NASIONAL

Pers Diingatkan Tetap Menjaga Kualitas di Era Kecepatan dan AI

JAKARTA — Kemajuan teknologi tidak hanya mengubah pola masyarakat mengonsumsi informasi, tetapi juga cara media memproduksi berita. Media massa diingatkan untuk tetap menjaga kualitas pemberitaan di tengah arus informasi yang menuntut kecepatan.

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mengatakan, perkembangan teknologi menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi jurnalisme. Penggunaan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), misalnya, membantu media dalam meningkatkan produktivitas konten.

Akan tetapi, banjir informasi di platform daring juga mendatangkan berbagai tantangan, terutama dalam menguji kebenarannya. Media punya kewajiban memastikan penyebaran informasi yang terverifikasi. Apalagi, menjelang Pemilu 2024, jurnalisme berperan penting dalam menciptakan pemilu damai dengan tidak menyebarkan berita yang mengumbar sensasi dan yang berpotensi mengadu domba.

”Saya meminta teman-teman jurnalis memprioritaskan obyektivitas dan kualitas pemberitaan serta menghindari pemberitaan yang semata-mata mengedepankan sensasi atau click bait (umpan klik),” ujarnya saat membuka seminar ”Jurnalistik yang Mengancam Jurnalisme” yang digelar Dewan Pers, di Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Budi mengatakan, mewujudkan jurnalisme berkualitas tidak mudah. Namun, upaya itu harus tetap dilakukan. Sebab, meski banyak warga menjadikan media sosial sebagai sumber informasi, media arus utama masih menjadi rujukan.

Pembentukan peraturan presiden (perpres) tentang hak penerbit (publisher rights) diharapkan dapat menciptakan ekosistem media yang sehat. Regulasi ini akan mengatur berbagai hal, salah satunya tanggung jawab platform dalam mendukung jurnalisme berkualitas.

”Kementerian Kominfo bersama Kementerian Sekretariat Negara terus berupaya agar rancangan perpres tersebut dapat segera diselesaikan. Semoga berjalan lancar dan membawa hasil positif serta menguntungkan industri media,” katanya.

Akan tetapi, Budi tidak menyebutkan batas waktu pengesahan perpres itu. Pembahasan regulasi ini berlarut-larut karena telah didengungkan sejak lebih dari tiga tahun lalu.

Bahkan, saat menghadiri Hari Pers Nasional 2023 di Sumatera Utara pada 9 Februari lalu, Presiden Joko Widodo meminta agar perpres itu rampung dalam waktu satu bulan. Namun, sembilan bulan berselang, perpres tersebut belum juga disahkan.

Mewujudkan jurnalisme berkualitas membutuhkan peran berbagai pihak, termasuk negara.

”Tolong, jika memungkinkan, dipercepat perpres publisher rights ini. Negara juga perlu mendukung insentif bagi perusahaan pers yang konsisten menghadirkan jurnalisme berkualitas,” ujar Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu yang menjadi pembicara kunci dalam seminar itu.

Ninik menuturkan, kecepatan informasi menjadi tantangan media di era digital. Namun, akurasi dan keberimbangan pemberitaan tidak boleh diabaikan.

”Kalau hal ini tidak dilakukan, berpotensi terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik. Makanya wartawan tidak cukup mengetahui atau mengerti persoalan, tetapi terus ditingkatkan kompetensinya,” ucapnya.

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi (tengah) menghadiri seminar “Jurnalistik yang Mengancam Jurnalisme” yang digelar Dewan Pers, di Jakarta, Rabu (8/11/2023).

Implikasi pemberitaan

Menurut Ninik, wartawan profesional harus memikirkan implikasi pemberitaan yang dibuatnya. Sebab, pers perlu memastikan agar informasi yang disebarkan kepada masyarakat bukan misinformasi atau disinformasi.

”Bayangkan kalau fungsi edukasi, kontrol sosial, dan hiburan yang dijalankan pers isinya hoaks. Hal itu tentu akan berimplikasi buruk pada publik,” katanya.

Ninik menambahkan, konvergensi media di era digital menuntut wartawan multitasking. Sebab, di sejumlah media, wartawan tidak lagi tersegmentasi berdasarkan peralatan tertentu karena harus memproduksi berita berupa tulisan, fotografi, dan videografi sekaligus.

”Akan tetapi, bagaimana wartawan mau profesional kalau minim fasilitas, gajinya di bawah standar, dan alat kerja kurang?” katanya.

CEO Kompas Gramedia (KG) Media Andy Budiman mengatakan, penggunaan teknologi terbaru dalam industri media tidak bisa dihindari. Pihaknya pun membentuk tim untuk mengeksplorasi penggunaan AI dalam memproduksi berita.

”Kami mengimbanginya dengan menyusun pedoman penggunaan AI di ruang redaksi. Bagaimana memadukan kesempatan ini dengan falsafah kami sehingga tidak kebablasan,” ucapnya.

Ancaman terhadap jurnalisme juga datang dari internal pers. Pelanggaran terhadap kode etik dalam berbagai bentuk masih saja terjadi.

Dalam lima tahun terakhir, data pengaduan ke Dewan Pers selalu di atas 500 kasus per tahun. Pengaduan tahun ini hingga awal November mencapai 748 kasus. Jumlah itu lebih tinggi ketimbang 2022 dengan 691 kasus.

”Perkiraan saya di tahun ini angkanya di atas 900 kasus. Artinya, naik 20-30 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Ini fakta yang harus dihadapi,” ujar Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana.

Yadi menyebutkan, 97 persen kasus pelanggaran dilakukan oleh media daring. Jenis pelanggaran kode etik itu beragam, seperti tanpa verifikasi, tidak menggunakan sumber kredibel, dan memakai isu provokasi seksual. (kom)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.