Menjaga Komitmen Persatuan di Tengah Kompleksitas Demografi
JAKARTA — Indonesia memiliki kenyataan alamiah yang tidak dimiliki negara lain. Salah satunya adalah kenyataan geografis Indonesia dalam bentuk kepulauan dan kultural berupa keberagaman kebudayaan. Upaya menjaga ikatan dan komitmen kebangsaan dalam negara kesatuan tidaklah mudah di tengah tantangan demografi yang kompleks, seperti ketimpangan pemerataan pembangunan dan sentralisasi populasi penduduk.
Pascareformasi, Indonesia masih dihadapkan pada berbagai konflik sosial, politik, dan kekerasan internal lainnya. Penanganan isu-isu primordial dan etnik perlu dilakukan dengan berbasis keadilan sosial dan demokrasi agar konflik yang muncul dapat ditangani dengan baik.
Hal-hal ini terungkap dalam acara peluncuran buku Riwanto Tirtosudarmo dan Nilai Nasionalisme yang Lebih Rileks serta diskusi Transformasi Sosial Budaya Pasca-Reformasi, di Jakarta, Senin (21/8/2023). Buku ini merupakan tulisan perayaan (festschrift) 70 tahun Riwanto Tirtosudarmo, demografer politik pertama Indonesia.
Buku tersebut memuat kombinasi otobiografi, bibliografi karya Riwanto Tirtosudarmo, serta kumpulan esai sejumlah pakar dan kolega terkait bidang-bidang riset yang digeluti. Ada 24 narasumber yang ahli di bidangnya masing-masing dan 16 di antaranya bersedia menjadi kontributor tulisan perayaan tersebut.
Menurut Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora (OR IPSH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ahmad Najib Burhani, memasuki era pascareformasi banyak perubahan dalam berbagai bidang, termasuk potret demografi. Misalnya, fenomena migrasi yang sering berkaitan dengan timbulnya konflik sosial, seperti konflik etnis di Kalimantan Tengah, 2001.
”Peninjauan kembali dibutuhkan terkait bagaimana mobilitas migrasi berkelindan dengan persoalan identitas, konflik, dan relasi sosial. (Upaya ini) sangat penting dilakukan,” kata Ahmad Najib, dilansir Kompas.
Ahmad Najib mengutip pernyataan Riwanto Tirtosudarmo, demografer politik pertama Indonesia, tentang keindonesiaan. Ikatan kebangsaan yang terjaga hingga sekarang tidak terlepas dari penyelesaian masalah demografi sejak era penjajahan sampai saat ini.
Namun, dalam perkembangannya, terdapat tantangan demografi, seperti ketimpangan pemerataan pembangunan dan sentralisasi penduduk. Ada hubungan timbal balik antara demografi dan politik. Struktur demografi berpengaruh pada perubahan politik.
Demografi politik diperlukan untuk mengetahui migrasi dan tren pergerakannya. ”Pascareformasi, migrasi yang terjadi dan tren pergerakannya, apakah sudah sesuai dengan semangat otonomi, desentralisasi, serta pemerataan pembangunan? Untuk mengetahui ini dibutuhkan demografi politik,” ujar Ahmad Najib.
Pada kesempatan yang sama, aktivis sekaligus Ketua Dewan Mahasiswa UI (1973-1974) Hariman Siregar mencontohkan ketimpangan pemerataan pembangunan yang paling kompleks terjadi, yakni di tanah Papua. Konflik yang terjadi di Papua salah satunya karena perbedaan konstruksi menyangkut sejarah dan identitas politik yang dipahami orang asli Papua dan pemerintah pusat yang berada di Jakarta.
Pemerintah belum berhasil dalam pembangunan bidang sosial, terutama pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi. ”Persoalan konflik di Papua sangat kompleks dan multidimensi. Jadi jika hendak berbicara mengenai nasionalisme, persoalan kesejahteraan itu harus yang utama, terutama di Papua,” kata Hariman.
Menanggapi hal itu, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintah dan Wawasan Kebangsaan, Sekretariat Wapres, Velix Wanggai, mengutip arahan Presiden Joko Widodo terkait pemberian kesejahteraan pada Papua dengan langkah-langkah baru. ”Sebuah semangat baru, paradigma baru, cara kerja baru, untuk lompatan pembangunan Papua. Itu adalah harapan Bapak Presiden dan Bapak Wakil Presiden,” katanya.
Pendekatan kesejahteraan di Tanah Papua ditempuh dengan mendorong pendekatan keamanan yang bersifat humanis dalam mengelola Papua yang lebih baik dan lebih damai. Selain itu, terobosan daerah otonomi baru Papua juga dilakukan untuk mengangkat harkat martabat orang asli Papua.
Hal ini dijalankan dengan memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, serta perkembangan aspirasi masyarakat Papua. ”Diharapkan orang asli Papua lebih menikmati pemerataan dan keadilan pembangunan,” kata Velix. (KOM)