Nasib RUU Sisdiknas Setelah Penolakan Baleg
JAKARTA – Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat menolak Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2023. Badan Legislasi menghendaki pemerintah mengevaluasi dan merapikan RUU Sisdiknas tersebut lebih dulu, lalu mengkomunikasikannya dengan berbagai pihak.
Wakil Ketua Baleg, Achmad Baidowi, mengatakan keputusan itu disetujui semua kelompok fraksi di Badan Legislasi. “RUU dianggap belum cukup komprehensif,” kata politikus PPP ini, Rabu (21/9/2022).
Dalam rapat kerja Baleg tersebut, Baidowi mengatakan PPP menilai RUU Sisdiknas perlu dibahas lebih dalam dan pembahasannya membutuhkan waktu cukup panjang. “Pada 2023 ini adalah tahun politik dan, apabila dipaksakan pembahasannya, akan menjadi tidak maksimal,” kata dia.
Dua hari lalu, rapat kerja Baleg bersama Dewan Perwakilan Daerah dan pemerintah memutuskan untuk mengembalikan RUU Sisdiknas ke pemerintah. Keputusan itu diambil lewat lobi antarkelompok fraksi di sela rapat kerja. “Terkait dengan hasil lobi tadi, kami kembalikan ke pemerintah,” kata Ketua Baleg Supratman Andi Agtas dalam rapat kerja.
Ia menjelaskan, Baleg memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk mengevaluasi, merapikan, dan mengkomunikasikan RUU Sisdiknas itu lebih dulu. Baleg juga menyilakan pemerintah mengajukan kembali RUU Sisdiknas ke DPR kapan saja, asalkan rancangan tersebut sudah disempurnakan.
Dalam rapat itu juga disebutkan bahwa Baleg menghendaki kegaduhan RUU Sisdiknas tidak berpindah ke Senayan. Karena itu, pemerintah diminta menyelesaikan berbagai pasal kontroversial dalam RUU Sisdiknas.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, yang mewakili pemerintah, mengatakan pemerintah ataupun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi akan merapikan kembali RUU Sisdiknas sesuai dengan saran dari fraksi-fraksi. “Kami akan evaluasi pada awal tahun dan kami akan ajukan kembali sesuai dengan kesiapan pemerintah,” kata Yasonna.
Pada 26 Agustus 2022, Kementerian Pendidikan mengajukan RUU Sisdiknas ke DPR untuk dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas. Muatan dalam RUU Sisdiknas itu menggabungkan tiga undang-undang, yaitu UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Guru dan Dosen, serta UU Pendidikan Tinggi. RUU ini terdiri atas 15 bab dan 150 pasal.
Banyak muatan dalam RUU Sisdiknas yang menuai sorotan, misalnya, penghapusan tunjangan profesi guru dan dosen serta keharusan semua perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum, yang akan mendorong komersialisasi kampus. Ada juga ketentuan baru dalam RUU itu, di antaranya wajib belajar 13 tahun secara terbatas dan tiga mata pelajaran wajib dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, serta perguruan tinggi, yaitu agama, Pancasila, dan bahasa Indonesia.
Anggota Baleg, Bukhori Yusuf, mengatakan draf RUU Sisdiknas saat ini memang masih menimbulkan polemik dan penolakan dari berbagai pihak. Karena itu, kata dia, Fraksi PKS meminta Kementerian Pendidikan membahas kembali isi draf RUU tersebut dengan melibatkan publik.
“Pemerintah harus membuka aspirasi publik seluas-luasnya dan melibatkan semua stakeholder pendidikan nasional dalam penyusunan naskah akademis dan draf RUU Sisdiknas,” kata Bukhori.
Sekretaris Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Alpha Amirrachman, mengapresiasi sikap Baleg tersebut. Ia berpendapat bahwa penyusunan RUU Sisdiknas ini sudah keliru sejak awal, misalnya Kementerian Pendidikan merahasiakan perancang naskah akademis dan draf RUU. Kedua, Kementerian Pendidikan tak membuat peta jalan pendidikan lebih dulu sebelum menyusun RUU.
“RUU ini cacat bukan hanya dari sisi substansi, tapi juga dari prosesnya yang tidak transparan dan minim partisipasi publik,” kata Alpha, kemarin.
Koordinasi Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, sependapat dengan Alpha. Satriwan mengatakan RUU Sisdiknas memuat pasal-pasal yang berpotensi merugikan hak-hak guru dan dosen. Ia berpendapat, setelah penolakan Baleg, Kementerian Pendidikan semestinya membentuk panitia kerja nasional RUU Sisdiknas. Panitia ini yang akan membahas ulang, merapikan, dan mengkomunikasikan muatan dalam RUU secara transparan, akuntabel, serta melibatkan partisipasi publik yang bermakna.
“Tim pokja tersebut dibekali surat keputusan penugasan resmi dari Kementerian Pendidikan,” kata Satriwan.
Dosen hukum tata negara dari Universitas Bung Hatta, Helmi Chandra, menilai langkah DPR menunda pembahasan RUU Sisdiknas sudah tepat. Ia melihat Baleg tak mau mengulang kesalahan serupa dalam pembahasan Undang-Undang Cipta Kerja. UU Cipta Kerja merupakan undang-undang yang disusun secara omnibus, seperti RUU Sisdiknas.
“RUU ini punya dampak besar bagi dunia pendidikan sehingga menunda pembahasannya untuk kemudian dapat menyempurnakan substansi adalah cara paling bijak,” kata Helmi.
Menurut Helmi, ada dua penyebab partisipasi publik yang bermakna dalam pembahasan RUU tak optimal. Pertama, RUU yang dibuat sarat kepentingan sehingga pemerintah hanya melibatkan kelompok masyarakat yang setuju saat pembahasan substansi rancangan undang-undang. Kedua, terjadi salah paradigma dalam penerapan partisipasi publik. Misalnya, pembuat undang-undang menganggap partisipasi masyarakat hanya formalitas. “Kadang kala partisipasi hanya berupa penyampaian satu arah seperti seminar dengan narasumber yang tak bisa dibantah,” ujarnya. Ia berharap kedua hal tersebut menjadi perhatian pemerintah dalam menyusun ulang RUU Sisdiknas. (TEM)