Menyoal Ketepatan Sasaran dalam Menurunkan Tengkes
JAKARTA — Kegusaran tergambar dari nada bicara Presiden Joko Widodo ketika menyoroti penggunaan anggaran yang tak optimal karena tidak tepat sasaran. Salah satunya menyangkut penanganan tengkes. Hal ini terjadi saat Kepala Negara memberikan sambutan pada peresmian pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2023 di Jakarta, pada pertengahan Juni lalu di gedung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Pada kesempatan tersebut Presiden Jokowi mencontohkan adanya anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) terkait penanganan tengkes sebesar Rp 10 miliar. Alih-alih mengajak hadirin membayangkan sebagian besar dana tersebut digunakan untuk membeli telur, susu, protein, dan sayuran, Presiden justru mencontohkan untuk lebih dulu mengecek penggunaan anggaran tersebut.
“Saya baru saja, minggu yang lalu, saya cek di APBD, (di) Kemendagri. Coba, saya mau lihat Rp 10 miliar untuk stunting. Setelah dicek, (untuk) perjalanan dinas Rp 3 miliar, rapat-rapat Rp 3 miliar, penguatan pengembangan apa-apa Rp 2 miliar. (Sedangkan) yang bener-bener untuk beli telur itu tidak sampai Rp 2 miliar,” kata Presiden Jokowi di Jakarta, dilansir Kompas.
Kepala Negara pun mempertanyakan kapan penanganan tengkes akan rampung kalau cara menggunakan anggaran seperti itu. “Ini yang harus diubah semuanya. Kalau Rp 10 miliar itu anggarannya, mestinya yang untuk lain-lainnya itu yang Rp 2 miliar. Sedangkan yang Rp 8 miliar itu, ya, untuk langsung (membeli) telur, ikan, daging, sayur, (dan) berikan ke yang stunting. Konkretnya kira-kira seperti itu,” ujar Presiden Jokowi.
Kekesalan terhadap penggunaan anggaran yang tidak tepat sasaran dapat dimaklumi menimbang belum tuntasnya penanganan tengkes di negeri ini. Apalagi, anggaran untuk menangani tengkes sejatinya adalah hak bagi mereka yang mengalami problem tengkes. Seperti diketahui, Presiden Jokowi menargetkan penurunan prevalensi tengkes menjadi sebesar 14 persen pada 2024. Dan, itu tinggal satu setengah tahun lagi target itu harus dicapai.
Tahun kelima
Sebagai gambaran, Survei Status Gizi Indonesia tahun 2022 menunjukkan persentase tengkes sebesar 21,6 persen atau turun 2,8 persen dibandingkan tahun 2021 yang 24,4 persen. Apabila mengacu pada pencapaian penurunan tengkes terakhir yang 2,8 persen per tahun, maka dengan langkah yang biasa saja Indonesia hanya akan mampu menurunkan tengkes 5,6 persen dalam waktu kurang dari dua tahun ke depan.
“(Padahal) untuk mengejar target 14 persen tahun 2024 kita harus menurunkan stunting sebesar 7,6 persen dalam (waktu) kurang dari 2 tahun. Untuk itu harus dilakukan intervensi strategis guna mendorong penurunan stunting lebih cepat lagi,” kata Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada rapat terbatas tingkat menteri untuk percepatan penurunan stunting triwulan I tahun anggaran 2023, di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan Nomor 6, Jakarta Pusat, Kamis (25/5/2023) lalu. Dalam hal ini, Wapres Amin mendapat tugas khusus oleh Presiden untuk mencapai penurunan target pada akhir pemerintah sebesar 14 persen.
Untuk macam-macam
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menuturkan selama ini ada anggaran intervensi spesifik namun sifat anggarannya masih generik. “Misalnya, di Kementerian Sosial itu ada Rp 22 triliun anggaran, diklaim untuk stunting, padahal itu untuk macem-macem. Kemudian di Kemenkes juga begitu. Di Kemenkes itu ada anggaran sekian triliun, tapi termasuk di situ ada untuk, misalnya, PBI (penerima bantuan iuran) BPJS, itu, kan, tidak seluruhnya untuk mereka yang stunting,” katanya.
Terkait hal tersebut, Muhadjir kembali menekankan saran Wapres Amin agar ada koordinasi Kementerian Keuangan; Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN); dan Kemenko PMK sebagai penanggung jawab dari penanganan tengkes untuk menjadikan anggaran spesifik. Anggaran di kementerian yang mendapat alokasi untuk menangani tengkes dikucurkan atas usulan BKKBN, rekomendasi Kemenko PMK, serta Kementerian Keuangan yang berhak menentukan waktu penggunaan serta besarannya.
Muhadjir menuturkan, sumber anggaran penanganan tengkes dari APBN yang ada di kementerian dan lembaga. “Kemudian, sebetulnya, ada DAK (dana alokasi khusus). DAK juga sama, itu juga generik, karena itu kita harus kunci melalui Surat Edaran dari Mendagri, dan ini sudah kita lakukan,” ujarnya.
Berikutnya, ujar Muhadjir, adalah Dana Desa. “Sudah ada Surat Edaran dari Pak Mendes, misalnya, dari alokasi Dana Desa itu minimal 7 persen alokasi anggaran untuk penanganan stunting. Sehingga, kepala desa kalau tidak menggunakan (meski) ada alokasi untuk stunting, dia kena sanksi untuk kebijakan anggaran desa berikutnya. Dan, (di sisi lain) dia juga jadi berani untuk mengalokasikan anggaran penanganan stunting di desa itu karena alokasinya sudah ada,” ujarnya.
Sementara itu Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Brian Sri Prahastuti melalui keterangan tertulis, Rabu (21/6/2023) menuturkan, sinergi lintas-sektor, kolaborasi, dan sinkronisasi program pusat dan daerah mesti berjalan optimal dalam menangani tengkes. Penanganan tengkes bukan hanya tanggung jawab pemerintah pusat melainkan juga pemerintah daerah.
“Jadi, kalau terdapat hambatan atau tantangan dalam pelaksanaan berbagai rencana aksi di daerah, sampaikan kepada pemerintah pusat,” kata Brian.
Menurut Brian, penurunan tengkes pun bersifat multidimensi, yakni tidak hanya menjadi beban sektor kesehatan. Sehingga, kunci keberhasilan terletak pada sinergi dan kolaborasi antarpemangku kepentingan dalam mengimplementasikan program.
Kantor Staf Presiden terus aktif memantau capaian program penurunan tengkes melalui instrumen Sistem Monitoring dan Evaluasi (Sismonev) dan Database Isu Strategis (Distra). “Sebagai lembaga yang mengawal program-program strategis Presiden, kami (KSP) aktif memonitor capaian penurunan stunting. Jika terjadi hambatan kami turun ke lapangan,” kata Brian.
Pada kesempatan tersebut Brian menyampaikan empat rekomendasi strategis untuk mencapai target penurunan tengkes sebesar 14 persen pada 2024. Pertama, optimalisasi fungsi koordinasi. Kedua, peningkatan anggaran intervensi gizi spesifik. Ketiga, implementasi kerangka regulasi yang kuat. Dan, keempat, mengaktifkan semua posyandu serta membentuk ketahanan keluarga.
Kembali ke soal anggaran, ketepatan sasaran menjadi keniscayaan. Seperti disampaikan Presiden Jokowi, setiap rupiah yang dibelanjakan dari APBN, APBD, maupun dana yang ada di BUMN harus produktif. “(Hal ini) karena memang cari uangnya sangat sulit, baik itu lewat pajak, PNBP (penerimaan negara bukan pajak), royalti, deviden, tidak mudah. Sekarang ini tidak mudah. Sekali lagi untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045 itu tidak mudah,” ujarnya.
Terkait hal ini, Kepala Negara pun mengingatkan arti penting peran pengawasan. “Peran pengawasan sangat-sangat, sangat penting. Kenapa saya juga sering cek ke lapangan, turun ke bawah? Saya ingin pastikan bahwa apa yang kita programkan itu sampai betul ke rakyat, sampai ke masyarakat,” kata Presiden Jokowi.
Pada konteks penanganan tengkes, ukuran sampai tidaknya program ke rakyat akan terlihat dari penurunan prevalensi tengkes di negeri ini. Perencanaan matang dan penganggaran tepat sasaran yang ditopang pengawasan akan memastikan pencapaian prevalensi tengkes seperti ditargetkan, yakni 14 persen di tahun 2024, yang notabene tinggal setahun lagi. (KOM)