NASIONAL

Muskil Polisi Menjerat Polisi

JAKARTA – Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai buntunya pengusutan kematian Brigadir Nopriansyah Josua Hutabarat atau Brigadir Josua merupakan pola yang biasa dilakukan kepolisian. Banyak kasus yang menyeret polisi gagal dibawa di kursi pesakitan.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menyebutkan Markas Besar Kepolisian RI cenderung melakukan impunitas terhadap berbagai skandal pidana yang menyeret korps Bhayangkara secara institusi ataupun individu anggota kepolisian. Menurut dia, semestinya ada audit dan pemeriksaan menyeluruh kelembagaan. “Sebab, berulang kali melakukan impunitas, termasuk indikasi saat pengusutan kematian Brigadir Josua,” kata Isnur ketika dihubungi, Senin (18/7/2022).

Impunitas atas kejahatan yang diduga dilakukan oleh anggota kepolisian ini terpantik atas insiden adu tembak dua ajudan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, pada Jumat, 8 Juli lalu. Mulanya Mabes Polri menyebutkan Brigadir Josua, yang merupakan sopir istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawati, tewas setelah baku tembak dengan Bhayangkara Dua (Bharada) E, yang merupakan ajudan Ferdy Sambo, pada pukul 17.00 WIB.

Polisi mengklaim Josua diduga melecehkan Putri ketika beristirahat di rumahnya, di Kompleks Polri Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan, yang merupakan lokasi kematian Josua. Bharada E, yang tengah berada di lantai dua, bergegas turun setelah mendengar teriakan minta tolong. Josua dalam keadaan panik menembak ke arah Bharada E, hingga kemudian aksi saling tembak disebutkan terjadi, sampai menewaskan Josua.

Isnur menyebutkan pengungkapan kasus ini gelap karena belum ada satu pun anggota kepolisian yang menjadi tersangka atas kematian Josua. Pembentukan tim pencari fakta juga dinilai tak efektif untuk menjadikan kasus ini terang. “Justru ada kecenderungan melindungi dan diberi impunitas sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku tindak kejahatan yang diduga dilakukan oleh polisi.”

Isnur lantas membeberkan sederet persoalan lain yang juga kerap menjerat polisi. Dalam kasus penyiraman terhadap Novel Baswedan, kepolisian berbelit mengungkap kasus tersebut karena disinyalir melibatkan para petinggi di korps Bhayangkara. Hal yang sama terjadi ketika kepolisian terlibat kekerasan saat meredam demonstrasi. Di banyak daerah, polisi justru terlibat sebagai pelaku kekerasan.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2020 sempat merilis 2.841 aduan ihwal dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang tahun tersebut. Dari jumlah itu, institusi kepolisian menjadi lembaga yang paling banyak diadukan masyarakat. “Pihak yang paling banyak diadukan adalah kepolisian, dengan jumlah 758 kasus,” kata Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, 12 Agustus 2021.

Isnur mengimbuhkan, berkas laporan yang diterima Komnas HAM tersebut tak pernah diusut kepolisian. Menurut dia, kasus paling banyak yang menyeret institusi tersebut merupakan tindak pidana kekerasan dan pelanggaran HAM. Selama ini polisi terbiasa melakukan impunitas terhadap anggota yang diduga terlibat tindak pidana.

Karena berbagai persoalan tersebut, Isnur mendorong pemerintah memperbaiki kinerja kepolisian dengan memberi pengawasan dari eksternal yang melekat. Selain itu, pemerintah mesti memperbaiki Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mengatur kewenangan polisi dalam penyelidikan dan penyidikan kasus pidana. “Selama ini kewenangan Kejaksaan Agung lemah dalam menyelidiki tindak pidana yang melibatkan anggota kepolisian.”

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, mengatakan lembaganya sejak beberapa tahun terakhir menemukan pola impunitas yang kerap dilakukan kepolisian. Terutama kasus pidana yang menyeret anggota ataupun petinggi di kepolisian. “Hal ini diperparah oleh sulitnya menuntut para pelaku penyiksaan ke pidana,” kata Rivanlee.

Dia mencontohkan, hal itu terbukti ketika polisi abai menjerat pelaku penyiksaan terhadap Henry Alfree Bakari, korban yang dituduh terlibat kejahatan narkotik di Batam pada 6 Agustus 2020. Henry dipukuli polisi saat diinvestigasi hingga korban meninggal, dua hari setelah penangkapan. Kepolisian Resor Kota Barelang kala itu hanya menghukum pelaku, yang merupakan anggota kepolisian, dengan hukuman disiplin.

Kasus lain adalah kekerasan yang dialami jurnalis Tempo, Nurhadi, oleh sejumlah polisi ketika meliput kasus korupsi di Surabaya pada 27 Maret 2021. Meski dua pelaku divonis pidana, kepolisian, kejaksaan, hingga majelis hakim tak pernah menahan pelaku dengan alasan pelaku masih mengajukan banding. Pada 2015, polisi juga terlibat penyiksaan terhadap Andro dan Nurdin, pengamen di Cipulir, Jakarta Selatan, yang dituduh membunuh. Belakangan Mahkamah Agung menyatakan Andro dan sejawatnya tidak bersalah.

Sekretaris Jenderal Pusat Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Gina Sabrin, menyebutkan kasus kekerasan yang berujung pada impunitas terhadap polisi kerap terjadi. Dia juga berkaca pada kasus korban salah tangkap, Fikry, di Jalan Raya Kali CBL, Kampung Selang Bojong, Cibitung, Bekasi, pada 28 Juli 2021. Padahal Fikry dan beberapa kawannya tidak bersalah. “Lemahnya sistem penegakan hukum pidana di Indonesia justru digunakan menjadi alat impunitas terhadap praktik penyiksaan,” ucap dia.

Kepolisian tidak berkomentar atas penilaian sejumlah pegiat ini. Meski begitu, Kepala Divisi Humas Polri, Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo, dalam penanganan kasus Brigadir Josua, mengimbau masyarakat menghindari spekulasi. Penyelidikan yang dilakukan polisi dalam kasus ini mengedepankan pendekatan scientific crime investigation. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.