukannya autopsi ulang.
“Luka-luka yang tertinggal di tubuh itu bisa terdeteksi,” kata Isnur. Karena itu, dia mendorong agar dalam menyelidiki kematian Brigadir Josua, Komnas HAM tidak berhenti pada keterangan dari penyidik kepolisian saja. “Setelah ekshumasi, banyak terungkap apa yang menjadi penyebab kematian.” (TEM)